Literasi Hukum – Dewasa ini, publik digemparkan oleh kabar dari dua instansi negara yang diyakini sebagai instansi otentik. Kabar tersebut menyatakan bahwa TNI bersedia menjadi “Satpam Kejaksaan” dengan dalih untuk pengamanan secara fisik atas bangunan kejaksaan saja tanpa ikut campur persoalan penanganan perkara oleh Kejaksaan. Hal ini menuai percekikan yang serius di kalangan masyarakat. Artikel ini akan membahas asal mula tindakan inkonstitusional, sebuah permintaan atau perintah?
Diminta atau Diperintah?
Nota kesepahaman yang disepakati oleh TNI dan Kejaksaan dalam pengamanan aset dan gedung Kejaksaan tidaklah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah mengatur sedemikian rupa terkait tugas pokok TNI. Adapun tugas pokok TNI tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Diperkuat oleh ayat (2) dalam pasal yang sama, tugas pokok TNI tersebut dilakukan dengan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang.
Tidak hanya UU TNI, nota kesepahaman ini juga telah menyimpang beberapa peraturan perundangan, seperti UU Kekuasaan Kehakiman, UU Kejaksaan, UU Pertahanan Negara, dan lainnya. Bagian terpenting dari ketidaksesuaian hal ini dengan amanat konstitusi RI, tepatnya pada Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa TNI merupakan alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Tentunya, tidak ada payung hukum yang mendasari adanya gebrakan ini kecuali nota kesepahaman NK 6/VI/2023 pada 6 April 2023 dan Surat Telegram Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto pada 5 Mei 2025 yang memuat perintah pengerahan personel TNI ke lingkungan Kejaksaan. Namun, hal ini berseberangan dengan pernyataan dari Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen TNI Wahyu Yudhayana yang menegaskan bahwa penempatan personel TNI untuk pengamanan kejaksaan atas dasar permintaan oleh Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2025. Jadi, hal ini terdapat campur tangan dari pemimpin negara.
Kejaksaan: Objek Vital Nasional?
Hubungan baik antara TNI, Polri, dan Kejaksaan diakui tidak ada masalah. Jika menilik pada Keppres Nomor 63 Tahun 2004, Polri bertugas mengamankan objek vital nasional, hal ini diperkuat oleh Pasal 6 yang berisikan, “Kepolisian Negara Republik Indonesia mengerahkan kekuatan pengamanan objek vital nasional berdasarkan kebutuhan dan perkiraan ancaman dan/atau gangguan yang mungkin timbul.” Diperjelas dengan Pasal 7, “Dalam melaksanakan pengamanan objek vital nasional, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan kekuatan TNI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Berdasarkan Keppres tersebut, dapat kita lihat jika Kejaksaan membutuhkan pengamanan lebih tepat dilaksanakan oleh Polri bukan TNI. Walaupun kejaksaan belum bisa dikategorikan sebagai objek vital nasional sesuai dengan Pasal 1 Keppres tersebut yang menyatakan bahwa “Objek vital nasional adalah kawasan/lokasi, bangunan/instalasi dan/atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis”. Memang, Kejaksaan menyangkut kepentingan dan hajat orang banyak namun belum dapat dikategorikan sebagai sebuah sumber pendapatan negara. Akan lebih tepat rasanya jika Kejaksaan dijuluki sebagai sumber keadilan dan kesamaan di mata hukum. Untuk itu sangatlah keliru jika TNI diperintahkan untuk mengamankan Kejaksaan sebab Kejaksaan belum termasuk objek vital nasional yang harus dijaga secara ketat. Pengamanan kantor Kejaksaan bisa saja dilakukan oleh Satuan Pengamanan (Satpam) yang telah dilatih untuk menjaga lingkungan kerja yang menjadi tanggung jawabnya.
TNI Mencampuri Urusan Sipil
Perkiraan akan terjadinya masa awal kembalinya “politisasi militer” terlihat sudah. Walaupun Presiden Prabowo sebagai mantan militer masih memiliki semangat militer yang bergairah, bukan berarti semua bidang pemerintahan dimasuki oleh militer, termasuk urusan sipil. Harusnya, TNI fokus pada pertahanan saja sesuai dengan amanat konstitusi. Pelibatan TNI dalam ranah sipil hari demi hari perlu dipertanyakan. Jika Kejaksaan dilakukan pengamanan oleh militer, harusnya berlaku juga untuk semua kantor penegak hukum termasuk pengadilan. Jika alasan jaksa diberikan keamanan atas kemungkinan tindakan anarkis yang dapat mengancam keselamatan, tentu saja ini berlaku untuk hakim di pengadilan mengingat fenomena contempt of court acapkali terjadi.
Politisasi militer sejatinya diduga masyarakat sebagai bentuk kembalinya dwifungsi TNI. Hal ini tentunya akan berdampak buruk terhadap kesiapan militer selayaknya yang terjadi pada orde baru. Namun, pihak kejaksaan telah berjanji bahwa TNI hanya sebagai pengaman saja bukan mencampuri urusan perkara, Lantas, jika untuk keamanan apakah tidak cukup dengan satpam? sebab sejatinya TNI tidak berwenang melakukan tugas ini. Pertahanan negara harus menjadi pokok tugas TNI, bukan pertahanan gerbang kantor. Untuk itu perlu adanya kajian ulang terhadap hal ini agar tidak ada kepentingan segelintir yang ikut menumpangi tindakan ini, tentunya kajian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah ada.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, perlu kita simpulkan bahwasanya pengerahan TNI untuk menjadi bodyguard Kejaksaan sangatlah di luar kewenangan TNI. Walaupun berdalih atas permintaan kejaksaan ataupun perintah dari presiden, hal ini tidaklah sejalan dengan jiwa konstitusi. Semudah itukah konstitusi dikangkangi? atau tidak cukup tugas TNI sehingga merambat ke ranah sipil? TNI adalah pelayan negara, dirinya lahir untuk menjaga negara bukan tembok dingin penyimpan berkas tuntutan. Perlu ada perencanaan yang matang terhadap kolaborasi ini. Terpenting, kepercayaan publik dan kepentingan umum tetaplah pada puncak dari segalanya serta konstitusi haruslah menjadi pondasi utama dalam penyelenggaraan negara.