Literasi Hukum – Mengapa masyarakat Indonesia sulit taat hukum? Analisis mendalam menunjukkan akar masalahnya bukan pada pengetahuan, tapi pada hukum yang telah kehilangan nilai keadilan dan moralitasnya.
Pendahuluan
Ironi terbesar bangsa ini bukanlah ketiadaan hukum, melainkan ketiadaan ketaatan di tengah melimpahnya aturan. Di saat akses informasi dan tingkat pendidikan hukum terus meningkat, pelanggaran justru semakin merajalela—dari korupsi pejabat tinggi hingga pelanggaran lalu lintas di jalan raya. Hal ini memunculkan satu pertanyaan fundamental: mengapa masyarakat Indonesia sulit taat hukum?
Banyak analisis menunjuk pada lemahnya penegakan hukum, kemiskinan, atau kurangnya pendidikan. Namun, ada akar masalah yang lebih dalam dari itu: hilangnya aksiologi—yakni nilai-nilai moral dan keadilan—dari cara kita memaknai hukum. Ketika hukum hanya menjadi teks tanpa ruh, ia tak akan pernah ditaati dengan tulus.
Fondasi Kita Kuat, Namun Mengapa Perilaku Kita Rapuh?
Secara fundamental, kita bukanlah masyarakat tanpa identitas. Landasan ontologis kita sebagai bangsa sangat kuat: kita berketuhanan, menjunjung tinggi gotong royong, dan menghargai adat istiadat. Solidaritas saat terjadi bencana adalah bukti nyata bahwa nilai-nilai luhur itu masih hidup dalam sanubari kita. Kita tahu bahwa korupsi, menipu, atau menyuap adalah tindakan yang salah dan bertentangan dengan jati diri kita.
Masalahnya bukan pada pemahaman diri, melainkan pada tindakan. Jika kita tahu siapa kita, mengapa perilaku kita sering kali tidak mencerminkan nilai-nilai tersebut?
Pengetahuan Melimpah, Integritas Menipis
Dari sisi pengetahuan (epistemologi), masyarakat kita tidak bisa lagi disebut tertinggal. Informasi hukum tersebar luas, pendidikan tinggi semakin terjangkau. Masyarakat umum paham prosedur hukum, bahkan para pelanggar hukum sering kali adalah orang-orang yang “melek hukum”.
Para koruptor, misalnya, bukanlah orang bodoh. Mereka memahami pasal-pasal dalam undang-undang, tahu seluk-beluk prosedur hukum, bahkan piawai mencari celah. Pengetahuan hukum yang mereka miliki justru menjadi alat untuk melakukan pelanggaran dengan lebih rapi. Ini adalah bukti sahih bahwa masalah utama kita bukanlah kebodohan, melainkan ketiadaan kompas moral untuk menggunakan pengetahuan itu dengan benar.
Aksiologi yang Kosong: Ketika Hukum Tak Lagi Layak Dihormati
Di sinilah letak jantung persoalannya. Aksiologi, cabang filsafat yang menimbang nilai kebaikan dan keadilan, telah dicampakkan dari praktik hukum kita. Tanpa bimbingan nilai, pengetahuan menjadi liar, kecerdasan menjadi alat manipulasi, dan hukum tak lebih dari sekadar teks mati yang kehilangan makna.
Filsuf hukum Gustav Radbruch pernah menyatakan bahwa hukum yang sangat tidak adil pada dasarnya bukanlah hukum. Di Indonesia, kita menyaksikan fenomena ini setiap hari: hukum ditegakkan secara prosedural, namun menginjak-injak rasa keadilan publik. Keputusan hukum tidak lagi dipandu oleh nilai, yang terpenting adalah “sah” secara formal, bukan “adil” secara substansial.
Kondisi inilah yang menjelaskan mengapa masyarakat enggan taat: karena hukum itu sendiri sering kali tidak pantas ditaati secara moral. Bagaimana publik bisa menaruh hormat ketika sistem hukum terasa lebih sering melindungi elite dan menindas rakyat kecil?
Kasus MK: Contoh Telanjang Hukum Tanpa Jiwa
Pelanggaran etik berat di Mahkamah Konstitusi terkait putusan batas usia calon pemimpin adalah contoh paling telanjang dari praktik hukum yang miskin aksiologi. Secara prosedur, putusan itu dianggap sah. Namun, secara moral dan etika, ia cacat fundamental. Ketika para penjaga konstitusi sendiri terbukti melanggar etika tanpa konsekuensi hukum yang setimpal, publik pun melihat hukum tak lebih dari sebuah lelucon.
Logikanya sederhana: jika mereka yang berada di puncak hierarki hukum saja tidak menghormatinya, mengapa menuntut rakyat kecil untuk patuh tanpa syarat? Rasa hormat pada hukum bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan, ia harus diraih melalui keteladanan dan keadilan.
Saatnya Mengisi Kembali Ruang Kosong Aksiologi
Pendidikan hukum, politik, bahkan agama kita terlalu sering berhenti pada pengajaran “aturan”, bukan “makna”. Kita dididik untuk menghafal pasal, bukan untuk berpikir etis. Kita diminta taat, tetapi tidak diberi ruang untuk bertanya secara kritis, “Apakah hukum ini sudah adil?”
Solusi yang kita butuhkan bukanlah sekadar merevisi undang-undang, melainkan sebuah revolusi nilai. Literasi hukum publik harus diintegrasikan kembali dengan pendidikan moral dan etika. Kita perlu sistem pendidikan yang tidak hanya melahirkan para teknokrat yang cerdas, tetapi juga manusia yang berintegritas. Kita butuh tokoh publik yang bukan hanya cakap dalam beretorika, tetapi juga punya rasa malu saat melanggar etika.
Penutup: Menuju Bangsa yang Kembali Bernilai
Bangsa Indonesia tidak kekurangan sumber daya intelektual, kita kekurangan kompas moral. Kita tidak kekurangan aturan hukum, kita mengalami defisit keadilan. Ketaatan tidak akan pernah tumbuh dari rasa takut, ia lahir dari rasa hormat.
Selama aksiologi tidak kembali menjadi ruh dalam setiap kebijakan dan penegakan hukum, maka ketidaktaatan akan terus menjadi pemandangan normal. Pertanyaan yang harus kita jawab bersama bukan lagi “mengapa masyarakat tidak taat hukum?”, melainkan “bagaimana caranya agar hukum di negeri ini kembali layak untuk ditaati?”