Mengupas Tuntas Mens Rea dan Actus Reus

Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi Hukum – Pahami pengertian mens rea dan actus reus sebagai unsur-unsur tindak pidana fundamental dalam hukum pidana Indonesia. Analisis mendalam mengenai perbedaan dolus dan culpa, sifat melawan hukum, serta relevansinya dalam KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) dari perspektif ahli hukum pidana.

Pendahuluan: Dua Sisi Mata Uang Keadilan Pidana

Dalam pergulatan intelektual untuk merumuskan keadilan, hukum pidana menempati posisi yang unik dan krusial. Ia tidak hanya bertugas menjaga ketertiban sosial dengan menjatuhkan sanksi, tetapi juga mengemban amanat filosofis untuk memastikan bahwa sanksi tersebut hanya dikenakan kepada mereka yang patut dicela.

Keadilan pidana, dalam esensinya, bukanlah sekadar pencarian jawaban atas pertanyaan “siapa yang melakukan?”, melainkan sebuah penyelidikan mendalam terhadap “mengapa dan dengan sikap batin apa perbuatan itu dilakukan?”. Ini adalah pencarian kebenaran materiil yang melampaui belenggu formalitas hukum semata.

Pada jantung setiap tindak pidana atau strafbaar feit, kita akan selalu menemukan dua dimensi yang fundamental dan tidak dapat dipisahkan, laksana dua sisi dari satu keping mata uang. Di satu sisi, terdapat dimensi lahiriah, yaitu perbuatan itu sendiri dalam manifestasi fisiknya yang dapat diamati oleh pancaindra. Di sisi lain, terdapat dimensi batiniah, yaitu sikap mental atau keadaan psikologis pelaku pada saat perbuatan itu terjadi. Tanpa kehadiran keduanya secara simultan, pada hakikatnya belum sempurnalah suatu tindak pidana.

Dunia hukum, dengan tradisinya yang panjang, telah memberikan nama Latin yang agung bagi kedua pilar ini: Actus Reus untuk aspek perbuatan lahiriah, dan Mens Rea untuk aspek kesalahan batiniah. Pemahaman yang jernih dan mendalam atas kedua konsep ini bukanlah sekadar latihan akademis bagi para yuris, melainkan merupakan fondasi mutlak bagi hakim, jaksa, dan advokat dalam menegakkan hukum dan menentukan ada atau tidaknya pertanggungjawaban pidana secara adil dan bermartabat. Membedah keduanya berarti membedah esensi dari keadilan pidana itu sendiri.  

Asal-Usul Doktrin Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sit Rea

Untuk memahami signifikansi pemisahan antara perbuatan dan kesalahan, kita harus menelusuri jejaknya ke akar filosofis dan historis yang membentuk pemikiran hukum pidana modern. Fondasi dari seluruh bangunan pertanggungjawaban pidana modern bertumpu pada sebuah adagium Latin yang tak lekang oleh waktu: actus non facit reum nisi mens sit rea. Secara harfiah, maksim ini berarti “suatu perbuatan tidak membuat seseorang bersalah kecuali batinnya juga bersalah”. Adagium ini merepresentasikan sebuah revolusi dalam pemikiran hukum, sebuah pergeseran monumental dari sistem penghukuman purba yang hanya berfokus pada akibat.  

Jauh sebelum doktrin ini mengemuka, banyak sistem hukum kuno yang bersifat objektif murni. Hukuman didasarkan pada prinsip pembalasan setimpal atau talio, di mana akibat dari suatu perbuatan menjadi satu-satunya tolok ukur. Jika A menyebabkan kematian B, maka A harus menanggung akibatnya, tanpa memandang apakah perbuatan itu disengaja, karena kelalaian, atau bahkan sebuah kecelakaan murni. Sistem semacam ini, yang berfokus pada pemulihan keseimbangan kosmis atau sekadar pembalasan, kerap melahirkan ketidakadilan yang menusuk rasa kemanusiaan.

Titik balik pemikiran ini berakar dari tradisi teologis, khususnya pengaruh hukum kanonik atau hukum gereja. Dalam ajaran Kristen, konsep dosa tidak hanya dilihat dari perbuatan lahiriah, tetapi juga dari niat yang tersembunyi di dalam hati. Santo Agustinus, dalam tulisannya mengenai sumpah palsu, meletakkan dasar bahwa lidah yang berdusta tidaklah bersalah jika pikiran atau niatnya tidak bersalah ( reum linguam non facit nisi mens rea), yang kemudian menjadi cikal bakal adagium yang lebih universal. Pengaruh ini menandai sebuah momen krusial di mana moralitas dan kondisi batiniah individu mulai dianggap relevan dalam sebuah kerangka “hukum”.  

Dari ranah teologis, prinsip ini kemudian berevolusi dan diadopsi ke dalam sistem hukum sekuler. Di Inggris, seorang pastor sekaligus hakim pada abad ke-13, Henry Bracton, melalui karyanya yang monumental De Legibus et Consuetudinibus Angliae, menjadi tokoh kunci yang berhasil memasukkan konsep mens rea ke dalam hukum pidana Inggris. Ia menegaskan bahwa niat merupakan salah satu unsur esensial dalam pertanggungjawaban pidana. Transformasi ini menunjukkan universalitas dari kebutuhan untuk menghukum “pikiran yang bersalah” ( guilty mind), bukan sekadar “perbuatan jahat” (guilty act). Dengan demikian, pemisahan antara actus reus dan mens rea bukanlah sekadar sebuah kategorisasi teknis. Ia adalah manifestasi dari proses humanisasi hukum pidana, sebuah pengakuan bahwa hukuman negara hanya sah dan adil jika ditujukan kepada individu yang secara sadar dan secara moral dapat dicela atas pilihannya untuk melakukan kejahatan.

Dualistis Arsitektur Hukum Pidana Indonesia

Arsitektur hukum pidana Indonesia, sebagaimana yang kita kenal hari ini, tidak lahir dari ruang hampa. Ia merupakan produk sejarah yang kompleks, dengan warisan paling signifikan datang dari sistem hukum kolonial Belanda. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku selama lebih dari satu abad di Indonesia merupakan turunan langsung dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda tahun 1886. Melalui WvS inilah, kerangka berpikir dualistis dari tradisi hukum pidana kontinental (civil law) diwariskan dan ditanamkan secara mendalam ke dalam sistem peradilan pidana Indonesia.  

Pandangan dualistis ini secara fundamental memisahkan secara tegas antara dua entitas yang berbeda: di satu sisi adalah perbuatan pidana (strafbaar feit), dan di sisi lain adalah pertanggungjawaban pidana (strafrechtelijke aansprakelijkheid). Filosofi di balik pemisahan ini adalah untuk menciptakan sebuah alur penalaran hukum yang logis dan adil. Hukum tidak hanya menghukum sebuah “peristiwa” (perbuatan), tetapi menghukum “orang” yang dapat dicela karena menyebabkan peristiwa tersebut.

Dalam tradisi hukum pidana warisan Belanda, pemisahan konseptual ini termanifestasi dalam dua istilah kunci yang menjadi pilar analisis: wederrechtelijkheid dan schuld.  

  1. Wederrechtelijkheid (sifat melawan hukum) adalah sebuah penilaian objektif yang dilekatkan pada perbuatannya. Pertanyaan sentralnya adalah: apakah perbuatan yang dilakukan itu, secara objektif, bertentangan dengan hukum? Unsur ini melekat erat pada konsep actus reus.  
  2. Schuld (kesalahan) adalah sebuah penilaian subjektif yang ditujukan kepada pelakunya. Pertanyaan kuncinya adalah: apakah pelaku, dengan kondisi batiniahnya pada saat itu, dapat dicela (verwijtbaar) atas perbuatan yang dilakukannya? Penilaian ini mencakup elemen kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), serta kemampuan bertanggung jawab pelaku. Konsep schuld inilah yang menjadi inti dari mens rea dan menjadi fondasi bagi pertanggungjawaban pidana.  

Untuk memperjelas pemahaman, penting untuk membedakan pandangan dualistis ini dengan rivalnya, yakni pandangan monistis. Aliran monistis tidak melihat adanya pemisahan; mereka menganggap baik wederrechtelijkheid maupun schuld sebagai satu kesatuan unsur yang tak terpisahkan dari strafbaar feit itu sendiri. Puncaknya, pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP Baru) secara sadar dan eksplisit telah mengkodifikasi serta menegaskan pandangan dualistis sebagai filosofi yang dianut oleh hukum pidana nasional.  

Pemisahan ini bukanlah sekadar teori akademis yang rumit, melainkan berfungsi sebagai cetak biru atau arsitektur logika bagi hakim dalam menyusun pertimbangan putusannya. Ia menciptakan alur pembuktian yang sistematis dan berlapis. Pertama-tama, hakim dan penuntut umum harus membuktikan actus reus: “Apakah benar telah terjadi sebuah peristiwa yang dilarang oleh hukum pidana?”. Hanya jika tahap pertama ini terbukti, barulah proses peradilan melangkah ke tahap kedua, yaitu menguji mens rea: “Apakah terdakwa yang duduk di hadapan persidangan ini adalah orang yang memiliki sikap batin tercela dan dapat dimintai pertanggungjawaban atas terjadinya peristiwa tersebut?”.  

Mengupas Actus Reus: Dimensi Lahiriah Unsur-Unsur Tindak Pidana

Pengertian Actus Reus adalah keseluruhan unsur lahiriah atau objektif dari suatu tindak pidana. Unsur ini tidak hanya mencakup perbuatan fisik (conduct), tetapi juga akibat yang dilarang (consequence) dan keadaan-keadaan tertentu (circumstances) yang harus ada saat perbuatan dilakukan.

Setelah memahami kerangka dualistis yang memisahkan perbuatan dan kesalahan, langkah selanjutnya adalah membedah secara mendalam masing-masing komponen tersebut. Kita mulai dengan Actus Reus, yaitu sisi lahiriah atau dimensi objektif dari suatu tindak pidana.

Definisi Actus Reus: Lebih dari Sekadar Perbuatan

Istilah Actus Reus sering kali secara sederhana diterjemahkan sebagai “perbuatan bersalah” (guilty act). Namun, pemaknaan ini perlu diperluas. Actus Reus bukanlah sekadar sebuah “tindakan” atau “perbuatan” fisik dalam arti sempit, melainkan mencakup keseluruhan elemen eksternal atau objektif dari suatu delik yang dirumuskan dalam undang-undang. Para ahli hukum pidana secara umum sepakat bahwa Actus Reus terdiri dari setidaknya tiga komponen utama :  

  1. Kelakuan atau Tindakan (Conduct): Ini adalah inti dari Actus Reus, yaitu perilaku fisik yang dapat diobservasi yang dilakukan oleh pelaku. Ini bisa berupa gerakan tubuh yang aktif maupun sikap diam (pasif).  
  2. Akibat (Consequence): Ini adalah hasil atau konsekuensi terlarang yang timbul dari kelakuan pelaku. Unsur ini menjadi sangat penting dan harus ada dalam jenis delik tertentu yang disebut delik materiil.
  3. Keadaan (Circumstances): Ini adalah situasi, kondisi, atau fakta-fakta tertentu yang harus menyertai kelakuan pelaku pada saat tindak pidana dilakukan.

Wujud Kelakuan: Perbedaan Delik Komisi dan Omisi

Kelakuan sebagai komponen utama Actus Reus dapat terwujud dalam dua bentuk yang berlawanan: perbuatan aktif (komisi) dan perbuatan pasif (omisi).

  • Delik Komisi (Delicta Commissionis): Ini adalah bentuk tindak pidana yang paling umum, di mana pelaku secara aktif melakukan sesuatu yang dilarang oleh hukum. Contohnya adalah kelakuan “mengambil” dalam tindak pidana pencurian (Pasal 362 KUHP) atau “merampas nyawa” dalam tindak pidana pembunuhan (Pasal 338 KUHP).  
  • Delik Omisi (Delicta Omissionis): Ini adalah tindak pidana yang terjadi karena pelaku justru tidak berbuat sesuatu yang diperintahkan atau diwajibkan oleh hukum. Delik omisi ini dapat dibedakan lebih lanjut menjadi dua jenis:
    • Omisi Murni (Pure Omission): Undang-undang secara eksplisit merumuskan kegagalan untuk bertindak sebagai sebuah delik. Contohnya adalah Pasal 531 KUHP, yang memidana seseorang yang tidak memberikan pertolongan kepada orang lain yang sedang berada dalam bahaya maut.  
    • Omisi Tidak Murni (Impure Omission): Pelaku menyebabkan suatu akibat yang dilarang dengan cara tidak berbuat, padahal ia memiliki kewajiban hukum khusus (duty of care) untuk mencegah akibat tersebut. Contohnya, seorang ibu yang sengaja tidak memberikan air susu kepada bayinya hingga meninggal dunia.  

Sifat Melawan Hukum (Wederrechtelijkheid): Jantung Actus Reus

Inti dari Actus Reus adalah bahwa kelakuan tersebut haruslah bersifat melawan hukum (wederrechtelijk). Dalam doktrin hukum pidana Indonesia, konsep ini memunculkan dua pandangan utama:

  • Sifat Melawan Hukum Formil: Suatu perbuatan dianggap melawan hukum jika dan hanya jika secara eksplisit dilarang dalam undang-undang tertulis.  
  • Sifat Melawan Hukum Materiil: Suatu perbuatan belum tentu bersifat melawan hukum meskipun memenuhi rumusan delik, jika perbuatan itu dibenarkan oleh norma tidak tertulis atau rasa keadilan masyarakat.  

Hukum pidana Indonesia, melalui yurisprudensi, secara bertahap mengadopsi ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. Contoh paling klasik adalah Arrest Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) tahun 1933 mengenai Dokter Hewan di Huizen, di mana tindakan dokter yang secara formil melanggar hukum, secara materiil dibenarkan demi kepentingan yang lebih tinggi. Doktrin ini juga diadopsi dalam praktik peradilan di Indonesia, seperti dalam Putusan Mahkamah Agung No. 572 K/Pid/2003.  

Rantai Sebab-Akibat: Peran Ajaran Kausalitas

Untuk delik-delik materiil, pembuktian Actus Reus memerlukan pembuktian adanya hubungan kausalitas atau causal verband antara kelakuan pelaku dengan akibat yang timbul. Ajaran kausalitas berfungsi sebagai “filter” untuk menyaring dari serangkaian faktor, manakah perbuatan yang secara hukum relevan untuk dianggap sebagai penyebab. Dalam praktiknya, pengadilan di Indonesia tidak terikat pada satu teori kausalitas secara kaku. Contoh kontemporer yang menyoroti kompleksitas ini adalah kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin, di mana hakim membangun rantai kausalitas dari serangkaian perbuatan tidak langsung.  

Contoh Actus Reus dalam KUHP

Untuk memahami konsep contoh actus reus secara konkret, kita dapat memecah unsur-unsur lahiriah dari dua delik umum:

  • Pencurian (Pasal 362 KUHP): “Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain…”
    • Kelakuan: ‘Mengambil’ (memindahkan barang dari penguasaan orang lain).  
    • Objek: ‘Barang sesuatu’ (harus memiliki nilai).  
    • Keadaan: ‘Kepunyaan orang lain’ (bukan milik pelaku).  
  • Pembunuhan (Pasal 338 KUHP): “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain…”
    • Kelakuan & Akibat: ‘Merampas nyawa’ (perbuatan yang menyebabkan kematian dan akibat hilangnya nyawa).  
    • Objek: ‘Nyawa’.
    • Keadaan: ‘Orang lain’ (korban harus manusia selain pelaku).  

Menyelami Mens Rea: Pengertian dan Bentuk Kesalahan Batiniah

Pengertian Mens Rea adalah sikap batin atau unsur kesalahan (subjektif) dari pelaku saat melakukan tindak pidana. Dikenal juga dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld), mens rea menjadi dasar untuk menentukan apakah seseorang dapat dicela dan dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya.

Jika Actus Reus adalah raga dari sebuah tindak pidana, maka Mens Rea adalah jiwanya. Setelah membuktikan bahwa suatu perbuatan yang dilarang telah terjadi, hukum menuntut pembuktian yang lebih mendalam: adanya keadaan batin yang bersalah pada diri pelaku.

Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld)

Fondasi dari seluruh pembahasan mengenai Mens Rea adalah asas fundamental geen straf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Asas ini, yang juga dikenal sebagai asas kulpabilitas, menegaskan bahwa penjatuhan pidana tidaklah cukup hanya dengan membuktikan bahwa seseorang telah melakukan perbuatan yang melawan hukum. Lebih dari itu, harus dibuktikan bahwa orang tersebut dapat dicela (verwijtbaar) atas perbuatannya.  

Bentuk-Bentuk Mens Rea: Perbedaan Dolus dan Culpa

Hubungan batiniah yang tercela ini terwujud dalam dua bentuk utama: kesengajaan (dolus atau opzet) dan kealpaan (culpa). Perbedaan fundamental antara keduanya menjadi sangat jelas ketika membandingkan Pasal 338 KUHP (pembunuhan, delik  dolus) dan Pasal 359 KUHP (menyebabkan matinya orang karena kealpaan, delik culpa). Pada kedua delik, Actus Reus-nya bisa identik (menyebabkan kematian), namun perbedaan Mens Rea menentukan beratnya sanksi pidana.

Gradasi Kesengajaan (Dolus): Directus, Indirectus, dan Eventualis

Kesengajaan atau dolus adalah bentuk kesalahan yang paling berat. Dalam ilmu hukum pidana, kesengajaan memiliki tiga corak utama:

  1. Dolus Directus (Kesengajaan sebagai Maksud/Tujuan): Ini adalah bentuk kesengajaan yang paling murni. Pelaku secara sadar menghendaki perbuatannya dan secara spesifik bertujuan untuk mencapai akibat yang dilarang.  
  2. Dolus Indirectus (Kesengajaan dengan Kesadaran Kepastian): Pelaku memiliki tujuan utama, namun untuk mencapainya, ia sadar sepenuhnya bahwa sebuah akibat lain yang dilarang pasti akan terjadi sebagai konsekuensi yang tidak terhindarkan.  
  3. Dolus Eventualis (Kesengajaan dengan Kesadaran Kemungkinan/Bersyarat): Ini adalah bentuk kesengajaan yang paling tipis. Pelaku menyadari adanya kemungkinan yang nyata bahwa perbuatannya dapat menimbulkan akibat terlarang. Meskipun sadar akan risiko itu, ia tetap melakukannya dengan sikap “menerima apa pun risikonya” (op de koop toe nemen). Contoh klasik adalah kasus   Hoornse Taart Arrest dari Belanda, di mana pelaku mengirim kue beracun ke musuhnya, sadar bahwa istri musuhnya kemungkinan besar akan ikut memakannya dan meninggal.  

Memahami Kealpaan (Culpa): Disadari vs. Tidak Disadari

Culpa atau kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan, di mana pelaku tidak menghendaki akibat yang dilarang. Kesalahannya terletak pada kurangnya kehati-hatian. Doktrin membedakan kealpaan menjadi dua jenis :  

  • Bewuste Schuld (Kealpaan yang Disadari): Pelaku menyadari adanya kemungkinan akibat terlarang, tetapi ia memiliki keyakinan yang gegabah bahwa akibat tersebut tidak akan terjadi.
  • Onbewuste Schuld (Kealpaan yang Tidak Disadari): Pelaku sama sekali tidak menduga kemungkinan akibat terlarang, namun ia tetap dapat dicela karena seharusnya dapat menduga kemungkinan tersebut.

Simbiosis dan Pengecualian: Kapan Mens Rea Tidak Diperlukan?

Pentingnya Hubungan Mens Rea dan Actus Reus

Prinsip fundamental dalam hukum pidana adalah bahwa Actus Reus dan Mens Rea harus terjadi secara bersamaan (concurrence) agar pertanggungjawaban pidana dapat ditegakkan. Actus Reus menjadi bukti objektif bahwa telah terjadi suatu gangguan terhadap tata hukum, sementara Mens Rea menjadi dasar subjektif untuk mencela dan membebankan pertanggungjawaban kepada si pelaku.

Pengecualian: Strict Liability dan Vicarious Liability

Meskipun asas “tiada pidana tanpa kesalahan” menjadi kaidah utama, perkembangan kejahatan modern telah mendorong lahirnya beberapa pengecualian sebagai instrumen kebijakan hukum.

  • Pertanggungjawaban Mutlak (Strict Liability): Doktrin ini memungkinkan pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada pelaku tanpa perlu membuktikan adanya unsur kesalahan (mens rea). Cukup dengan membuktikan   actus reus, pertanggungjawaban pidana sudah dapat dilekatkan. Penerapan paling jelas di Indonesia adalah dalam ranah hukum lingkungan, sebagaimana diatur dalam   Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).  
  • Pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious Liability): Doktrin ini memungkinkan suatu subjek hukum (biasanya korporasi) dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum lain (karyawan atau bawahan). Prinsip ini menjadi pilar utama dalam pengembangan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia, mengatasi kesulitan pembuktian   mens rea individual dalam struktur korporasi yang kompleks.  

Relevansi dalam Praktik Peradilan dan KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023)

Diskursus mengenai Actus Reus dan Mens Rea tidak hanya berhenti di ranah teoretis. Ia hidup, diuji, dan diinterpretasikan setiap hari di dalam ruang-ruang pengadilan dan kini telah dikodifikasi dalam KUHP Baru.

Pembuktian di Pengadilan: Mengungkap Niat yang Tersembunyi

Salah satu tantangan terbesar dalam praktik peradilan adalah membuktikan unsur Mens Rea yang bersifat subjektif dan tak kasat mata. Hakim harus menyimpulkan adanya Mens Rea dari serangkaian bukti-bukti eksternal yang sah, seperti keterangan saksi, ahli, surat, dan petunjuk. Alur pembuktian dualistis menjadi sangat penting, di mana Actus Reus harus dibuktikan terlebih dahulu. Jika Actus Reus gagal dibuktikan, maka pembuktian Mens Rea menjadi tidak relevan lagi, dan terdakwa harus dibebaskan (vrijspraak).  

Kodifikasi dalam KUHP Baru: Penegasan Asas Hukum Pidana

Lahirnya UU No. 1 Tahun 2023 merupakan peristiwa legislasi yang monumental. Salah satu pencapaian terbesarnya adalah keberhasilan mengkodifikasi berbagai asas dan doktrin hukum pidana yang selama ini hanya hidup dalam yurisprudensi.

Beberapa kodifikasi kunci terkait mens rea dan actus reus antara lain:

  • Penegasan Asas Kulpabilitas: Pasal 36 ayat (1) KUHP Baru secara tegas menyatakan: “Setiap Orang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan.”. Dengan ini, asas   geen straf zonder schuld menjadi hukum tertulis yang mengikat.  
  • Pengukuhan Pandangan Dualistis: Arsitektur KUHP Baru secara implisit mengukuhkan pandangan dualistis dengan memisahkan secara sistematis antara Bab tentang Tindak Pidana (alasan pembenar yang menghapus actus reus) dan Bab tentang Pertanggungjawaban Pidana (alasan pemaaf yang menghapus mens rea).  
  • Modernisasi Rumusan Delik: KUHP Baru memperjelas rumusan delik, misalnya dengan mengganti frasa ambigu “karena kesalahannya (kealpaannya)” dalam KUHP lama menjadi “karena kealpaannya” yang lebih lugas dalam Pasal 474 KUHP Baru.  

Penutup: Keseimbangan Antara Perbuatan dan Kesalahan

Perjalanan menelusuri doktrin Actus Reus dan Mens Rea membawa kita pada kesimpulan fundamental: keduanya adalah pilar kembar filosofis yang menopang keseluruhan bangunan hukum pidana modern.

Actus Reus, dengan fokusnya pada perbuatan lahiriah, berdiri sebagai perisai yang melindungi masyarakat. Di sisi lain, Mens Rea, dengan penekanannya pada sikap batin yang tercela, berfungsi sebagai benteng yang melindungi martabat individu dari penghukuman yang sewenang-wenang.

Simbiosis antara perbuatan dan kesalahan ini adalah jantung dari pertanggungjawaban pidana. Pemahaman yang mendalam atas dualitas ini, sebagaimana yang kini telah dikodifikasi dalam KUHP Baru, merupakan garda terdepan untuk menjamin bahwa hukum pidana tidak hanya menghukum perbuatan, tetapi menghukum individu yang bersalah secara adil, proporsional, dan pada akhirnya, secara manusiawi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

You might also like
Sampaikan Analisis Anda

Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.

Sampaikan Analisis Hukum Anda Tutup Kirim Naskah Opini