Recommendation
Rekomendasi Buku Hukum Pidana
Opini

Paradoks ODOL: Supir Truk, Kriminalisasi Struktural, dan Ilusi Penegakan Hukum di Indonesia

Avatar
105
×

Paradoks ODOL: Supir Truk, Kriminalisasi Struktural, dan Ilusi Penegakan Hukum di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Paradoks ODOL: Supir Truk, Kriminalisasi Struktural, dan Ilusi Penegakan Hukum di Indonesia
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi Hukum – Aksi protes supir truk di berbagai kota Indonesia menyoroti ketimpangan hukum dalam kebijakan ODOL. Artikel ini mengupas tuntutan sopir, cacat struktural hukum lalu lintas, dan solusi reformasi agar hukum lebih adil bagi buruh jalanan.

Jalan Raya sebagai Cermin Ketimpangan Sosial dan Hukum

Dalam beberapa pekan terakhir, jalan-jalan utama di Indonesia menjadi panggung protes dari kelompok yang selama ini terpinggirkan dalam rantai logistik nasional: para sopir truk. Aksi serentak di berbagai kota seperti Bandung, Surabaya, Bekasi, dan Palembang bukan sekadar unjuk rasa spontan, melainkan perlawanan terhadap kebijakan negara yang gagal memahami akar struktural dari pelanggaran lalu lintas.

Kebijakan Zero ODOL (Over Dimension Over Loading) yang diterapkan secara kaku dan represif memperlihatkan cacat dalam sistem hukum kita—di mana buruh jalanan dikriminalisasi, sementara aktor dominan seperti perusahaan logistik dan pemilik barang tetap tak tersentuh hukum.

Kebijakan ODOL dan Ketimpangan Yuridis

Landasan Hukum ODOL

Secara normatif, kebijakan ODOL merujuk pada:

  • Pasal 277 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) yang mengancam pidana 1 tahun atau denda Rp24 juta bagi pelanggaran dimensi kendaraan.

  • Pasal 307 UU LLAJ yang mengatur sanksi kelebihan muatan dengan pidana kurungan 2 bulan atau denda Rp500.000.

Masalah Struktural dalam Penerapan

Namun, pelanggaran ODOL bukan sekadar tindakan individu. Modifikasi kendaraan dan kelebihan muatan sering kali didorong oleh tekanan dari perusahaan dan pemilik barang. Hukum lalu lintas kita menunjukkan tiga cacat struktural:

  1. Cacat epistemologis – hukum tidak memahami konteks sosial ekonomi pelanggaran.

  2. Cacat representasi – regulasi hanya melindungi kepentingan negara dan pengusaha.

  3. Cacat distribusi tanggung jawab – hanya sopir yang dipidana, bukan pemilik modal.

Enam Tuntutan Sopir Truk: Seruan dari Jalanan

1. Penghentian Operasi ODOL dan Edukasi Menyeluruh

Pemerintah perlu mengubah pendekatan represif menjadi edukatif, terutama terhadap perusahaan logistik dan pemilik barang.

2. Revisi Sistem Pembayaran Supir

Sistem per rit atau per tonase membuat supir rentan melanggar hukum. Negara harus menjamin sistem upah layak.

3. Revisi UU No. 22 Tahun 2009

Sopir harus dilihat sebagai korban relasi kerja eksploitatif. Revisi pasal-pasal pidana perlu menyasar korporasi, bukan hanya individu.

4. Perlindungan Hukum dan Advokasi Struktural

Negara wajib menyediakan bantuan hukum dan akses penyelesaian non-litigatif bagi sopir truk.

5. Pemberantasan Pungli dan Kekerasan oleh Aparat

Penindakan terhadap pungli dan kekerasan jalanan oleh aparat harus dilakukan secara serius dan transparan.

6. Kesetaraan dalam Penegakan Hukum

Penegakan hukum tidak boleh berhenti di lapangan. Pemilik armada dan pengusaha logistik juga harus diperiksa jika terlibat dalam praktik ODOL.

Paradigma Penegakan Hukum: Ultimum Remedium atau Alat Represi?

Penerapan hukum pidana dalam kasus ODOL seharusnya bersifat ultimum remedium, bukan primum remedium. Sayangnya, dalam praktik, pendekatan hukum justru:

  • Mengabaikan keadilan distributif (yang lemah menanggung beban lebih besar).

  • Mengesampingkan keadilan korektif (negara gagal memperbaiki ketimpangan).

  • Tidak mendorong keadilan transformatif (hukum tidak membebaskan, malah menindas).

Kriminalisasi supir truk dalam konteks ODOL adalah contoh nyata kriminalisasi struktural, di mana sistem menjadikan korban sebagai pelaku.

Solusi Sistemik: Menuju Reformasi Hukum yang Adil

Pemerintah tidak cukup hanya menambah razia atau memperketat jembatan timbang. Diperlukan perubahan sistemik yang menyentuh akar persoalan:

  • Revisi UU LLAJ yang mengakomodasi relasi kerja supir dan perusahaan.

  • Penetapan tarif logistik yang adil dan transparan.

  • Penerapan tanggung jawab korporasi dalam kasus ODOL.

  • Bantuan hukum struktural bagi sopir truk.

  • Audit independen terhadap praktik pungli dalam sektor transportasi.

Dari Jalan Raya Menuju Ruang Keadilan

Demo para supir truk adalah sinyal penting bahwa sistem hukum kita telah kehilangan kepekaan sosial. Jalan raya bukan hanya ruang lalu lintas, tetapi kini menjadi medan perjuangan kelas yang menuntut keadilan.

Jika hukum hanya melindungi korporasi dan menghukum buruh, maka hukum itu gagal menjadi instrumen peradaban. Saatnya hukum tidak lagi menjadi alat represi, tetapi menjelma sebagai ruang keadilan yang menjamin martabat, keselamatan, dan masa depan rakyat pekerja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses