Literasi Hukum – Putusan MK menegaskan pendidikan dasar gratis berlaku juga di sekolah swasta bagi warga tak mampu. Simak analisis mendalamnya dari perspektif keadilan John Rawls, utilitarianisme, dan tafsir progresif UUD 1945 oleh Masdar Farid Mas’udi.
Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini kembali menegaskan amanat suci dalam konstitusi: pendidikan dasar adalah hak fundamental setiap warga negara yang wajib dijamin oleh negara tanpa terkecuali. Melalui putusannya, MK menolak praktik diskriminatif yang membatasi biaya pendidikan gratis hanya untuk siswa di sekolah negeri.
Menurut MK, negara tidak boleh lepas tangan terhadap nasib anak bangsa yang terpaksa menempuh pendidikan di sekolah swasta, terutama mereka yang berasal dari keluarga tidak mampu. Meski amar putusan memberikan catatan agar Pemerintah melakukan penyesuaian fiskal dan kriteria, pesan utamanya jelas: keadilan pendidikan harus dirasakan oleh semua.
Putusan ini bukan sekadar dokumen hukum, melainkan sebuah pernyataan filosofis yang mendalam. Mari kita bedah signifikansinya melalui tiga lensa: teori keadilan John Rawls, teori kemanfaatan (utilitarianisme), dan tafsir progresif Pasal 31 UUD 1945 dari perspektif Islam oleh K.H. Masdar Farid Mas’udi.
Putusan MK: Mandat Konstitusi untuk Keadilan Pendidikan Substantif
Inti dari putusan MK ini adalah penegasan bahwa kewajiban negara dalam menyelenggarakan pendidikan gratis tidak boleh berhenti pada formalitas penyediaan sekolah negeri. Negara harus memastikan akses yang adil dan merata, yang berarti menjangkau mereka yang secara geografis atau ekonomis tidak memiliki pilihan selain sekolah swasta. Ini adalah pergeseran dari keadilan formal menuju keadilan substantif.
Analisis Filosofis: Tiga Lensa Membedah Kewajiban Negara
Untuk memahami bobot putusan ini, kita perlu melihatnya dari berbagai kerangka pemikiran hukum yang fundamental.
1. Teori Keadilan John Rawls: Keberpihakan pada yang Paling Rentan
Filsuf politik John Rawls, dalam magnum opusnya A Theory of Justice, berpendapat bahwa keadilan sejati bukanlah perlakuan yang sama rata, melainkan sistem yang dirancang untuk memberi keberpihakan maksimal kepada kelompok yang paling tidak beruntung (the least advantaged). Ketimpangan sosial dan ekonomi hanya dapat dibenarkan jika ia memberikan manfaat terbesar bagi mereka yang berada di posisi terbawah.
Dengan kacamata Rawls, putusan MK adalah wujud nyata dari prinsip keadilan ini. Negara tidak bisa berdalih telah memenuhi kewajiban hanya dengan membangun sekolah negeri. Ketika anak dari keluarga miskin di pelosok desa tidak memiliki akses ke sekolah negeri dan satu-satunya pilihannya adalah sekolah swasta, maka membiayai mereka bukanlah bentuk kemurahan hati, melainkan penunaian kewajiban konstitusional untuk mengoreksi ketidakadilan struktural.
2. Teori Kemanfaatan (Utilitarianisme): Pendidikan sebagai Investasi Sosial
Dari sudut pandang utilitarianisme, yang dipelopori oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, sebuah hukum atau kebijakan dinilai baik jika mampu menghasilkan kebahagiaan terbesar untuk jumlah orang terbanyak (the greatest happiness for the greatest number).
Kebijakan pendidikan gratis yang inklusif adalah contoh sempurna dari asas kemanfaatan. Pendidikan berkualitas bukanlah sekadar pemenuhan kebutuhan individual, melainkan sebuah investasi sosial jangka panjang. Negara yang abai terhadap pendidikan warganya sejatinya sedang merusak masa depannya sendiri. Anak-anak yang putus sekolah karena biaya adalah potensi yang hilang, yang pada akhirnya mengancam daya saing bangsa, stabilitas sosial, dan kesehatan demokrasi.
3. Perspektif Islam Masdar Farid: Pendidikan sebagai Tugas Suci Negara
Tafsir paling relevan dalam konteks keindonesiaan datang dari K.H. Masdar Farid Mas’udi dalam karyanya Syarah UUD 1945 Perspektif Islam. Masdar menafsirkan Pasal 31 UUD 1945 melalui lensa Islam yang humanis. Baginya, pendidikan adalah proses tarbiyah—upaya menumbuhkembangkan seluruh potensi fitrah manusia. Kata tarbiyah sendiri berasal dari akar kata rabba (tumbuh), sama seperti kata Rabb (Tuhan Sang Pemelihara).
Manusia, menurut Masdar, mengemban dua mandat ilahiah: menjadi hamba Allah (QS. Adz-Dzariyat: 56) dan menjadi khalifah (pengelola) di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 30). Untuk menunaikan kedua tugas ini, pendidikan menjadi syarat mutlak. Maka, negara yang memfasilitasi pendidikan sejatinya sedang membantu warganya memenuhi tujuan penciptaannya.
Mengutip sebuah hadis Nabi, Masdar menekankan bahwa “penguasa adalah pelindung bagi mereka yang tidak memiliki pelindung.” Artinya, ketika keluarga atau individu tidak lagi mampu memenuhi hak dasarnya, negaralah yang wajib mengambil alih tanggung jawab tersebut, termasuk dalam urusan biaya pendidikan.
Maqashid Syariah dan Hifz al-‘Aql: Akar Teologis Kewajiban Mencerdaskan Bangsa
Pandangan Masdar Farid juga berakar kuat pada maqashid syariah (tujuan-tujuan luhur hukum Islam), khususnya prinsip hifz al-‘aql (menjaga dan mengembangkan akal). Kewajiban negara dalam hal ini memiliki dua sisi:
- Sisi Negatif: Mencegah perusakan akal (misalnya dengan melarang narkotika dan hoaks).
- Sisi Positif: Mengembangkan potensi akal melalui pendidikan yang berkualitas dan dapat diakses semua.
Dengan demikian, menyediakan pendidikan gratis bukan lagi soal pilihan kebijakan atau kemurahan hati, melainkan mandat teologis sekaligus konstitusional. Netralitas negara di hadapan ketimpangan akses pendidikan adalah bentuk lain dari kezaliman.
Penutup: Pendidikan Bukan Beban, Tapi Jantung Keadilan Bangsa
Putusan MK tentang pendidikan dasar gratis untuk semua, termasuk di sekolah swasta bagi yang tak mampu, adalah sebuah mercusuar. Ia bukan sekadar tafsir hukum, tetapi cermin dari cita-cita luhur keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sebagaimana ditunjukkan oleh analisis Rawls hingga tafsir Masdar Farid, pendidikan adalah arena utama di mana negara dapat menunaikan tugas sucinya: memuliakan manusia dan membangun peradaban. Sudah saatnya kita berhenti melihat anggaran pendidikan sebagai beban, dan mulai memandangnya sebagai investasi untuk jantung masa depan bangsa.