Literasi Hukum – Artikel ini membahas salah satu prinsip non diskriminasi dalam hukum dagang internasional, yaitu National Treatment. Prinsip tersebut berfokus pada kewajiban perlakuan setara atau non diskriminasi oleh negara terhadap produk impor dibandingkan dengan produk domestik. Pembahasan lebih jauh akan melingkupi sejarah, penerapan, dan dampak dari prinsip National Treatment. Disebabkan jarang yang membahas konsep ini secara ringkas dan tuntas. Diharapkan artikel ini dapat membantu menjadi pengantar yang relevan bagi para pembaca, khususnya dari kalangan mahasiswa hukum.
Pengertian dan Sejarah
Pengertian National Treatment dalam bahasa Indonesia adalah ‘perlakuan asal negara’ dan termasuk dalam konteks hak asal-usul. National Treatment adalah prinsip/norma terkait kewajiban negara dalam keadaan normal/general, untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap produk impor. Untuk tidak mendiskriminasi atau membedakan antara produk impor dibandingkan produk domestik berbentuk barang, jasa, dan hak kekayaan intelektual (HKI)
Pelanggaran prinsip National Treatment umumnya disebabkan penerapan pajak tambahan terhadap produk tertentu secara umum, namun berdampak kerugian terhadap produk impor secara khusus. Dengan bentuk kerugian yang dialami umumnya berupa penurunan harga di suatu negara, disebabkan daya saingnya yang bertahap jatuh. Dengan konsekuensi paling buruk, yaitu produk impor bisa sampai tidak bernilai atau menjadi sampah. Alasan penetapan pajak tambahan tersebut, yaitu biasanya negara/pemerintah ingin meningkatkan daya saing produk domestik dibandingkan produk impor. Ringkasnya, negara ingin melakukan monopoli produk domestik di pasar dalam negeri, namun secara langsung mendiskriminasi produk impor.
Pada sejarahnya prinsip National Treatment sudah termuat dalam pasal 1 GATT 1947[1] (berbeda dengan aturan GATT dalam WTO) sebagai organisasi pendahulu WTO, dengan istilah Most Favoured National Treatment . Dalam aturan WTO saat ini National Treatment secara khusus dipisahkan dari MFN sebagai suatu prinsip tersendiri. Secara teknis pengutipan National Treatment termuat dalam tiga aturan pokok WTO, yaitu: pasal III GATT[2], pasal XVI GATS[3], pasal III TRIPS[4].
Membahas perbedaan utama antara National Treatment dan Most Favored Nation (MFN) sebagai dua prinsip non-diskriminasi yang hampir serupa dalam aturan World Trade Organization (WTO), yaitu:
- MFN: pengenaan cukai/pajak produk impor di awal sebelum dapat diperjualbelikan bebas di suatu negara, yang berlaku umum terhadap semua mitra dagang dari anggota WTO.
- National Treatment: perlakuan terhadap produk impor setelah melewati bea cukai dan menjadi subjek regulasi pasar nasional suatu negara.
- Penerapan dan Masalah
Walaupun secara teori jaminan hukum produk impor yang beredar telah diberikan melalui kewajiban ratifikasi bagi negara yang bergabung dalam WTO, contohnya seperti UU No.7 tahun 1994[5] di Indonesia. Namun pada praktiknya, terdapat banyak macam pelanggaran National Treatment yang pernah disengketakan di WTO. Dua contoh sengketa dibawah akan merujuk dari tulisan Lothar Ehring [6].
Minuman Beralkohol di Jepang (Japan – Alcoholic Beverages)
Dilatarbelakangi tuduhan regulasi internal di Jepang yang mendiskriminasi produk asing kategori minuman berakohol. Appelate Body (AP) atau hakim pemutus sengketa di WTO, dalam pertimbangan putusan perkara DS8,DS10,dan DS11 berdasarkan pelaksanaan pasal III GATT tentang National Treatment. Menyatakan, bahwa pembebanan pembuktian berdasarkan pada kesimpulan dari ‘tujuan dan dampak’ kebijakan pajak domestik Jepang terhadap produk minuman beralkohol secara umum.
Putusan AP WTO dalam perkara tersebut menyatakan, bahwa Jepang terbukti mengistimewakan Sochou sebagai produk alkohol esensial yang berasal dari Jepang. Menurut Lothar Ehring, bahwa hubungan asymetri walaupun tidak disebutkan eksplisit oleh AP dan bukan sebagai beban pembuktian yang utama, menjadi salah satu pertimbangan dalam memberikan putusan tersebut.
Jika lebih jauh membahas hubungan distribusi asimatris dari Lothar Ehringberdasarkan gambar diatas. Menjelaskan tentang tiga bentuk perbandingan antara produk domestik dan asing berdasarkan pajak atau izinan yang diberikan. Perbadingan tersebut diharapkan dapat mempermudah memahamai adanya pelanggaran diskriminasi terhadap produk impor berdasarkan regulasi dari suatu negara
Distribusi Pisang di Komunitas Eropa (Bananas III – European Community)
Sengketa yang berjalan lebih dari satu dekade terkait impor pisang antara komunitas Eropa/Eropean Comunnity (EC) dengan beberapa negara eksportir dari benua Amerika. Pasal 2 GATS terkait Most Favored Nation Treatment digunakan untuk menggugat dalam perkara tersebut. Disebabkan secara tidak langsung mengistimewakan negara eksportir pisang yang berasal dari beberapa wilayah tertentu seperti Afrika, Kep.Karibian, dan Pasifik.
Dalam putusan AP EC menyatakan terbukti adanya diskriminasi terhadap eksportir lainnya termasuk penuntut, disebabkan permasalahan teknis penggolangan pajak internal terkait produk tersebut. Dimana secara formal berada dalam kriteria country origin neutral atau asal negara yang netral. Walaupun pada akhirnya sengketa tersebut diselesaiakan dengan re-negosiasi antar pihak berdasarkan laporan sengketa DS27 WTO[7].
Beban Pembuktian dan Dampak terhadap Penetapan Regulasi Pajak Nasional
Beban Pembuktian
Dari contoh sengketa National Treatment diatas, selanjutnya akan dibahas terkait beban pembuktiannya. Telah disepakati dalam yurisprudensi WTO dan pengamat, bahwa ‘likness‘ atau kesamaan golongan atau kategori dari produk tertentu menjadi penentu adanya pelanggaran. Secara umum lebih mudah membuktikan diskriminasi terhadap barang dibandingkan jasa dan HKI, disebabkan keawaman beradasarkan untuk membandingkan antara produk yang disengketakan.
Dampak
Regulasi nasional umumnya ingin melindungi produk domestik, disebabkan kecenderungan proteksionisme yang umum ditemui pada negara berkembang. Oleh sebab itu, penurunan tariff cukai/pajak diskriminatif umumnya bertahap dikurangi oleh anggota WTO. Sebab, salah satu tujuan WTO adalah meningkatkan kemakmuran dari peningkatan volume perdagangan internasional, dan secara langsung mengurangi pilihan negara untuk menggunakan pajak impor sebagai pemasukan negara. Namun, negara berkembang dan kontrak dagang antar negara tentunya memiliki pengecualian tersendiri berdasarkan aturan WTO, dan akan dibahas pada tulisan lainnya di lain waktu.
Kesimpulan
National Treatment pada pokoknya adalah salah satu prinsip di WTO untuk menghindari diskriminasi bagi produk impor, yang menjadi pilar perdagangan bebas sebagai satu tujuan dari organisasi tersebut. Walaupun pelanggaran terhadap prinsip ini pasti terjadi dalam sengketa dagang internasional, seperti beberapa contoh sebelumnya. Namun, tulisan ini diharapkan cukup bagi para pembaca sebagai pengantar awal tentang prinsip non diskriminasi dari WTO. Bagi yang tertarik dengan hukum dagang internasional, bisa ditunggu tulisan berikutnya dari dari penulis.
[1] Most Favoured National Treament, Pasal 1 General Aggrement Tariff on Trade (GATT 1947) (Pendahulu WTO) https://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/downloads_e/GATT1947_en.pdf
[2] National Treatment Pasal 3, General Aggrement Tariff on Trade (GATT) WTO https://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/gatt47.pdf
[3] National Treatment Pasal 17, General Aggrement Tariff on Service (GATS) https://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/26-gats.pdf
[4] National Treatment Pasal 3, Trade Related Intellectual Propertys (TRIPS) https://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/downloads_e/TRIPS05_en.pdf
[5] UU No.7/1994 Pengesahan Agreement Estasblishing The World Trade Organization
https://peraturan.bpk.go.id/Details/46225/uu-no-7-tahun-1994,
[6] Lothar Ehring , 2001, De Facto Discrimination in WTO Law: National and Most-Favored-Nation Treatment – or Equal Treatment? https://jeanmonnetprogram.org/archive/papers/01/013201-01.html#TopOfPage
[7] Sengketa WTO DS27: : European Communities — Regime for the Importation, Sale and Distribution of Bananas https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds27_e.html