Jaksa Tuntut Bebas: Sesat Pikir atau Puncak Keadilan?

Ilustrasi Gambar oleh Redaksi

Literasi Hukum – Di panggung peradilan, publik kerap mengidentikkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan citra seekor singa yang gigih. Ia, dengan segala dalil dan alat bukti, berjuang meyakinkan hakim agar menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa. Jaksa menjadi personifikasi negara yang menuntut pertanggungjawaban pidana. Namun, bayangkan sebuah skenario yang meruntuhkan citra klasik tersebut: singa yang sama, di tengah persidangan yang terbuka, justru menundukkan kepalanya dan meminta majelis hakim untuk melepaskan mangsanya.

Fenomena Jaksa tuntut bebas atau saat jaksa mengajukan tuntutan lepas (ontslag van alle rechtsvervolging) terhadap seorang terdakwa seketika memicu polemik. Sebagian kalangan menilai ini adalah sebuah anomali, bahkan sebuah pengakuan kegagalan. Bagi saya, ini adalah momen ketika hukum pidana menunjukkan wajahnya yang paling agung. Perdebatan ini bukan sekadar soal teknis yuridis, melainkan menyangkut jiwa dari sistem peradilan pidana kita.

Dominus Litis Keliru?

Seringkali, banyak pihak yang menolak kewenangan jaksa untuk menuntut bebas mendasarkan argumentasinya pada penafsiran kaku atas asas dominus litis. Asas ini, yang secara harfiah berarti “penguasa perkara”, memang memberikan mandat kepada Kejaksaan sebagai satu-satunya institusi yang dapat melakukan penuntutan. Berpegang pada asas ini, sebagian orang berpendapat bahwa sekali jaksa melimpahkan perkara ke pengadilan, tugas sucinya mengikatnya untuk menuntut hukuman. Mereka menganggap tindakan mundur dari tuntutan, apalagi meminta pembebasan, akan mencederai asas ini.

Argumentasi ini, sejatinya, mengandung kekeliruan fundamental. Dominus litis adalah asas tentang monopoli kewenangan penuntutan, bukan mandat untuk membabi buta. Kewenangan ini memberi jaksa kontrol penuh atas sebuah perkara. Kontrol itu mencakup inisiasi penuntutan, perubahan surat dakwaan, hingga pada akhirnya, penarikan kesimpulan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di sidang. Jika persidangan justru membuktikan sebaliknya dari apa yang jaksa yakini di awal, maka kontrol atas perkara itu—justru berdasarkan dominus litis—mewajibkan jaksa untuk menyesuaikan tuntutannya sesuai kebenaran yang baru terungkap.

Inkonsistensi Penuntut?

Kritik yang lebih populer menuding adanya inkonsistensi. Logikanya sederhana: Jaksa, melalui proses penyidikan dan prapenuntutan, telah menyatakan berkas perkara lengkap (P-21). Artinya, jaksa telah meyakini adanya minimal dua alat bukti yang sah untuk mendakwa seseorang. Lalu, bagaimana mungkin jaksa yang sama, di akhir persidangan, berbalik 180 derajat dan menyatakan terdakwa tidak bersalah? Bukankah ini sama saja dengan menelanjangi kelemahan institusinya sendiri di muka publik?

Pandangan ini sahih jika kita melihat hukum acara pidana sebagai sebuah prosedur yang linear dan kaku. Namun, pembentuk undang-undang tidak merancang KUHAP demikian. Persidangan bukanlah panggung sandiwara untuk sekadar mengamini hasil penyidikan. Persidangan adalah forum sakral untuk menguji, memverifikasi, dan bahkan membantah semua dalil dan bukti yang penuntut umum ajukan. Di sinilah letak jantung dari proses peradilan: dialektika antara penuntut dan pembela di hadapan hakim yang imparsial.

Kebenaran Materiil Mutlak

Di sinilah kita tiba pada argumen sentral yang membenarkan, bahkan mengharuskan, jaksa menuntut bebas dalam kondisi tertentu. KUHAP mengamanatkan bahwa tujuan utama hukum acara pidana Indonesia adalah mencari dan menemukan kebenaran materiil—kebenaran hakiki berdasarkan fakta sesungguhnya—bukan sekadar kebenaran formil yang hanya bersandar pada pemenuhan prosedur.

Ketika fakta-fakta baru, keterangan saksi yang kredibel, atau analisis ahli di persidangan secara meyakinkan meruntuhkan konstruksi dakwaan, jaksa menghadapi sebuah pilihan moral dan yuridis. Apakah ia akan tetap teguh pada dakwaan awalnya demi menjaga “konsistensi” atau citra institusi, atau ia akan tunduk pada kebenaran yang lebih tinggi? Memaksakan tuntutan pidana ketika hati nurani dan bukti-bukti di persidangan berkata sebaliknya adalah bentuk pengkhianatan terhadap tujuan hukum itu sendiri. Ini bukan lagi penegakan hukum, melainkan pemerkosaan terhadap keadilan.

Puncak Integritas Jaksa

Dalam optik saya, Jaksa tuntut bebas bukanlah sebuah anomali atau tanda kelemahan. Sebaliknya, itu adalah manifestasi tertinggi dari integritas dan pemahaman mendalam seorang jaksa akan tugasnya. Jaksa, sebagai representasi negara, tidak memiliki tugas utama untuk menghukum orang. Tugas utamanya adalah memastikan keadilan tegak (to see that justice is done). Keadilan itu mencakup upaya memastikan yang bersalah menerima hukuman, dan hakim harus membebaskan yang tidak bersalah—berdasarkan bukti di persidangan.

Tuntutan bebas atau lepas adalah wujud dari officium nobile (jabatan mulia) seorang jaksa. Ia menunjukkan kapasitas seorang penuntut untuk melampaui ego pribadi dan tekanan institusional. Ia sadar bahwa mahkotanya bukanlah jumlah tuntutan yang hakim kabulkan, melainkan tegaknya kebenaran materiil. Inilah saat negara, melalui jaksa, secara ksatria mengakui bahwa keyakinan awal dalam dakwaan ternyata keliru setelah proses pengujian di mimbar peradilan yang terhormat.

Kemenangan Keadilan

Pada akhirnya, kita harus mengembalikan polemik mengenai kewenangan jaksa menuntut bebas pada hakikat peradilan pidana. Sebuah sistem peradilan pidana yang sehat bukanlah mesin penghukum, melainkan mekanisme pencarian kebenaran. Jaksa yang berani mengambil sikap untuk menuntut bebas atau lepas bukanlah jaksa yang kalah atau inkonsisten.

Ia adalah jaksa yang telah mencapai puncak pemahaman filosofis akan perannya: sebagai garda terdepan penjaga keadilan, bukan sekadar algojo negara. Jaksa yang menuntut bebas bukanlah jaksa yang kalah dalam perkara. Ia adalah jaksa yang memenangkan keadilan itu sendiri. Dan kemenangan itulah yang sejatinya menjadi tujuan kita bernegara hukum.

Founder Literasi Hukum Indonesia | Orang desa yang ingin berkarya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

You might also like
Sampaikan Analisis Anda

Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.

Sampaikan Analisis Hukum Anda Tutup Kirim Naskah Opini