Literasi Hukum – Program Makan dan Minum Bergizi Gratis (MBG) yang dilaksanakan oleh pemerintahan Prabowo Subianto membawa angin segar dalam kebijakan sosial. Kebijakan ini tidak hanya menjadi instrumen untuk mengurangi angka malnutrisi di kalangan anak-anak Indonesia tetapi juga mencerminkan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup dan hak atas pangan yang layak. Jika dijalankan dengan visi yang jelas dan strategi yang matang, kebijakan ini berpotensi menjadi tonggak perubahan sistemik dalam memastikan kesejahteraan rakyat, sejalan dengan AstacitaPrabowo dan amanat konstitusi UUD NRI 1945.
Hak Asasi Manusia, Hak untuk Hidup, dan Hak atas Pangan
Hak atas pangan bukan sekadar bantuan. Ini adalah hak asasi manusia yang diakui dalam konstitusi Indonesia maupun dalam hukum internasional. Pasal 28A UUD 1945 menjamin hak untuk hidup, sementara Pasal 28C menegaskan hak untuk meraih kesejahteraan, termasuk akses terhadap pangan bergizi. Pasal 34 bahkan dengan jelas menyebutkan bahwa negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) juga menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan standar hidup yang layak, termasuk akses pada makanan bergizi. Artinya, MBG bukan sekadar kebijakan kedermawanan negara, melainkan bentuk nyata tanggung jawab pemerintah dalam menjamin hak rakyat.
Pelajaran dari India: Pemikiran Amartya Sen dan Skema Makan Siang Gratis
Ekonom dan pemikir Amartya Sen yang berasal dari India berpendapat bahwa kelaparan bukanlah sekadar akibat dari kelangkaan pangan, tetapi lebih kepada kegagalan distribusi dan akses ekonomi yang tidak merata. Dalam konteks ini, MBG dapat menjadi alat strategis untuk mengatasi ketimpangan sosial dengan memastikan bahwa semua anak, tanpa memandang status ekonomi, memiliki akses yang sama terhadap makanan bergizi. Belajar dari pengalaman negara lain, India punya program serupa yang disebut Midday Meal Scheme, sebuah program makan siang gratis bagi setiap murid di sekolah yang bertujuan untuk mengatasi malnutrisi sekaligus meningkatkan angka partisipasi pendidikan. Program ini telah menunjukkan bahwa kebijakan pangan yang berbasis hak dan inklusivitas dapat menciptakan dampak jangka panjang terhadap kesejahteraan masyarakat. Indonesia dapat belajar dari pengalaman India dengan memastikan bahwa MBG tidak hanya menjadi proyek jangka pendek, tetapi juga memiliki sistem distribusi yang efisien, transparansi dalam implementasi, serta mekanisme evaluasi yang kuat agar program ini tidak sekadar menjadi janji politik yang sementara.
Pedagogi Kritis dan Keadilan Sosial dalam Kebijakan MBG
Dalam konteks keadilan sosial, kebijakan MBG harus dirancang untuk mengurangi ketimpangan yang selama ini menjadi penyebab utama gizi buruk di Indonesia. John Rawls, dalam teori keadilannya, menekankan bahwa keadilan bukan hanya tentang pemerataan, tetapi juga tentang memberikan perhatian khusus kepada kelompok yang paling rentan. MBG sejalan dengan prinsip ini karena memberikan akses yang lebih adil bagi mereka yang kurang mampu dalam memenuhi kebutuhan gizi harian. Lebih jauh, kebijakan ini mencerminkan nilai-nilai Astacita Prabowo, khususnya dalam aspek pemerataan kesejahteraan, penghapusan kemiskinan, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Jika diimplementasikan dengan baik, MBG bisa menjadi langkah konkret untuk membangun fondasi kesejahteraan yang lebih berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Dalam perspektif pedagogi kritis yang dikembangkan oleh Paulo Freire, kebijakan publik tidak boleh hanya bersifat top-down dan teknokratis, tetapi juga harus melibatkan masyarakat dalam prosesnya. Artinya, masyarakat harus memahami bahwa pangan adalah hak, bukan sekadar bantuan sosial yang diberikan secara sukarela oleh pemerintah. Kesadaran kritis ini penting agar masyarakat tidak hanya menjadi penerima manfaat pasif, tetapi juga aktif dalam memastikan bahwa kebijakan MBG berjalan secara transparan dan efektif. Jika masyarakat hanya melihat MBG sebagai bentuk kedermawanan negara tanpa memahami hak mereka atas pangan, maka program ini berisiko menjadi kebijakan populis yang kehilangan dampak jangka panjangnya. Oleh karena itu, Freire menekankan bahwa pendidikan kritis harus menjadi bagian dari kebijakan ini, dengan mengedukasi masyarakat agar dapat berpartisipasi aktif dalam memastikan kebijakan ini berjalan dengan baik dan berkelanjutan.
Meskipun MBG merupakan langkah besar dalam memastikan kesejahteraan sosial, program ini harus dihadapi dengan kesiapan infrastruktur dan mekanisme distribusi yang baik. Beberapa tantangan utama yang harus diantisipasi meliputi:
- Keberlanjutan Anggaran – Pemerintah harus menjamin bahwa pendanaan MBG tidak bergantung pada kondisi politik atau ekonomi jangka pendek.
- Distribusi yang Merata – Sistem logistik yang efektif harus dibangun agar setiap anak di seluruh Indonesia, termasuk di daerah terpencil, bisa mendapatkan manfaat dari program ini.
- Kualitas dan Keamanan Pangan – Pemerintah harus memastikan bahwa makanan yang disediakan dalam program MBG memenuhi standar gizi dan keamanan pangan yang tinggi.
- Transparansi dan Akuntabilitas – Masyarakat harus dilibatkan dalam pengawasan dan evaluasi program ini agar tidak terjadi penyalahgunaan anggaran atau ketidakefisienan dalam pelaksanaannya.
Catatan Penutup
Program MBG bukan hanya sekadar kebijakan bantuan sosial, tetapi juga implementasi dari hak asasi manusia, khususnya hak atas pangan dan hak untuk hidup yang dijamin dalam konstitusi Indonesia. Dengan menelaah pengalaman India dan pemikiran Amartya Sen, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadikan kebijakan ini sebagai instrumen transformatif yang tidak hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan jangka pendek, tetapi juga sebagai fondasi bagi pembangunan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Agar program ini benar-benar efektif dan berkelanjutan, partisipasi masyarakat dalam mengawal pelaksanaannya menjadi faktor kunci. Dengan kesadaran kritis dan dukungan publik yang aktif, MBG dapat menjadi langkah nyata dalam menciptakan generasi yang lebih sehat dan berdaya. Kini, saatnya pemerintah dan masyarakat bergandengan tangan untuk memastikan bahwa hak atas pangan benar-benar diwujudkan bagi seluruh warga negara Indonesia.