Recommendation
Rekomendasi Buku Hukum Pidana
Materi HukumHukumHukum Internasional

Konflik Israel dan Palestina Perspektif Hukum Internasional dan Peran Indonesia dalam Menanganinya

Dini Wininta Sari, S.H.
37
×

Konflik Israel dan Palestina Perspektif Hukum Internasional dan Peran Indonesia dalam Menanganinya

Sebarkan artikel ini
Konflik Israel dan Palestina Perspektif Hukum Internasional dan Peran Indonesia dalam Menanganinya

Literasi Hukum – Artikel ini membahas tindakan serangan Israel dalam perspektif hukum internasional, penegakan hukum oleh PBB, peran Indonesia dalam penangananan konflik tersebut.

Sejarah Singkat Konflik Israel dan Palestina

Konflik Israel dan Palestina bermula sejak tahun 1917, Deklarasi Balfour yang memberikan dampak guncangan besar terhadap Palestina, dimana isi perjanjian itu adalah “mendirikan rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina” serta memfasilitasi pencapaian tujuan itu. Ketegangan yang terus meningkat menyebabkan pemberontakan Arab untuk memprotes kolonialisme Inggris dan akibat meningkatnya imigrasi Yahudi, berlangsung dari tahun 1936 hingga tahun 1939. Inggris telah mengerahkan tentaranya di Palestina dan berkolaborasi dengan komunitas Yahudi dengan membentuk kelompok bersenjata dan kontra pemberontakan.

Titik konflik awal Palestina dan Israel, yaitu akibat keputusan PBB pada tahun 1947 yang membagi wilayah Palestina dalam mandat Inggris menjadi dua negara, yakni satu negara Yahudi, dan satu negara Arab menyusul kehancuran sebagian besar warga Yahudi Eropa dalam Holocaust. Perjanjian gencatan senjata pada tahun 1949 disebut Nakba dan menyebabkan perang Arab-Israel. Intifada Palestina pertama dilakukan di Jalur Gaza pada Desember 1987 terlibat dalam perlawanan bersenjata melawan Israel yang berakhir ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Oslo tahun 1993, dibarengi pembentukan Palestinian Authority. Intifada kedua terjadi pada 28 September 2000, Israel membuat kerusakan terhadap perekonomian dan infrastruktur Palestina. Di tahun 2006, Hamas memenangkan pemilihan Palestina, namun menimbulkan perang saudara antara Fatah-Hamas.

Israel memberlakukan blokade darat, udara, hingga laut di Jalur Gaza di tahun 2007 dan telah memberikan empat serangan militer berkepanjangan di Gaza, yakni dari pada tahun 2008, 2012, 2014, dan 2021. Serangan Hamas ke Israel tahun 2023, dengan menembakkan ribuan roket ke Israel. Kemudian pasukan Israel menanggapinya dengan mendeklarasikan “keadaan waspada perang” dan serangan balasan Israel di Jalur Gaza menjadikan konflik itu menjadi wilayah yang belum dipetakan.

Tindakan Serangan Israel kepada Palestina dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional

G. Starke mengemukakan bahwa “hukum humaniter terdiri dari seperangkat pembatasan yang diatur oleh hukum internasional yang didalamnya diatur penggunaan kekerasan yang dapat digunakan untuk menundukkan pihak musuh dan prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu dalam perang dan konflik bersenjata”.

    Penguasaan oleh Israel terhadap wilayah Palestina merupakan pelanggaran hukum internasional dan pengingkaran terhadap the right of self determination rakyat Palestina atas wilayah yang diokupasi. Israel adalah sebagai pihak yang mengokupasi. Status pelanggaran hukum tercermin dengan adanya “Putusan ICJ dalam Advisory Opinion on Legal Consequences of the Construction of a Wall in the Occupied Palestinian Territory (2004)” yang menyatakan bahwa Israel telah melanggar hak atas self determination Palestina dan telah melakukan de facto annexation (aneksasi) melalui pembangunan tembok di Occupied Palestinian Territory. Tindakan pembelaan diri (self-defence) dapat digunakan sebagai pembenaran terhadap suatu tindakan jika pembelaan diri itu dilakukan sebagai pembelaan diri yang sah sesuai dengan ketentuan Piagam PBB.

    Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/67/19 tahun 2012 mengafirmasi hak self determination dalam kaitannya dengan wilayah Palestina yang diokupasi. Pre Trial Chamber I ICC dalam Situation In The State Of Palestine tahun 2021 merujuk pada wilayah Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur sebagai wilayah Palestina yang diokupasi oleh Israel sejak 1967.

    Pelanggaran Aturan Hukum Humaniter Internasional oleh Tentara Israel kepada Palestina

    Ancaman dan penganiayaan yang diberikan tentara Israel kepada Palestina merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa III 1949 dan Konvensi Jenewa IV 1949, karena tercantum dalam paragraf pertama Pasal 13 Konvensi Jenewa III 1949: “Tawanan perang harus diperlakukan dengan perikemanusiaan dan semua perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau yang mengakibatkan kematian dan benar-benar membahayakan kesehatan tawanan perang adalah dilarang  dan  dianggap sebagai pelanggaran berat dari Konvensi ini.

    Selain itu, tindakan penawanan dan penganiayaan tersebut adalah pelanggaran berat terhadap beberapa instrumen hukum humaniter internasional, yaitu pelanggaran Protokol Anak Mengenai Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977 tentang Perlindungan Korban-Korban Pertikaian-Pertikaian Bersenjata Internasional. Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan melalui ICC berdasarkan point 5 “The Declaration on the Protection of Women and Children in Emergency”, tindakan penindasan dan perlakuan yang kejam dan tidak manusiawi terhadap perempuan dan anak-anak termasuk pemenjaraan, pembunuhan penyiksaan, penembakan, penangkapan massal, perkosaan, perusakan tempat tinggal, dan pengusiran paksa yang dilakukan dalam peperangan.

    Penegakan Hukum oleh PBB dalam Menangani Kasus Serangan Israel kepada Palestina

    Hukum internasional merupakan sistem hukum yang teritegrasi secara horizontal, dimana satu negara atau organisasi internasional berelasi satu sama lain. Sebagai subjek hukum internasional, Negara memiliki kedaulatan yang diakui oleh hukum internasional.

    Israel merupakan pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan dan kerugian yang dialami masyarakat Palestina. Pengadilan Israel yang tidak memungkinkan menjadikan sistem hukum asing terutama hukum Hukum Humaniter Internasional pada pengadilannya. Israel merupakan mitra Amerika Serikat di Timur Tengah, kedekatan secara politik antara Amerika Serikat sebagai Dewan Keamanan PBB dan Israel, menimbulkan polemik penegakan Hukum Humaniter Internasioanal. Sehingga, ICC merupakan pihak yang tepat untuk menegakkan hukum humaniter internasional dan mengadili pelanggaran perang yang dilakukan oleh Israel, dengan memerlukan persetujuan oleh Dewan Keamanan PBB yang berjumlah 15 anggota dan memiliki 5 anggota tetap.

    ICC dapat mengadili suatu pelanggaran Hukum Internasional melalui yurisdiksi apabila kejahatan yang dilakukan merupakan kejahatan kemanusiaan, genosida dan kejahatan perang dengan dua syarat, yaitu kejahatan dilakukan oleh warga negara suatu negara anggota PBB, atau suatu wilayah negara anggota PBB atau negara yang telah menerima yuridiksi Mahkamah Internasional dan kejahatan tersebut dirujuk oleh jaksa ICC melalui Dewan Keamanan PBB berdasarkan resolusi yang telah diadopsi oleh PBB.

    Peran Pemerintah Indonesia dalam Diplomasi Penanganan Konflik Israel-Palestina

    Pemerintah Indonesia kerap kali mendukung Palestina melalui organisasi internasional dan gerakan. Pemerintah Indonesia mengajak negara-negara anggota PBB, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Gerakan Non Blok (GNB), dan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) melalui jalur diplomasi untuk terus mengingat dan menekankan pada hal yang terjadi di Palestina. Pemerintah Indonesia juga mendorong negara lain untuk melakukan aksi-aksi nyata untuk membantu mengakhiri penjajahan di Palestina. Tujuan pemerintah Indonesia dalam hal ini sebagaimana termaktub dalam alinea pertama dan keempat pembukaan konstitusi tahun 1945, yakni dalam rangka menghapus penjajahan di atas dunia dan menjaga ketertiban global.

    Pada saat Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2008, Indonesia selalu berupaya memperjuangkan perlindungan dan jaminan hak-hak warga Palestina melalui PBB. Di ranah PBB, Indonesia berperan aktif dalam mengedepankan penyelesaian konflik Israel-Palestina. Sebagai anggota Dewan HAM, Indonesia mendorong diselenggarakannya sebuah Special Session Dewan HAM yang dilaksanakan pada 9 Januari dan 12 Januari 2009.

    Indonesia merupakan salah satu penggagas utama Sidang Khusus Majelis Umum PBB pada tanggal 15-16 Januari 2009 yang membahas masalah Palestina. Indonesia mengambil langkah cepat dalam merespon sebuah pernyataan kontroversial dari seorang Presiden Amerika, Donald Trump. Presiden Jokowi menugaskan Menteri Luar Negeri untuk segera meluncur ke Yordania, Lebanon, Eropa dan Turki. Indonesia langsung mengutuk pernyataan sepihak Donald Trump yang menghambat sebuah cita-cita perdamaian dua Negara. Berbagai bentuk dukungan nyata Indonesia untuk Palestina merupakan penguatan dukungan negara-negara Asia Afrika untuk kapasitas Palestina melalui peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA).

    Diplomasi Perdamaian oleh Indonesia

    Pada konflik Israel-Palestina, Indonesia secara konsisten memberikan bantuan material kepada masyarakat sipil korban konflik. Secara berkelanjutan, menyuarakan hak asasi manusia dan hak kemerdekaan Palestina di perundingan internasional. Diplomasi perdamaian yang terus dicanangkan demi kemerdekaan Palestina diharapkan dapat juga menarik simpatisan negara-negara lainnya, sehingga dapat berkolaborasi dalam menyelesaikan konflik pelik ini.

    Dukungan yang diberikan tidak terlepas pada sikap rasa kemanusiaan yang tercermin pada sila kedua Pancasila. Bantuan-bantuan yang diberikan Indonesia tidak hanya bersumber dari pemerintah, melainkan juga berasal dari masyarakat Indonesia. Indonesia aktif menjadi mediator untuk konflik Israel-Palestina. Konflik tersebut terus-menerus di singgung dan disuarakan di rapat-rapat internasional, khususnya pembahasan persoalan pelanggaran hak asasi manusia.

    Atas konflik Israel-Hamas, Indonesia juga mendesak Dewan Keamanan PBB untuk segera: (1) melakukan seruan bersama untuk segera melakukan genjatan senjata; (2) memprioritaskan akses kemanusiaan; (3) kemanusiaan harus dikembalikan ke Dewan Keamanan PBB. Walaupun telah diterapkan, perlu diperhatikan lebih lanjut yakni Indonesia memiliki hubungan dengan Israel secara diam-diam. Hubungan ini tidak hanya dalam konteks ekonomi tetapi juga menyangkut bidang intelijen.

    Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia kaitannya dengan Penanganan Konflik Israel-Palestina

    Dalam aspek politik luar negeri, sikap Indonesia terhadap konflik Palestina-Israel juga mempengaruhi hubungan dengan negara-negara lain, terutama Israel dan sekutunya. Meskipun Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Israel, namun Indonesia berusaha untuk memediasi dan mendukung upaya perdamaian di Timur Tengah melalui partisipasi dalam forum internasional dan kerja sama dengan negara-negara lain. Indonesia berperan aktif dalam memperjuangkan perdamaian antara Palestina dan Israel dengan mengangkat isu Palestina di tingkat PBB. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui pembicaraan dengan negara-negara Eropa, terutama Perancis, untuk mendorong penerbitan ultimatum kepada Israel guna mewujudkan perdamaian dengan Palestina.

    Kebijakan politik luar negeri di masa pemerintahan Joko Widodo, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengemukakan kebijakan penanganan konflik Israel-Palestina dalam “Prioritas 4+1”. Prioritas utama adalah diplomasi ekonomi, kedua ialah diplomasi pelindungan, diplomasi kedaulatan dan kebangsaan menjadi prioritas ketiga, keempat yakni kontribusi aktif politik luar negeri di kawasan dan global, dan penguatan infrastruktur menjadi prioritas plus satu. Berdasarkan prioritas keempat, secara tegas Indonesia mampu berperan aktif dalam politik luar negeri di kawasan dan global di mana pada tahun 2018, Indonesia terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk periode 2019 sampai dengan 2020. Indonesia terus berkomitmen untuk membela Palestina dalam menghadapi serangan masif Israel yang mulai dilakukan kembali pada bulan Oktober 2023.

    Indonesia menyerukan persatuan di antara negara negara untuk fokus memerdekakan Palestina melalui two state solution sebagai solusi. Sebagai contoh, Badan Kerja Sama Antar-Parlemen DPR RI yang memberikan pernyataan bahwa keselamatan warga sipil wajib diprioritaskan.

    Peran Non-mediasi oleh Indonesia terhadap Konflik Israel-Palestina

    Penanganan konflik Israel-Palestina oleh Indonesia sejauh ini mengambil peran non-mediasi yang secara nyata bisa diartikan sebagai politik himbauan dan kecaman melalui forum multilateral. Peran non-mediasi tersebut, membuat Indonesia tidak mampu langsung berhubungan dengan pihak Israel sebab Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik. Terdapat alasan politik dan sejarah tentang Indonesia yang tidak dapat membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Pendekatan non-mediasi yang telah di adopsi Indonesia sejak presiden Soekarno saat era Republik Indonesia Serikat yang kala itu, Mohammad Hatta menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan merangkap sebagai Perdana Menteri. Setelah penyerahan kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, Presiden Chaim Weizzmann dan Perdana Menteri David Ben-Gurion mengirimkan ucapan selamat kepada Indonesia serta resmi mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada 1950. Mohammad Hatta menanggapi respon atas Israel itu dengan baik, tetapi tanpa pengakuan sebaliknya atas berdirinya negara Israel sejak tanggal 14 Mei 1948.

    Partisipasi Indonesia dalam Mengatasi Keamanan Palestina 

    Sebagian besar masyarakat Indonesia merasa simpati terhadap warga Palestina dan mengecam tindakan Israel dalam konflik tersebut. Demonstrasi dan kampanye solidaritas untuk Palestina kerapkali dilaksanakan di berbagai kota di Indonesia. Hal ini menunjukkan dukungan yang kuat dari masyarakat sipil terhadap warga Palestina.

    Peran Indonesia dalam konflik Israel-Palestina berkaitan dengan dukungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap kebijakan pemerintah hingga pendirian rumah sakit Indonesia di Palestina, menjadi hal urgensi untuk dapat diterapkan secara berlanjut. Penindasan dan kekejaman yang berkepanjangan dilakukan oleh Israel terhadap warga Palestina, masih belum terselesaikan di lingkup internasional. Munculnya kembali pertikaian antara Israel dan Palestina pada tanggal 7 Oktober 2003, khususnya ditandai dengan serangan Hamas terhadap target-target Israel.

    Dukungan TNI juga tercermin dalam berbagai upaya diplomatik dan bantuan kemanusiaan. TNI berperan aktif dalam mendukung kebijakan luar negeri mengenai konflik Israel-Palestina melalui partisipasi dalam misi perdamaian PBB, pengiriman bantuan kemanusiaan, dalam pengawasan dan pemeliharaan perdamaian di wilayah konflik. TNI mampu memperkuat diplomasi Indonesia dengan meningkatkan reputasi Indonesia sebagai negara penengah serta pemimpin regional yang aktif dalam upaya perdamaian dan kemanusiaan di dunia.

    Selain mediasi dan diplomasi yang dimaksud, Indonesia juga sudah banyak berperan aktif untuk terus memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga Palestina yang terkena dampak konflik, baik berupa uang, makanan sembako, pakaian, obat-obatan dan peralatan medis lainnya.

    Masyarakat juga melakukan pemboikotan pada produk-produk yang berafiliasi dengan Israel. Boikot merupakan perbuatan penolakan produk atau kelompok tertentu sebab pendapat atau tindakannya yang tidak dapat diterima secara sosial dan moral. Masyarakat mampu berkontribusi membela Palestina dengan memboikot produk-produk yang berafiliasi dengan Israel serta menjadikan masyarakat lebih mengetahui berbagai produk lokal dengan kualitas yang lebih baik daripada produk yang berafiliasi dengan Israel.

    Referensi

    • Asakir, Ibnu, and Hikmat Zakky Almubaroq. “Peran TNI Dalam Penyelesaian Konflik Palestina Dan Israel.” Nusantara: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial 11, no. 4 (2020)
    • Christie, Rachel, Gracia Suha Ma’rifa, and Jedyzha Azzariel Priliska. “Analisis Konflik Israel Dan Palestina Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum Internasional.” Jurnal Kewarganegaraan 8, no. 1 (2024)
    • Hakiem, Fadhlan Nur, Lolita Deby Mahendra Putri, and Nurbani Adine Gustianti. “Dampak Normalisasi Hubungan Diplomatik Israel Dan Negara-Negara Arab Terhadap Kebijakan Luar Negeri Indonesia Di Timur Tengah.” Jurnal Dinamika Global 8, no. 2 (2023)
    • Juntami, Aulia Pengdaviera. “Pancasila and Peace: Peran Indonesia Dalam Mediasi Konflik Israel-Palestina; Implementasi Pancasila Pada Diplomasi Perdamaian Dunia.” Jurnal Diplomasi Pertahanan 9, no. 3 (2023).
    • Kaslam. “Solidaritas Global: Gerakan Kemanusiaan Untuk Palestina Di Indonesia.” Jurnal Ushuluddin 26, no. 1 (2024).
    • Kusumatdmaja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Alumni, 2003.
    • Nugraha, Tian Adhia, and Audry Maura. “Analisis Politik Luar Negeri Indonesia: Promosi ‘Keamanan Manusia’ Di Palestina.” Jurnal Hubungan Luar Negeri 8, no. 2 (2023).
    • Nurhasanah, Rofiatul, and Debi Setiawati. “Keterlibatan Indonesia Dalam Proses Perdamaian Konflik Palestina-Israel.” Nirwasita: Jurnal Pendidikan Sejarah Dan Ilmu Sosial 5, no. 1 (2024).
    • Setiawan, Irfan Delta, and Ragil Rencoko Mahesa Putra Nainggolan. “Eskalasi Konflik Palestine-Israel Di Tahun 2023 : Perspektif Kebijakan Luar Negeri Indonesia.” Jurnal Hubungan Internasional 17, no. 1 (2024).
    • Sudjatmiko, Andrey. Hukum HAM Dan Hukum Humaniter. Depok: Raja Grafindo, 2016.
    • Yulivan, Ivan, et al. “Diplomasi Ekonomi Pertahanan Dalam Mengatasi Dampak Perang Israel – Hamas Terhadap Ketahanan Perekonomian Indonesia.” Indonesian Journal of Banking and Financial Technology 2, no. 1 (2024).

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses