Literasi Hukum – Hukum pidana di Indonesia telah mengalami perkembangan yang signifikan sejak zaman kolonial Belanda hingga era modern saat ini. Perkembangan ini mencakup perubahan dalam peraturan perundang-undangan, kebijakan penegakan hukum, serta adaptasi terhadap tantangan baru yang muncul dalam masyarakat. Sejarah hukum pidana di Indonesia bermula dari masa kolonial Belanda, di mana Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (WvSNI) diadopsi sebagai hukum pidana resmi pada tahun 1918. Hukum ini mengatur berbagai tindak pidana dan sanksi yang diterapkan di wilayah Hindia Belanda. Landasan hukum berlakunya hingga saat ini adalah berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan dari UUD-RI Tahun 1945 dan tetap berlaku berdasarkan Undang-undang No 1 Tahun 1946.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, WvSNI tetap digunakan dan diberlakukan diseluruh wilayah Indonesia, WvSNI tetap berlaku berdasarkan Undang-undang No 1 Tahun 1946. Sejak 2 Januari 2023, Presiden telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan akan diberlakukan pada tahun 2026. Dengan demikian, KUHP yang merupakan warisan kolonial secara resmi sudah tidak lagi berlaku. Langkah ini tentu menjadi kemajuan besar bagi Pemerintah Indonesia, yang berhasil membentuk KUHP baru sebagai bagian dari hukum positif Indonesia, tanpa lagi mengandalkan warisan kolonial.
Lahirnya KUHP 2023 tidak terlepas dari latar belakang perubahan dan perkembangan masyarakat yang semakin pesat, yang tentunya membawa berbagai dampak negatif. Dalam menghadapi hal tersebut, hukum pidana perlu disusun dengan pendekatan yang lebih menyeluruh dan mendalam. Jika hukum pidana hanya didasarkan pada konsep, prinsip, dan teori yang ditujukan untuk mengatasi masalah sosial di masa lalu, maka keberadaannya akan dianggap kurang relevan. Bahkan, hukum pidana bisa saja ketinggalan zaman dan tidak mampu mengimbangi perubahan serta kebutuhan masyarakat saat ini, yang mengharapkan hukum pidana yang lebih sesuai dan memadai.
Perkembangan hukum pidana di Indonesia tidak hanya terbatas pada perubahan perundang-undangan, tetapi juga mencakup reformasi sistem peradilan pidana. Salah satu aturan penting yang menjadi dasar sistem peradilan pidana di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP, diterapkan konsep peradilan pidana terpadu yang mengacu pada prinsip pembagian fungsi secara jelas di antara aparat penegak hukum. Prinsip ini menetapkan bahwa setiap institusi penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan, memiliki tugas serta kewenangan yang berbeda, namun tetap saling berhubungan dalam menjalankan proses penegakan hukum.
Namun, perkembangan hukum pidana di Indonesia juga menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah tingginya angka kejahatan yang melibatkan narkotika. Pemerintah Indonesia telah mengambil berbagai langkah untuk mengatasi masalah ini dengan menerbitkan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, termasuk penerapan hukuman mati bagi pelaku kejahatan narkotika. Pidana mati tercantum secara formil dalam bab khusus mengenai ketentuan pidana undang-undang yang telah disebutkan sebelumnya. Pidana mati tidak diatur secara materiil dalam undang-undang tersebut. Ketentuan pidana mati baru diatur secara materiil dalam KUHP dan Peraturan Kapolri. Kebijakan ini menuai pro dan kontra, baik di dalam negeri maupun di kalangan komunitas internasional.
Selain itu, korupsi juga menjadi permasalahan serius dalam sistem hukum pidana Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 sebagai lembaga independen yang bertugas menangani kasus-kasus korupsi. KPK memiliki wewenang yang luas, termasuk koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta penyitaan aset yang terkait dengan tindak pidana korupsi. Keberadaan KPK diharapkan dapat mengurangi tingkat korupsi dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum pidana. Selain di UU Narkotika, pidana mati juga diatur dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi, tetapi pengadilan tidak pernah menjatuhi pidana mati pada pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini juga merupakan salah satu faktor tidak ada rasa efek jera dari koruptor.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia juga menghadapi tantangan baru dalam bentuk kejahatan siber. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membuka peluang bagi pelaku kejahatan untuk melakukan tindak pidana melalui internet. Untuk mengatasi masalah cybercrime ini, pada tahun 2008 pemerintah mengesahkan Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta revisi dari UU ITE terakhir pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Undang Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (selanjutnya disebut UU PDP) yang menjadi landasan hukum untuk mengatasi cybercrime di Indonesia. UU ITE mengatur berbagai aspek kejahatan siber, seperti pencemaran nama baik, penipuan, dan akses ilegal ke sistem komputer.
Namun, meskipun sudah terdapat regulasi demikian, masih ada tantangan dan hambatan dalam implementasinya. Malah justru dibuat untuk tindakan penyelewengan kewenangan berupa pelanggaran, seperti pasal-pasal bermasalah UU ITE yang digunakan untuk membungkam kritik terhadap kekuasaan. Menurut catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), dari Januari hingga Oktober 2023, setidaknya ada 89 kasus kriminalisasi yang menggunakan pasal-pasal kontroversial dalam UU ITE. Kriminalisasi ini menjadi alat politik kekerasan baru melalui peradilan dan penahanan, yang menargetkan jurnalis, pelajar, mahasiswa, akademisi, dan pembela hak asasi manusia. Selain itu, pada 5 Desember 2023, seluruh fraksi di DPR secara resmi mengesahkan revisi kedua UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam rapat paripurna ke-10 penutupan masa sidang II 2023-2024.
Masalahnya, pasal-pasal kontroversial yang selama ini mengancam kebebasan sipil warga negara masih diberlakukan. Padahal, publik mengharapkan adanya penghapusan atau perbaikan mendasar terhadap pasal-pasal ini, yang selama ini sering disalahgunakan, sehingga revisi yang dilakukan dapat menjamin keadilan bagi masyarakat. Terdapat dua pasal yang sangat terkait dengan pembungkaman kebebasan sipil, yaitu pasal tentang pencemaran nama baik (cyber defamation) dan pasal tentang disinformasi serta misinformasi, yang sering digunakan secara keliru atau bahkan disalahgunakan oleh Negara. Kebijakan hukum pidana di Indonesia terus berkembang seiring dengan perubahan dinamika sosial dan tantangan baru yang muncul dalam masyarakat. Meskipun telah banyak upaya yang dilakukan untuk memperbaiki sistem hukum pidana, masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Reformasi hukum pidana harus terus berjalan untuk memastikan bahwa hukum yang berlaku dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan memberikan perlindungan yang efektif bagi masyarakat.
Oleh karena itu, kesimpulan dalam essay ini bahwa perkembangan hukum pidana di Indonesia mencerminkan upaya adaptasi terhadap perubahan sosial, tantangan baru, dan kebutuhan akan keadilan yang lebih baik. Dari revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hingga penanganan kejahatan modern seperti korupsi, narkotika, dan cybercrime, pemerintah telah mengambil berbagai langkah signifikan. Namun, beberapa kebijakan, seperti pasal-pasal kontroversial dalam UU ITE, masih menjadi sorotan karena potensinya disalahgunakan, sehingga mengancam kebebasan sipil. Untuk menjawab tantangan ini, diperlukan reformasi hukum yang lebih progresif dengan menghapus pasal-pasal multitafsir serta memperkuat instrumen hukum yang mampu menjawab kebutuhan era modern. Solusi ini diharapkan dapat menciptakan sistem hukum pidana yang tidak hanya adaptif, tetapi juga memastikan keadilan dan perlindungan yang berimbang bagi seluruh masyarakat.