Literasi Hukum – Perubahan Pasal 42 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan melalui UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU menimbulkan perdebatan panjang. Pasal ini sebelumnya mengatur bahwa setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing (TKA) wajib memperoleh izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Namun, setelah lahirnya UU Cipta Kerja, kewajiban tersebut dihapus. Pemberi kerja kini hanya diwajibkan memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) yang disahkan oleh pemerintah. Aturan baru ini disebut sebagai penyederhanaan perizinan, tetapi pada praktiknya justru membuka pintu selebar-lebarnya bagi masuknya TKA ke Indonesia.
Di satu sisi, pemerintah beralasan bahwa deregulasi perizinan merupakan bagian dari upaya menciptakan iklim investasi yang ramah dan kompetitif. Selama ini, perizinan ganda RPTKA dan izin mempekerjakan TKA sering dianggap memperlambat proses investasi dan menambah biaya birokrasi. Dengan dihapuskannya izin tertulis, perusahaan bisa lebih cepat mendatangkan TKA untuk kebutuhan bisnisnya. Argumentasi ini terdengar logis dalam kerangka mendorong ease of doing business, namun pertanyaan mendasarnya adalah: apakah penyederhanaan ini sejalan dengan amanat konstitusi untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan pekerjaan bagi rakyat Indonesia?
Jika ditelusuri lebih jauh, perubahan ini menyimpan sejumlah persoalan serius. Pertama, hilangnya izin tertulis berarti pemerintah kehilangan salah satu instrumen penting untuk melakukan kontrol langsung terhadap jumlah, jenis, dan kebutuhan TKA. RPTKA memang tetap ada, tetapi sifatnya lebih bersifat administratif sebagai dokumen rencana, bukan persetujuan operasional yang dapat menjadi filter ketat. Akibatnya, potensi masuknya TKA tanpa mekanisme pengawasan yang memadai semakin besar. Kondisi ini rentan menimbulkan penyalahgunaan, misalnya masuknya TKA untuk jenis pekerjaan yang sebenarnya bisa dikerjakan oleh tenaga kerja lokal.
Kedua, perubahan ini menimbulkan ancaman nyata bagi kesempatan kerja tenaga kerja Indonesia. Dengan semakin terbuka pintu bagi TKA, terutama di sektor-sektor padat karya, pekerja lokal akan menghadapi persaingan yang tidak seimbang. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia mencapai 4,76%, dengan total pengangguran sebanyak 7,28 juta jiwa. Persentase ini menunjukkan kenaikan dibandingkan Februari 2024, yang dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah penduduk dalam angkatan kerja. Perlu diingat, data ketenagakerjaan Indonesia masih menunjukkan angka pengangguran terbuka yang cukup tinggi, terutama di kalangan anak muda. Dalam situasi seperti ini, regulasi seharusnya memperkuat proteksi bagi pekerja lokal, bukan justru melonggarkan pintu masuk tenaga kerja asing. Bukankah tujuan utama UU Ketenagakerjaan adalah memastikan warga negara Indonesia mendapat kesempatan kerja seluas-luasnya?
Ketiga, penghapusan izin tertulis juga berpotensi menimbulkan masalah sosial. Isu TKA selama ini menjadi isu sensitif di tengah masyarakat, terutama ketika publik melihat masuknya TKA untuk pekerjaan kasar yang seharusnya tidak membutuhkan keahlian khusus. Masyarakat lokal merasa dirugikan ketika kesempatan kerja diambil oleh orang asing, sementara mereka sendiri kesulitan mendapatkan pekerjaan. Dalam konteks inilah, kebijakan yang melonggarkan perizinan dapat menimbulkan kecemburuan sosial, bahkan konflik horizontal. Alih-alih menciptakan ketenangan, kebijakan ini justru bisa memicu keresahan.
Keempat, dari perspektif hukum ketenagakerjaan, perubahan ini menunjukkan adanya pergeseran paradigma. Sebelumnya, negara memposisikan diri sebagai pengawas utama dengan menempatkan izin tertulis sebagai syarat pokok. Kini, negara seakan bergeser menjadi fasilitator investasi dengan mengurangi kontrol langsung. Paradigma ini memang sesuai dengan semangat liberalisasi ekonomi, tetapi berpotensi melemahkan prinsip perlindungan tenaga kerja nasional yang selama ini menjadi roh hukum ketenagakerjaan Indonesia.
Sebagian pihak mungkin berargumen bahwa RPTKA tetap memberikan kontrol karena perusahaan wajib melaporkan rencana penggunaan TKA. Namun, perbedaan mendasar terletak pada sifat pengawasannya. Izin tertulis memberikan negara kewenangan untuk melakukan penyaringan sejak awal, sedangkan RPTKA lebih condong pada mekanisme pencatatan. Artinya, jika tidak ada mekanisme evaluasi yang ketat, RPTKA hanya akan menjadi formalitas administratif belaka, sementara arus masuk TKA sulit dibendung.
Maka dari itu, perubahan Pasal 42 ini lebih layak dipandang sebagai kemunduran dalam hal perlindungan tenaga kerja lokal. Penyederhanaan birokrasi memang penting, tetapi jangan sampai dilakukan dengan mengorbankan hak dan kesempatan kerja rakyat sendiri. Jika benar tujuan utama pemerintah adalah menciptakan iklim investasi yang sehat, seharusnya ada keseimbangan yang jelas: mempermudah investasi tanpa mengabaikan perlindungan pekerja Indonesia.
Dalam konteks ini, diperlukan kebijakan turunan yang lebih ketat. Kebijakan turunan ini dapat berupa pengaturan jenis jabatan yang hanya boleh diisi oleh TKA dengan spesialisasi tertentu, penetapan kewajiban transfer teknologi dan keahlian dari TKA kepada pekerja lokal, serta pembatasan jumlah TKA sesuai kebutuhan riil perusahaan. Pengawasan juga harus ditingkatkan, bukan hanya di atas kertas, tetapi melalui inspeksi langsung di lapangan. Tanpa itu semua, perubahan Pasal 42 hanya akan menjadi celah hukum yang merugikan pekerja Indonesia.
Kesimpulannya, penyederhanaan perizinan mempekerjakan TKA melalui UU Cipta Kerja lebih banyak menghadirkan risiko daripada manfaat bagi tenaga kerja lokal. Regulasi ini memang memudahkan investor, tetapi di sisi lain mempersempit kesempatan rakyat sendiri untuk bekerja di negeri sendiri. Negara seharusnya tidak hanya berperan sebagai penyedia ‘karpet merah’ bagi investasi, tetapi juga sebagai penjaga utama kepentingan rakyat. Membuka pintu selebar-lebarnya bagi TKA berarti menutup kesempatan bagi rakyat sendiri, dan inilah bentuk pengkhianatan terhadap semangat perlindungan ketenagakerjaan nasional.
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini