Literasi Hukum – Mengapa klaim “saya membangun” oleh pejabat publik berbahaya bagi sistem negara? Pahami risiko kaburnya tanggung jawab institusional dari sudut pandang Hukum Administrasi.
Pendahuluan
Fenomena komunikasi personal oleh pejabat publik di ruang digital semakin meluas. Linimasa media sosial mereka kini lazim diisi narasi-narasi yang menonjolkan peran individu, seperti “Saya sudah membangun,” “Kami pribadi telah menuntaskan ini,” atau “Terima kasih kepada pihak yang telah peduli kepada rakyat.”
Sekilas, kalimat-kalimat tersebut terdengar akrab dan merakyat. Namun, jika ditelaah dari sudut pandang hukum administrasi dan etika komunikasi publik, pendekatan ini menyimpan kekeliruan mendasar. Kita hidup dalam sistem hukum yang menempatkan kekuasaan bukan pada individu, melainkan pada jabatan (office). Ketika seorang pejabat mengklaim program negara sebagai hasil kerja pribadinya, ia sedang mengaburkan prinsip utama dalam tata kelola pemerintahan yang baik.
Kewenangan Melekat pada Jabatan, Bukan Individu
Dalam Hukum Administrasi Negara (HAN), dikenal sebuah asas fundamental bahwa seluruh tindakan pemerintahan harus didasarkan pada kewenangan yang sah (rechtmatige bevoegdheid) yang melekat pada jabatan. Prinsip ini salah satunya terwujud dalam konsep kewenangan atributif, yakni kewenangan yang diberikan secara langsung oleh peraturan perundang-undangan kepada suatu jabatan.
Dengan demikian, ketika seorang bupati meresmikan jalan baru atau seorang menteri meluncurkan program sosial, yang sebenarnya bertindak adalah institusi negara melalui pejabat tersebut sebagai representasi hukumnya. Yang bekerja adalah jabatan bupati atau jabatan menteri, bukan individu “A” atau “B” secara personal. Narasi “Saya pribadi telah membangun ini” menjadi tidak sejalan dengan prinsip legalitas formal dalam setiap tindakan administratif.
Risikonya sangat jelas: akuntabilitas menjadi kabur. Jika di kemudian hari terjadi sengketa atau pelanggaran hukum terkait proyek tersebut, siapa yang bertanggung jawab secara institusional? Personalisasi kekuasaan membuat batas antara tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab publik menjadi buram.
Jebakan Komunikasi Populis: Efektif, Namun Mengaburkan Fakta
Tidak bisa dimungkiri, komunikasi dengan sentuhan personal memang lebih mudah menyentuh emosi publik. Gaya ini efektif membangun citra kepemimpinan yang hadir dan peduli. Namun, efektivitas inilah yang membuatnya berpotensi berbahaya ketika tidak diimbangi dengan penguatan narasi kelembagaan.
Efek dari komunikasi yang terlalu personal ini dapat berantai. Pertama, masyarakat secara perlahan tidak lagi melihat negara sebagai sebuah sistem, melainkan sebagai perpanjangan tangan dari tokoh yang sedang populer. Akibatnya, loyalitas publik dapat bergeser dari ketaatan pada hukum dan institusi menjadi loyalitas pada figur tertentu. Pada akhirnya, ini bisa menghambat reformasi birokrasi, karena sistem seolah hanya akan berjalan jika ada sosok populis yang dominan.
Gaya komunikasi semacam ini sering kali menutupi fakta esensial bahwa sebuah program adalah hasil kerja kolektif, didanai oleh APBN/APBD yang merupakan uang rakyat, serta dilaksanakan oleh berbagai unit teknis melalui proses prosedural yang panjang.
Branding Politik vs. Etika Administrasi: Di Mana Batasnya?
Membangun citra dan kedekatan personal tentu merupakan bagian dari strategi komunikasi politik. Tidak ada yang keliru dengan hal tersebut selama tidak mengorbankan struktur dan etika pertanggungjawaban publik.
Batas itu dilanggar ketika narasi seperti “Saya membangun jalan ini” atau “Kami pribadi menyumbang fasilitas itu” digunakan dalam konteks program yang sepenuhnya dibiayai negara. Pada titik ini, kebijakan publik yang merupakan produk sistematis negara seolah diturunkan derajatnya menjadi semacam pemberian atau kemurahan hati pribadi. Inilah yang bertentangan langsung dengan prinsip impersonality of the state—bahwa negara harus bekerja secara imparsial dan sistemik, tidak berdasarkan preferensi atau citra personal siapa pun yang sedang menjabat.
Risiko Terbesar: Saat Institusi Negara Tenggelam oleh Figur Personal
Dampak paling nyata di masyarakat adalah munculnya penyebutan, “Itu program dari Bapak X,” atau “Jalan itu dibangun oleh Ibu Y.” Padahal, program tersebut dirancang oleh lembaga, disetujui melalui mekanisme kelembagaan, dan dieksekusi oleh struktur pemerintahan. Narasi personal yang dominan secara efektif menyerap dan menutupi seluruh kontribusi kelembagaan tersebut. Masyarakat menjadi tidak teredukasi mengenai bagaimana negara mereka bekerja.
Jika fenomena ini terus dibiarkan, legitimasi institusi publik akan terus tergerus. Pemerintahan menjadi sangat bergantung pada kekuatan personal seorang figur, bukan pada stabilitas dan ketahanan sistem. Dan saat figur itu lengser, negara dan program-programnya pun berisiko kehilangan arah.
Kesimpulan: Mengembalikan Negara pada Sistem, Bukan Figur
Pejabat publik perlu menyadari bahwa komunikasi kenegaraan yang sehat tidak hanya butuh kedekatan personal, tetapi yang lebih utama adalah penguatan kesadaran publik bahwa negara hadir melalui sistem dan hukum. Yang perlu ditonjolkan bukan siapa yang memberi, tetapi lembaga mana yang bertanggung jawab. Bukan siapa yang membangun, tetapi bagaimana negara menjalankan mandat konstitusionalnya.
Negara ini terlalu kompleks untuk diringkas dalam narasi tunggal seorang individu. Untuk membangun birokrasi yang sehat dan berkelanjutan, pejabat publik harus kembali berbicara sebagai wakil institusi. Sebab pada hakikatnya, negara ini adalah milik hukum, bukan milik siapa pun.