Recommendation
Rekomendasi Buku Hukum Pidana
Opini

Praktik Usang Penyiksaan dalam Sistem Peradilan Pidana: Exclusionary Rules dan Runtuhnya Prinsip Fair Trial

Yayang Nanda Budiman, SH
43
×

Praktik Usang Penyiksaan dalam Sistem Peradilan Pidana: Exclusionary Rules dan Runtuhnya Prinsip Fair Trial

Sebarkan artikel ini
Praktik Usang Penyiksaan dalam Sistem Peradilan Pidana: Exclusionary Rules dan Runtuhnya Prinsip Fair Trial
Foto Penulis

Literasi Hukum – Di dalam ekosistem peradilan pidana, terdapat satu hal yang sangat fundamental, yaitu keadilan. Eksistensi prinsip “fair trial” merupakan dasar dari setiap pemeriksaan kasus, yang memastikan bahwa setiap individu diperlakukan dengan adil, tidak diskriminatif, dan tanpa adanya penyalahgunaan kekuasaan.

Namun, dalam beberapa dekade terakhir, kita semakin sering mendengar kabar yang tersebar di beranda digital mengenai praktik penyiksaan dalam proses pemeriksaan oleh aparat penegak hukum. Apakah ini hanya kesalahan teknis, atau justru sebuah indikasi dari kerusakan sistem yang semakin parah? 

Serupa jauh panggang dari api, upaya untuk menghapuskan praktik penyiksaan dalam proses penyidikan perkara masih jauh dari harapan. Meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998, yang mengatur perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, faktanya penyiksaan masih terus terjadi.

Pemenuhan prinsip peradilan yang adil (fair trial) merupakan pondasi sentral dalam penegakan hukum agar tidak ada ruang bagi kesewenang-wenangan. Fair trial adalah bagian integral dari identitas Indonesia sebagai negara hukum, sekaligus manifestasi hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana yang terpadu (integrated criminal justice system).

Dalam kerangka Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), konsep fair trial meliputi hak untuk bebas dari eksekusi tanpa pengadilan (extra judicial execution), penghilangan paksa, penyiksaan, dan penangkapan yang sewenang-wenang (freedom from torture and arbitrary arrest).

Penyiksaan terhadap masyarakat sipil oleh aparat penegak hukum semakin melonjak dalam beberapa tahun terakhir, dengan ironi yang jelas: sebagian besar pelaku didominasi oleh anggota Kepolisian RI. Ini adalah sinyal darurat yang memerlukan atensi serius.

Menyikapi kondisi demikian Pemerintah semestinya segera memperkuat mekanisme pengawasan dan akuntabilitas aparat, jika ingin menghentikan siklus praktik penyiksaan yang terus terjadi. 

Amnesty International mencatat eskalasi signifikan dalam jumlah kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum selama tiga tahun terakhir. Pada periode 2021-2022, tercatat setidaknya 15 kasus dengan 25 korban, yang kemudian naik pada periode 2022-2023 menjadi 16 kasus dengan 26 korban. Lebih riskan lagi, pada periode 2023-2024 jumlahnya melonjak drastis menjadi setidaknya 30 kasus dengan 49 korban. 

Data yang dimuat Amnesty ini senada dengan temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang mengungkapkan bahwa pengaduan terkait penyiksaan diterima dari seluruh daerah di Indonesia. Berdasarkan data pengaduan Komnas HAM antara rentan 1 Januari 2020 hingga 24 Juni 2024, teridentifikasi 282 kasus penyiksaan, dengan mayoritas pelaku yang teradu adalah anggota kepolisian sebanyak 176 kasus.

Membongkar Siklus Mengekalnya Penyiksaan oleh Aparat

Penyiksaan, baik sebagai bentuk hukuman maupun guna memperoleh pengakuan dari korban atau tersangka, masih dianggap sebagai metode yang kerap diaplikasikan oleh oknum penyidik untuk mempermudah pengungkapan tindak pidana. Hal ini memperlihatkan kurangnya keterampilan dan profesionalisme anggota kepolisian dalam menangani penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana melalui metode ilmiah (scientific crime investigation).

Mengamati kondisi demikian, terdapat sejumlah faktor yang andil memperkeruh praktik penyiksaan di Indonesia, misalnya, penyiksaan belum dianggap sebagai tindak pidana yang tegas, pelaku umumnya merupakan aparat penegak hukum, minimnya pengawasan, tidak ada lembaga khusus yang menangani kasus penyiksaan, pandangan masyarakat dan trauma yang dialami oleh korban. 

Peraturan perundang-undangan di Indonesia belum secara komprehensif menyatakan bahwa penyiksaan yang terjadi dalam proses penyidikan merupakan tindak pidana. Faktanya, meskipun penyiksaan terhadap tersangka atau saksi terkadang terungkap, seringkali tidak ada proses hukum yang menyusul terhadap pelaku. 

Bila-pun ada, penyelesaian lebih sering dilakukan secara internal dan dianggap hanya sebatas pelanggaran etik, sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Oleh sebab itu pemerintah Indonesia berkewajiban untuk memperjelas status penyiksaan sebagai tindak pidana, sesuai dengan kewajiban yang timbul dari ratifikasi Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment

Akibatnya, praktik impunitas mengekal dan menjadi budaya institusi untuk melindungi pelaku. Selain itu, pengawasan oleh aparat penegak hukum lainnya juga tidak berjalan efektif, seperti ketika Majelis Hakim mengabaikan pengakuan dari Tersangka yang diperoleh melalui penyiksaan.

Secara kelembagaan, Indonesia juga tidak mempunyai lembaga khusus guna menangani penyiksaan. Bagaimanapun, tidak sedikit dari korban yang memilih untuk tidak melapor karena rasa trauma yang mereka alami saat harus kembali berhadap dengan pelaku yang selama ini menyiksa mereka untuk mengakui suatu perbuatan yang sebenarnya tidak mereka lakukan.

Metode Penyiksaan dalam Kerangka Exclusionary Rules

Implementasi model Exlusionary Rule menjadi sangat penting, terutama terhadap alat bukti yang diperoleh secara melawan hukum. Frasa “alat bukti yang sah” dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mempunyai makna utama. Pertama, perihal jenis alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP, dan kedua, berhubungan dengan cara memperoleh alat bukti tersebut. 

Sebagai salah satu alat bukti yang sah dan diakui oleh hukum, keterangan terdakwa mempunyai peran yang tak terpisahkan guna mencari dan menemukan kebenaran materil. Namun kekuatan pembuktian dari keterangan tersebut sangat bergantung pada bagaimana keterangan itu diperoleh—apakah diberikan secara sukarela, melalui tipu daya atau bahkan melalui penyiksaan guna memperoleh pengakuan?

Jika keterangan tersebut diperoleh dengan paksaan, bagaimana kekuatan dan keabsahan pembuktiannya? Pertanyaan ini merefleksikan betapa pentingnya relevansi antara alat bukti dan cara memperolehnya, karena keduanya berpengaruh secara langsung terhadap nilai pembuktian yang dapat dihasilkan. 

Seiring dengan perkembangan prinsip Exclusionary Rules, tujuan penerapannya pun mengalami transformasi, yang semula berfokus pada menjaga integritas pengadilan, kini lebih ditekankan sebagai sarana pencegahan dan untuk memberikan efek jera terhadap tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat kepolisian.  Sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan prinsip Exclusionary Rules melahirkan pertentangan antara upaya mengungkap kejahatan dengan perlindungan hak asasi manusia. . 

Penerapan Exclusionary Rules Melalui Lembaga Pemeriksa Pendahuluan

Jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia dalam KUHAP merupakan kemajuan yang signifikan dalam pembaharuan hukum acara pidana di Indonesia. Penjelasan Umum KUHAP menekankan bahwa sebagai negara hukum yang demokratis, penting untuk menjunjung tinggi elemen perlindungan HAM, termasuk dalam penyusunan hukum acara pidana. 

Di tengah perdebatan mengenai sejauh mana eksistensi prinsip Exclusionary Rules dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, masalah lain adalah ketidakcukupan prosedur dalam KUHAP yang melindungi hak-hak Tersangka atau individu lain yang mengalami “official misconduct” oleh aparat penegak hukum dalam proses pengumpulan bukti.

Sudah menjadi perdebatan klasik bahwa lembaga pra-peradilan bukanlah sarana yang efektif untuk mengawasi perilaku aparat penegak hukum dalam pengumpulan bukti. Lembaga pra-peradilan bersifat pasif, hanya menunggu adanya pengaduan, bukan aktif dalam melindungi hak-hak individu. 

Hal yang menarik untuk dicermati adalah keberadaan lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang diatur dalam RUU KUHAP. Lembaga ini diberikan kewenangan, antara lain, untuk memutuskan sah atau tidaknya penggeledahan, penyitaan, serta keterangan yang diberikan oleh Tersangka atau Terdakwa yang melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri.

Selain itu, Hakim Pemeriksa Pendahuluan juga diberikan kewenangan untuk menentukan bahwa alat bukti yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dipergunakan dalam persidangan.

Adanya lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan ini memberikan harapan untuk melindungi hak Tersangka dan pihak lain dari tindakan arogan dan congkak aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana.

Norma yang diatur dalam RUU KUHAP perihal kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam menyeleksi proses pengumpulan bukti mengandung nilai-nilai yang sesuai dengan prinsip Exclusionary Rules.

Independensi Pengadilan dan Keabsahan Alat Bukti

Pengadilan yang independen dan Hakim yang imparsial merupakan elemen vital dalam memproteksi Hak Asasi Manusia (HAM) warga negara. Pengadilan memainkan peran penting dalam penerapan prinsip-prinsip fair trial, termasuk dalam peran hakim selama proses peradilan pidana.

Dengan mengaplikasikan prinsip fair trial, Hakim dapat menjamin bahwa proses penegakan hukum terhadap Tersangka atau Terdakwa dilakukan secara adil dan tanpa bias. Dengan kata lain, implementasi prinsip fair trial merupakan pelaksanaan kewajiban konstitusional Hakim dalam melindungi hak-hak warga negara agar mereka mendapatkan proses hukum yang sah dan bebas dari tindakan sewenang-wenang. 

KUHAP mengatur bahwa Hakim hanya dapat menjatuhkan pidana kepada Terdakwa berdasarkan keyakinan yang diperoleh dari minimal dua alat bukti yang sah (Pasal 183 KUHAP).

Prinsip ini juga diterima dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali berdasarkan keyakinan yang didasarkan pada bukti yang sah.

Ketentuan ini mempertegas bahwa keberadaan bukti yang sah sangat krusial dalam proses peradilan pidana, karena bukti tersebut menjadi dasar utama dalam memperoleh keyakinan hakim dalam menentukan pidana. 

Namun, mekanisme pembuktian dalam hukum acara pidana saat ini masih belum dapat menjamin pemenuhan hak fair trial, terutama terkait dengan kesempatan untuk menguji alat bukti. Selain itu, terbatasnya akses terhadap Penasihat Hukum yang berkualitas masih menjadi isu utama dalam pemenuhan hak fair trial.

Pada akhirnya, praktik penyiksaan—terutama dalam fase penyidikan—dapat terjadi ketika sistem pembuktian terlalu bergantung pada pengakuan Tersangka, ditambah dengan belum optimalnya pemberi bantuan hukum sejak awal proses peradilan. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses