Literasi Hukum – Pahami pengertian mens rea dan actus reus sebagai unsur-unsur tindak pidana fundamental dalam hukum pidana Indonesia. Analisis mendalam mengenai perbedaan dolus dan culpa, sifat melawan hukum, serta relevansinya dalam KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) dari perspektif ahli hukum pidana.
Dalam pergulatan intelektual untuk merumuskan keadilan, hukum pidana menempati posisi yang unik dan krusial. Ia tidak hanya bertugas menjaga ketertiban sosial dengan menjatuhkan sanksi, tetapi juga mengemban amanat filosofis untuk memastikan bahwa sanksi tersebut hanya dikenakan kepada mereka yang patut dicela.
Keadilan pidana, dalam esensinya, bukanlah sekadar pencarian jawaban atas pertanyaan “siapa yang melakukan?”, melainkan sebuah penyelidikan mendalam terhadap “mengapa dan dengan sikap batin apa perbuatan itu dilakukan?”. Ini adalah pencarian kebenaran materiil yang melampaui belenggu formalitas hukum semata.
Pada jantung setiap tindak pidana atau strafbaar feit, kita akan selalu menemukan dua dimensi yang fundamental dan tidak dapat dipisahkan, laksana dua sisi dari satu keping mata uang. Di satu sisi, terdapat dimensi lahiriah, yaitu perbuatan itu sendiri dalam manifestasi fisiknya yang dapat diamati oleh pancaindra. Di sisi lain, terdapat dimensi batiniah, yaitu sikap mental atau keadaan psikologis pelaku pada saat perbuatan itu terjadi. Tanpa kehadiran keduanya secara simultan, pada hakikatnya belum sempurnalah suatu tindak pidana.
Dunia hukum, dengan tradisinya yang panjang, telah memberikan nama Latin yang agung bagi kedua pilar ini: Actus Reus untuk aspek perbuatan lahiriah, dan Mens Rea untuk aspek kesalahan batiniah. Pemahaman yang jernih dan mendalam atas kedua konsep ini bukanlah sekadar latihan akademis bagi para yuris, melainkan merupakan fondasi mutlak bagi hakim, jaksa, dan advokat dalam menegakkan hukum dan menentukan ada atau tidaknya pertanggungjawaban pidana secara adil dan bermartabat. Membedah keduanya berarti membedah esensi dari keadilan pidana itu sendiri.
Untuk memahami signifikansi pemisahan antara perbuatan dan kesalahan, kita harus menelusuri jejaknya ke akar filosofis dan historis yang membentuk pemikiran hukum pidana modern. Fondasi dari seluruh bangunan pertanggungjawaban pidana modern bertumpu pada sebuah adagium Latin yang tak lekang oleh waktu: actus non facit reum nisi mens sit rea. Secara harfiah, maksim ini berarti “suatu perbuatan tidak membuat seseorang bersalah kecuali batinnya juga bersalah”. Adagium ini merepresentasikan sebuah revolusi dalam pemikiran hukum, sebuah pergeseran monumental dari sistem penghukuman purba yang hanya berfokus pada akibat.
Jauh sebelum doktrin ini mengemuka, banyak sistem hukum kuno yang bersifat objektif murni. Hukuman didasarkan pada prinsip pembalasan setimpal atau talio, di mana akibat dari suatu perbuatan menjadi satu-satunya tolok ukur. Jika A menyebabkan kematian B, maka A harus menanggung akibatnya, tanpa memandang apakah perbuatan itu disengaja, karena kelalaian, atau bahkan sebuah kecelakaan murni. Sistem semacam ini, yang berfokus pada pemulihan keseimbangan kosmis atau sekadar pembalasan, kerap melahirkan ketidakadilan yang menusuk rasa kemanusiaan.
Titik balik pemikiran ini berakar dari tradisi teologis, khususnya pengaruh hukum kanonik atau hukum gereja. Dalam ajaran Kristen, konsep dosa tidak hanya dilihat dari perbuatan lahiriah, tetapi juga dari niat yang tersembunyi di dalam hati. Santo Agustinus, dalam tulisannya mengenai sumpah palsu, meletakkan dasar bahwa lidah yang berdusta tidaklah bersalah jika pikiran atau niatnya tidak bersalah ( reum linguam non facit nisi mens rea), yang kemudian menjadi cikal bakal adagium yang lebih universal. Pengaruh ini menandai sebuah momen krusial di mana moralitas dan kondisi batiniah individu mulai dianggap relevan dalam sebuah kerangka “hukum”.
Dari ranah teologis, prinsip ini kemudian berevolusi dan diadopsi ke dalam sistem hukum sekuler. Di Inggris, seorang pastor sekaligus hakim pada abad ke-13, Henry Bracton, melalui karyanya yang monumental De Legibus et Consuetudinibus Angliae, menjadi tokoh kunci yang berhasil memasukkan konsep mens rea ke dalam hukum pidana Inggris. Ia menegaskan bahwa niat merupakan salah satu unsur esensial dalam pertanggungjawaban pidana. Transformasi ini menunjukkan universalitas dari kebutuhan untuk menghukum “pikiran yang bersalah” ( guilty mind), bukan sekadar “perbuatan jahat” (guilty act). Dengan demikian, pemisahan antara actus reus dan mens rea bukanlah sekadar sebuah kategorisasi teknis. Ia adalah manifestasi dari proses humanisasi hukum pidana, sebuah pengakuan bahwa hukuman negara hanya sah dan adil jika ditujukan kepada individu yang secara sadar dan secara moral dapat dicela atas pilihannya untuk melakukan kejahatan.
Arsitektur hukum pidana Indonesia, sebagaimana yang kita kenal hari ini, tidak lahir dari ruang hampa. Ia merupakan produk sejarah yang kompleks, dengan warisan paling signifikan datang dari sistem hukum kolonial Belanda. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku selama lebih dari satu abad di Indonesia merupakan turunan langsung dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda tahun 1886. Melalui WvS inilah, kerangka berpikir dualistis dari tradisi hukum pidana kontinental (civil law) diwariskan dan ditanamkan secara mendalam ke dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Pandangan dualistis ini secara fundamental memisahkan secara tegas antara dua entitas yang berbeda: di satu sisi adalah perbuatan pidana (strafbaar feit), dan di sisi lain adalah pertanggungjawaban pidana (strafrechtelijke aansprakelijkheid). Filosofi di balik pemisahan ini adalah untuk menciptakan sebuah alur penalaran hukum yang logis dan adil. Hukum tidak hanya menghukum sebuah “peristiwa” (perbuatan), tetapi menghukum “orang” yang dapat dicela karena menyebabkan peristiwa tersebut.
Dalam tradisi hukum pidana warisan Belanda, pemisahan konseptual ini termanifestasi dalam dua istilah kunci yang menjadi pilar analisis: wederrechtelijkheid dan schuld.
Untuk memperjelas pemahaman, penting untuk membedakan pandangan dualistis ini dengan rivalnya, yakni pandangan monistis. Aliran monistis tidak melihat adanya pemisahan; mereka menganggap baik wederrechtelijkheid maupun schuld sebagai satu kesatuan unsur yang tak terpisahkan dari strafbaar feit itu sendiri. Puncaknya, pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP Baru) secara sadar dan eksplisit telah mengkodifikasi serta menegaskan pandangan dualistis sebagai filosofi yang dianut oleh hukum pidana nasional.
Pemisahan ini bukanlah sekadar teori akademis yang rumit, melainkan berfungsi sebagai cetak biru atau arsitektur logika bagi hakim dalam menyusun pertimbangan putusannya. Ia menciptakan alur pembuktian yang sistematis dan berlapis. Pertama-tama, hakim dan penuntut umum harus membuktikan actus reus: “Apakah benar telah terjadi sebuah peristiwa yang dilarang oleh hukum pidana?”. Hanya jika tahap pertama ini terbukti, barulah proses peradilan melangkah ke tahap kedua, yaitu menguji mens rea: “Apakah terdakwa yang duduk di hadapan persidangan ini adalah orang yang memiliki sikap batin tercela dan dapat dimintai pertanggungjawaban atas terjadinya peristiwa tersebut?”.
Pengertian Actus Reus adalah keseluruhan unsur lahiriah atau objektif dari suatu tindak pidana. Unsur ini tidak hanya mencakup perbuatan fisik (conduct), tetapi juga akibat yang dilarang (consequence) dan keadaan-keadaan tertentu (circumstances) yang harus ada saat perbuatan dilakukan.
Setelah memahami kerangka dualistis yang memisahkan perbuatan dan kesalahan, langkah selanjutnya adalah membedah secara mendalam masing-masing komponen tersebut. Kita mulai dengan Actus Reus, yaitu sisi lahiriah atau dimensi objektif dari suatu tindak pidana.
Istilah Actus Reus sering kali secara sederhana diterjemahkan sebagai “perbuatan bersalah” (guilty act). Namun, pemaknaan ini perlu diperluas. Actus Reus bukanlah sekadar sebuah “tindakan” atau “perbuatan” fisik dalam arti sempit, melainkan mencakup keseluruhan elemen eksternal atau objektif dari suatu delik yang dirumuskan dalam undang-undang. Para ahli hukum pidana secara umum sepakat bahwa Actus Reus terdiri dari setidaknya tiga komponen utama :
Kelakuan sebagai komponen utama Actus Reus dapat terwujud dalam dua bentuk yang berlawanan: perbuatan aktif (komisi) dan perbuatan pasif (omisi).
Inti dari Actus Reus adalah bahwa kelakuan tersebut haruslah bersifat melawan hukum (wederrechtelijk). Dalam doktrin hukum pidana Indonesia, konsep ini memunculkan dua pandangan utama:
Hukum pidana Indonesia, melalui yurisprudensi, secara bertahap mengadopsi ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. Contoh paling klasik adalah Arrest Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) tahun 1933 mengenai Dokter Hewan di Huizen, di mana tindakan dokter yang secara formil melanggar hukum, secara materiil dibenarkan demi kepentingan yang lebih tinggi. Doktrin ini juga diadopsi dalam praktik peradilan di Indonesia, seperti dalam Putusan Mahkamah Agung No. 572 K/Pid/2003.
Untuk delik-delik materiil, pembuktian Actus Reus memerlukan pembuktian adanya hubungan kausalitas atau causal verband antara kelakuan pelaku dengan akibat yang timbul. Ajaran kausalitas berfungsi sebagai “filter” untuk menyaring dari serangkaian faktor, manakah perbuatan yang secara hukum relevan untuk dianggap sebagai penyebab. Dalam praktiknya, pengadilan di Indonesia tidak terikat pada satu teori kausalitas secara kaku. Contoh kontemporer yang menyoroti kompleksitas ini adalah kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin, di mana hakim membangun rantai kausalitas dari serangkaian perbuatan tidak langsung.
Untuk memahami konsep contoh actus reus secara konkret, kita dapat memecah unsur-unsur lahiriah dari dua delik umum:
Pengertian Mens Rea adalah sikap batin atau unsur kesalahan (subjektif) dari pelaku saat melakukan tindak pidana. Dikenal juga dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld), mens rea menjadi dasar untuk menentukan apakah seseorang dapat dicela dan dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya.
Jika Actus Reus adalah raga dari sebuah tindak pidana, maka Mens Rea adalah jiwanya. Setelah membuktikan bahwa suatu perbuatan yang dilarang telah terjadi, hukum menuntut pembuktian yang lebih mendalam: adanya keadaan batin yang bersalah pada diri pelaku.
Fondasi dari seluruh pembahasan mengenai Mens Rea adalah asas fundamental geen straf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Asas ini, yang juga dikenal sebagai asas kulpabilitas, menegaskan bahwa penjatuhan pidana tidaklah cukup hanya dengan membuktikan bahwa seseorang telah melakukan perbuatan yang melawan hukum. Lebih dari itu, harus dibuktikan bahwa orang tersebut dapat dicela (verwijtbaar) atas perbuatannya.
Hubungan batiniah yang tercela ini terwujud dalam dua bentuk utama: kesengajaan (dolus atau opzet) dan kealpaan (culpa). Perbedaan fundamental antara keduanya menjadi sangat jelas ketika membandingkan Pasal 338 KUHP (pembunuhan, delik dolus) dan Pasal 359 KUHP (menyebabkan matinya orang karena kealpaan, delik culpa). Pada kedua delik, Actus Reus-nya bisa identik (menyebabkan kematian), namun perbedaan Mens Rea menentukan beratnya sanksi pidana.
Kesengajaan atau dolus adalah bentuk kesalahan yang paling berat. Dalam ilmu hukum pidana, kesengajaan memiliki tiga corak utama:
Culpa atau kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan, di mana pelaku tidak menghendaki akibat yang dilarang. Kesalahannya terletak pada kurangnya kehati-hatian. Doktrin membedakan kealpaan menjadi dua jenis :
Prinsip fundamental dalam hukum pidana adalah bahwa Actus Reus dan Mens Rea harus terjadi secara bersamaan (concurrence) agar pertanggungjawaban pidana dapat ditegakkan. Actus Reus menjadi bukti objektif bahwa telah terjadi suatu gangguan terhadap tata hukum, sementara Mens Rea menjadi dasar subjektif untuk mencela dan membebankan pertanggungjawaban kepada si pelaku.
Meskipun asas “tiada pidana tanpa kesalahan” menjadi kaidah utama, perkembangan kejahatan modern telah mendorong lahirnya beberapa pengecualian sebagai instrumen kebijakan hukum.
Diskursus mengenai Actus Reus dan Mens Rea tidak hanya berhenti di ranah teoretis. Ia hidup, diuji, dan diinterpretasikan setiap hari di dalam ruang-ruang pengadilan dan kini telah dikodifikasi dalam KUHP Baru.
Salah satu tantangan terbesar dalam praktik peradilan adalah membuktikan unsur Mens Rea yang bersifat subjektif dan tak kasat mata. Hakim harus menyimpulkan adanya Mens Rea dari serangkaian bukti-bukti eksternal yang sah, seperti keterangan saksi, ahli, surat, dan petunjuk. Alur pembuktian dualistis menjadi sangat penting, di mana Actus Reus harus dibuktikan terlebih dahulu. Jika Actus Reus gagal dibuktikan, maka pembuktian Mens Rea menjadi tidak relevan lagi, dan terdakwa harus dibebaskan (vrijspraak).
Lahirnya UU No. 1 Tahun 2023 merupakan peristiwa legislasi yang monumental. Salah satu pencapaian terbesarnya adalah keberhasilan mengkodifikasi berbagai asas dan doktrin hukum pidana yang selama ini hanya hidup dalam yurisprudensi.
Beberapa kodifikasi kunci terkait mens rea dan actus reus antara lain:
Perjalanan menelusuri doktrin Actus Reus dan Mens Rea membawa kita pada kesimpulan fundamental: keduanya adalah pilar kembar filosofis yang menopang keseluruhan bangunan hukum pidana modern.
Actus Reus, dengan fokusnya pada perbuatan lahiriah, berdiri sebagai perisai yang melindungi masyarakat. Di sisi lain, Mens Rea, dengan penekanannya pada sikap batin yang tercela, berfungsi sebagai benteng yang melindungi martabat individu dari penghukuman yang sewenang-wenang.
Simbiosis antara perbuatan dan kesalahan ini adalah jantung dari pertanggungjawaban pidana. Pemahaman yang mendalam atas dualitas ini, sebagaimana yang kini telah dikodifikasi dalam KUHP Baru, merupakan garda terdepan untuk menjamin bahwa hukum pidana tidak hanya menghukum perbuatan, tetapi menghukum individu yang bersalah secara adil, proporsional, dan pada akhirnya, secara manusiawi.
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini