Literasi Hukum – Di berbagai wilayah Indonesia Timur, masyarakat adat menghadapi kenyataan pahit: tanah yang diwariskan secara turun-temurun selama ratusan tahun kini dirampas demi Proyek Strategis Nasional (PSN). Hutan, ladang, dan sungai yang selama ini menjadi sumber kehidupan berubah menjadi kawasan industri, perkebunan, atau pertambangan. Proses ini kerap berlangsung tanpa persetujuan yang sah dari masyarakat adat, bahkan dengan intimidasi aparat negara.
Ironisnya, pemerintah berdalih bahwa PSN dilakukan demi kepentingan nasional, seolah pengorbanan masyarakat adat adalah harga yang wajar demi pembangunan. Padahal, bagi masyarakat adat, tanah bukan sekadar aset ekonomi. Tanah adalah identitas, sejarah, dan keberlangsungan hidup. Ketika tanah itu hilang, yang hilang bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga warisan budaya yang tak ternilai.
Konstitusi Indonesia dengan tegas mengakui keberadaan masyarakat adat. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Selain itu, Pasal 28I ayat (3) UUD 1945menyebutkan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
Pengakuan ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa “Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa.”
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara, melainkan hak masyarakat adat. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 6 ayat (1), menyatakan bahwa “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.”
Dengan dasar hukum ini, jelas bahwa negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi hak masyarakat adat, termasuk hak ulayat mereka. Namun, praktik PSN justru menunjukkan lemahnya implementasi hukum dan kecenderungan negara berpihak pada kepentingan modal.
PSN sering dipromosikan sebagai langkah strategis untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan cerita yang berbeda. Banyak masyarakat adat yang kehilangan tanah, mata pencaharian, bahkan terpinggirkan di tanah sendiri.
Proses pengambilalihan lahan kerap dilakukan tanpa mematuhi prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC), yaitu persetujuan bebas, didahulukan, dan berdasarkan informasi yang memadai. Masyarakat tidak diberikan ruang yang setara untuk menyuarakan pendapat, bahkan seringkali dihadapkan pada intimidasi, kriminalisasi, hingga kekerasan aparat.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah PSN benar-benar untuk kepentingan nasional, atau justru untuk kepentingan investor dan segelintir elite politik yang mengendalikan proyek-proyek tersebut? Ketika negara mengorbankan hak konstitusional masyarakat adat demi investasi, praktik ini lebih menyerupai kolonialisme baru yang merampas sumber daya rakyat.
Perampasan tanah adat bukan hanya persoalan ekonomi. Bagi masyarakat adat, tanah adalah sumber identitas, warisan leluhur, dan bagian dari sistem budaya yang telah dijaga selama berabad-abad. Ketika tanah hilang, masyarakat kehilangan hubungan spiritual dengan alam, pengetahuan lokal tergerus, dan struktur sosial mengalami disintegrasi.
Dampak ekologisnya pun signifikan. Banyak PSN yang menyebabkan deforestasi besar-besaran, pencemaran sumber daya air, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Kerusakan lingkungan ini tidak hanya merugikan masyarakat adat, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekosistem yang menjadi penopang hidup masyarakat luas.
Kehilangan tanah adat berarti hilangnya ruang hidup. Ironisnya, masyarakat yang seharusnya menjadi subjek pembangunan justru diperlakukan sebagai objek yang dapat dikorbankan. Mereka tidak hanya kehilangan hak atas tanah, tetapi juga hak untuk menentukan masa depan mereka sendiri.
Ketika negara yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi pihak yang memfasilitasi perampasan tanah, maka amanat konstitusi telah dikhianati. Aparat negara yang digunakan untuk mengamankan proyek justru sering menjadi pelaku intimidasi terhadap masyarakat yang menolak PSN. Jika negara mengabaikan hak rakyatnya sendiri, apa bedanya dengan penjajah di masa lalu?
Situasi ini menunjukkan lemahnya political will pemerintah untuk benar-benar melindungi masyarakat adat. Padahal, berbagai instrumen hukum, mulai dari UUD 1945, UUPA, UU HAM, hingga Putusan MK, secara jelas mewajibkan negara untuk menjamin hak masyarakat adat atas tanah ulayatnya.
Untuk mencegah semakin meluasnya pelanggaran hak masyarakat adat, diperlukan langkah-langkah konkret sebagai berikut:
Pembangunan yang sejati adalah pembangunan yang menghormati hak-hak rakyatnya. Negara memiliki mandat konstitusional untuk melindungi masyarakat adat, bukan mengorbankan mereka demi kepentingan segelintir elite. Ketika pembangunan dilakukan dengan mengabaikan hak-hak konstitusional masyarakat adat, maka pembangunan itu hanyalah bentuk baru dari penjajahan.
Indonesia membutuhkan model pembangunan yang adil, inklusif, dan menghormati identitas budaya masyarakat adat. Tanpa itu, narasi “kepentingan nasional” hanyalah alasan untuk melegitimasi perampasan hak-hak rakyat yang paling mendasar.
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini