Menyoal Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Foto Penulis

Literasi Hukum – Pahami 3 aspek krusial dalam pembentukan undang-undang dan pentingnya asas legalitas dalam hukum pidana. Simak analisis mengapa ketentuan dalam UU 28/1999 tentang KKN dinilai multitafsir dan berpotensi melanggar prinsip kepastian hukum (lex certa).

Aspek dalam Pembentukan Undang-Undang

Yang perlu diingat adalah, undang-undang merupakan suatu aturan tingkah laku dalam hidup bernegara dan bermasyarakat, maka dalam pembentukan undang-undang, pembentuk undang-undang harus memperhatikan tiga aspek. Ketiga aspek tersebut adalah undang-undang tidak boleh bertentangan dengan asas-asas yang berlaku umum, adanya kejelasan semantic, dan koherensi antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya.

Dengan memperhatikan ketiga aspek tersebut, produk yang dihasilkan, yakni undang-undang tidak banyak menimbulkan persoalan dalam implementasinya. Dampak dari hal tersebut adalah, baik organ-organ negara dalam menjalankan fungsinya maupun individu dalam berhubungan dengan sesamanya dan dengan negara memiliki pedoman yang pasti, yang dalam ilmu hukum disebut dengan adanya kepastian hukum.

Terdapat salah satu asas yang memiliki sifat relasional sebagaimana dikemukakan oleh Kaisar Iustinianus, yakni honeste vivere (hidup jujur), alterum non laedere (jangan merugikan orang lain), suum cuique tribuere (memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya). Oleh sebab itu dalam hal undang-undang dibentuk dengan memperhatikan ketiga aspek tersebut, maka sejalan dengan asas yang memiliki sifat relasional.

Asas Legalitas Sebagai dasar Pembentukan Undang-Undang yang memuat Ketentuan Pidana

Selanjutnya dalam hal pembentukan suatu ketentuan pidana dalam undang-undang, maka prinsip dasar yakni asas legalitas tidak boleh ditinggalkan. Secara konseptual, asas legalitas hanya berbunyi nullum crimen, nulla poena sine lege yang meliputi dua hal, yakni Pertama, adanya tindak pidana yang dilarang oleh undang-undang (nullum crimen sine lege). Kedua, adanya sanksi manakala terjadi pelanggaran atas larangan itu (nulla poena sine lege). Dalam pemaknaan yang luas, asas legalitas memuat beberapa hal yang esensial dalam ketentuan pidana: Pertama, asas tidak boleh berlaku surut (nullum crimen, nulla poena sine lege praevia). Kedua, larangan penggunaan analogi dalam hukum pidana (nullum crimen, nulla poena sine lege stricta). Ketiga, asas kepastian (nullum crimen, nulla poena sine lege certa). Keempat, larangan untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atas dasar hukum tidak tertulis (nullum crimen, nulla poena sine lege scripta).

Asas ini juga diadopsi di Belanda dan dituangkan ke dalam pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht (W.v.S. atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Ketentuan tersebut berbunyi: Geen feit is strafbaar dan uit Kracht van een daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling. Atau di Amerika Serikat yang mengembangkan doktrin ex post facto, doktrin itu tertuang di dalam Article I Section 9 Konstitusi Amerika Serikat yang berbunyi: No Bill of Attainder or ex post facto Law shall be passed.

Dengan demikian, suatu perbuatan hanya dapat dijatuhkan pidana hanya manakala pada saat perbuatan tersebut dilakukan, perbuatan tersebut merupakan objek yang memenuhi suatu ketentuan pidana yang masih berlaku dan melekat sanksi atasnya. Lebih daripada itu, asas nullum crimen dipandang sebagai suatu sarana yang tidak dapat dipisahkan atas pelindungan terhadap kebebasan individu. Dalam menikmati kebebasannya, seseorang perlu mengetahui terlebih dahulu perbuatan apa saja yang tidak boleh dilakukan dan manakala perbuatan tersebut dilakukan menyebabkan pelanggaran terhadap hak orang lain.

Baik asas nullum crimen, nulla poena sine praevia lege poenali yang tertuang di dalam Code Penal Perancis dan W.v.S Belanda maupun doktrin ex post facto yang tertuang dalam Konstitusi Amerika Serikat memiliki tujuan untuk melindungi individu dari kesewenangan negara dan memungkinkan individu untuk mengetahui apa saja yang tidak boleh dilakukan dan memperhitungkan akibatnya, manakala ia menggunakan haknya. Asas dan doktrin itu merupakan pedoman bagi pembentuk undang-udang agar dalam membentuk undang-undang dalam rezim hukum pidana harus menetapkan batas-batas yang jelas dalam merumuskan perbuatan apa saja yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana.

Ketentuan Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 22 UU 28/1999

Melihat ketentuan yang ada pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tetang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (UU 28/1999) yakni pada pasal 20 ayat (2) dan pasal 22 memiliki pemankanaan yang berbeda. Pasal 20 ayat (2) menuliskan bahwa “setiap penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 angka 4 atau 7 dikenakan sanksi pidana dan atau sanksi perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pasal 5 angka 4 itu adalah tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme, dijatuhkan sanksi pidana dan atau sanksi perdata. Hal ini menimbulkan penafsiran yang tidak jelas, perbuatan yang dimaksud pasal 5 angka 4 itu pidana ataukah perdata?

Tetapi dalam ketentuan pasal 22 dituliskan, “setiap penyelenggara Negara yang melakukan nepotisma sebagaimana dimaksud pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Maka seyogiyanya, ketentuan yang ada dalam UU 28/1999 dibatalkan karena bertentangan dengan prinsip dasar dalam hukum pidana yakni ketentuan undang-undang harus jelas agar memberikan kepastian dalam hukum atau lex certa.

Ketentuan tersebut haruslah jelas, apakah tergolong sebagai perbuatan melanggar hukum dalam rezim hukum perdata (onrechtmatige daad) ataukah maladministrasi dalam rezim hukum administrasi, ataukah kejahatan dalam rezim hukum pidana. Jika hal tersebut tidak diatur secara jelas, maka ketentuan dalam pasal tersebut pada UU 28/1999 harus dibatalkan. Mengingat bahwa salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan suatu undang-undang yakni, kejelasan secara semantik yang dapat diartikan ketentuan undang-undang tidak boleh memberikan banyak pengertian, dan dalam ketentuan undang-undang haruslah memberikan suatu kepastian dalam hukum yang tertulis agar sejalan sebagaimana yang tertulis pada pengantar di atas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

You might also like
Sampaikan Analisis Anda

Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.

Sampaikan Analisis Hukum Anda Tutup Kirim Naskah Opini