Menyoal Program Dedi Mulyadi: “Anak Nakal Masuk Barak”, Solusi Populis atau Represi Struktural?
Literasi Hukum – Program “anak nakal masuk barak” yang digagas oleh Dedi Mulyadi, tokoh politik Jawa Barat sekaligus mantan Bupati Purwakarta, telah menuai berbagai tanggapan. Bagi sebagian masyarakat, program ini terlihat sebagai terobosan solutif dalam menghadapi fenomena kenakalan remaja. Namun, bila ditelaah lebih dalam, pendekatan semimiliteristik yang diusung dalam program tersebut menyimpan persoalan fundamental, baik dari aspek sosiologis, psikologis, pedagogis, maupun yuridis. Tulisan ini berupaya membedah problematika tersebut secara kritis, serta menawarkan perspektif alternatif yang lebih humanistik dan berkeadilan.
Kenakalan Remaja: Gejala Sosial, Bukan Semata Moralitas Individu
Label “anak nakal” sering kali menjadi konstruksi sosial yang menyederhanakan kompleksitas perilaku remaja. Istilah ini digunakan secara general tanpa analisis kontekstual terhadap latar belakang sosial, ekonomi, dan psikologis remaja yang bersangkutan. Dalam banyak kasus, kenakalan remaja seperti bolos sekolah, perkelahian, penggunaan rokok atau minuman keras, dan nongkrong hingga larut malam, merupakan bentuk resistensi terhadap sistem sosial yang tidak memberi ruang partisipasi, bukan semata-mata cerminan karakter buruk individu.
Menurut penelitian UNODC (2022), determinan utama kenakalan remaja meliputi kemiskinan, broken home, minimnya akses pendidikan, pengaruh lingkungan, serta kegagalan institusi keluarga dan sekolah dalam memberikan peran pengasuhan yang optimal. Artinya, solusi atas persoalan ini tidak bisa dicapai hanya dengan pendekatan disipliner, apalagi yang meniru struktur militer yang kaku dan koersif.
Dari Disiplin ke Represi: Barak sebagai Alat Kekuasaan, Bukan Pembinaan
Barak dalam imajinasi Dedi Mulyadi diharapkan menjadi ruang untuk “mendisiplinkan” anak-anak bermasalah. Namun, pendekatan ini mengandung bahaya laten: menggeser paradigma pendidikan dari pembinaan menuju penjinakan. Foucault (1977) dalam Discipline and Punish menyebut institusi seperti penjara, sekolah, dan barak sebagai bentuk disciplinary power—di mana tubuh manusia dikendalikan melalui mekanisme pengawasan, hukuman, dan penyesuaian paksa terhadap norma.
Model barak menciptakan relasi kuasa hierarkis antara “pendidik” dan “anak nakal” yang berpotensi melahirkan dominasi, bukan emansipasi. Remaja yang ditempatkan di barak tidak diajak berdialog, tetapi diperintah; tidak dibimbing, tetapi dikondisikan. Pendekatan semacam ini lebih mendekati teknik kontrol sosial ketimbang proses edukasi yang humanistik dan partisipatif.
Kekerasan Simbolik dan Trauma Psikologis
Berbagai studi psikologi perkembangan menekankan pentingnya pendekatan afektif dan empatik dalam pembinaan remaja. Menurut Erikson (1968), tahap remaja adalah fase pencarian identitas yang sarat dengan kerentanan emosional. Penerapan pendekatan militeristik yang penuh tekanan fisik dan simbolik dapat menimbulkan trauma dan resistensi berkepanjangan, alih-alih melahirkan perubahan perilaku positif.
Laporan Komnas Perlindungan Anak (2023) juga mencatat bahwa metode pembinaan keras dalam berbagai lembaga rehabilitasi sering kali berdampak pada kecemasan, depresi, hingga hilangnya rasa percaya diri pada anak. Apakah program “anak nakal masuk barak” sudah memperhitungkan aspek psikologis ini? Tanpa jaminan mekanisme perlindungan, evaluasi, dan keterlibatan ahli psikologi anak, barak justru bisa menjadi alat perusak karakter, bukan pembentuknya.
Aspek Yuridis: Potensi Pelanggaran HAM dan Prinsip Due Process of Law
Secara hukum, program ini berpotensi menabrak prinsip-prinsip dasar perlindungan anak dan hukum pidana. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (Pasal 16) menjamin bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran. Sementara itu, Pasal 69 UU SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak) menyebutkan bahwa pendekatan utama dalam menangani anak bermasalah hukum haruslah berbasis keadilan restoratif, bukan punitif.
Pertanyaan penting yang muncul: siapa yang menetapkan anak itu “nakal”? Apakah melalui proses hukum yang adil atau sekadar penilaian subjektif dari aparat atau orang dewasa? Tanpa kerangka hukum yang jelas, pengiriman anak ke barak berisiko menjadi bentuk arbitrary detention—penahanan sewenang-wenang yang melanggar hak asasi dan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum internasional (lihat: Konvensi Hak Anak PBB, 1989, Pasal 37).
Populisme Moral dan Delegitimasi Reformasi Pendidikan
Fenomena seperti ini juga menunjukkan gejala populisme moral, yakni strategi politik yang menggunakan isu sosial sensitif untuk membangun citra pemimpin tegas dan berwibawa. Dalam konteks ini, Dedi Mulyadi tidak berdiri sendiri. Banyak politisi menggunakan narasi “kedisiplinan” sebagai alat mobilisasi dukungan, terutama dari kalangan masyarakat konservatif yang resah terhadap perubahan sosial.
Alih-alih mendorong reformasi sistem pendidikan, pelayanan konseling, atau program partisipatif anak muda, kebijakan populis justru menormalkan represi simbolik. Ini menjauhkan negara dari komitmen jangka panjang membangun kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy), dan lebih dekat pada aksi teatrikal yang hanya efektif di permukaan.
Alternatif Humanistik: Mengubah Sistem, Bukan Menyalahkan Anak
Tantangan terbesar dalam menghadapi kenakalan remaja adalah mengubah paradigma: dari menyalahkan individu menuju pembenahan struktur sosial. Negara seharusnya fokus membangun sistem pendidikan yang inklusif dan ramah anak, menyediakan ruang aman untuk ekspresi kreatif, memperkuat fungsi keluarga, dan mengembangkan layanan psikososial yang mudah diakses.
Inspirasi dapat diambil dari pendekatan restorative justice di berbagai negara seperti Selandia Baru dan Kanada, yang membuktikan bahwa dialog, mediasi, dan reintegrasi sosial jauh lebih efektif daripada pendekatan hukuman dalam menangani perilaku menyimpang anak.
Kita Butuh Keberanian untuk Peduli, Bukan Sekadar Tegas
Program “anak nakal masuk barak” mungkin lahir dari niat baik, tetapi niat saja tidak cukup dalam merancang kebijakan publik. Diperlukan pendekatan ilmiah, partisipatif, dan berkeadilan agar solusi yang ditawarkan tidak melahirkan persoalan baru. Kita tidak sedang membutuhkan lebih banyak tempat yang membuat anak patuh karena takut, tetapi tempat yang membuat mereka tumbuh karena dipahami.
Karena pada akhirnya, membina generasi bukan tentang menciptakan barak, tapi membangun ruang belajar yang penuh empati dan harapan.
Referensi
- Foucault, Michel. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Vintage Books, 1977.
- Erikson, Erik H. Identity: Youth and Crisis. W. W. Norton & Company, 1968.
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
- United Nations Convention on the Rights of the Child (CRC), 1989.
- Komnas Perlindungan Anak. Laporan Tahunan 2023: Situasi Anak di Indonesia.
- UNODC. World Youth Crime and Juvenile Justice Report, 2022.