Literasi Hukum – Dalam hukum positif di Indonesia, tindakan pengguguran kandungan (aborsi) pada sejumlah kasus tertentu dibenarkan apabila merupakan Abortus Provocatus Medicinalis/Therapeuticus, yang mana pelaku aborsi melakukannya atas dasar pertimbangan medis.
Abortus provocatus kedaruratan medis dilakukan dengan syarat-syarat tertentu yang telah diatur di dalam undang-undang, yaitu Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Undang-Undang Kesehatan) dengan alasan adanya indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin yang lahir cacat sehingga sulit hidup di luar kandungan.
Berbeda dengan isi Pasal 75 Undang-Undang Kesehatan mengatur mengenai aborsi provokatus, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan khususnya Pasal 299, 346, 347, 348 dan 349 KUHP melarang aborsi provokatus tanpa kecuali, termasuk abortus provocatus medicinalis atau abortus provocatus therapeutics. KUHP melarang aborsi dan sanksi hukumnya cukup berat.
Pada tanggal 22 Januari 1973 Mahkamah Agung Amerika Serikat menjatuhkan putusan yang melegalkan aborsi dalam Roe v. Wade dan Doe v. Bolton. Putusan ini didasarkan pada amandemen ke-14 Konstitusi Amerika Serikat yang menjamin hak hidup, hak kebebasan, dan hak memperoleh harta milik bagi semua orang, namun tidak dapat diperluas sampai pada perlindungan terhadap janin. Pada masa pemerintahan Barack Obama tahun 2009, aborsi dilegalkan dengan syarat, yaitu kandungan yang digugurkan berusia kurang dari 12 minggu atau 3 bulan pertama masa kehamilan, praktik aborsi dilakukan oleh dokter dan klinik-klinik yang telah mendapat izin dari pemerintah.
Aborsi di Afrika merupakan fenomena yang sangat pelik, sebab terdapat dalam persimpangan antara ketidakadilan akibat hegemoni patriarki dengan norma sosial, agama, dan kebudayaan. Undang-undang mengharuskan perempuan yang ingin melakukan aborsi karena alasan kesehatan, setidaknya harus mendapatkan persetujuan dari dua dokter. Pada 2015, parlemen di Sierra Leone memilih mendukung undang-undang aborsi baru yang akan membuat aborsi menjadi aman dan legal. Pada tahun 2016, Komisi Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Rakyat mengumumkan kampanye untuk melegalkan aborsi di Afrika untuk melindungi kehidupan perempuan dan anak perempuan dengan melakukan dekriminalisasi aborsi.
Kanada melegalkan aborsi di semua tahap kehamilan dan didanai publik sebagai prosedur medis. Pada tahun 1969, Undang-Undang Amandemen Hukum Pidana Kanada, mengesahkan beberapa aturan mengenai aborsi yakni selama komite dokter menyatakan bahwa melanjutkan kehamilan kemungkinan besar akan membahayakan nyawa atau kesehatan perempuan. Namun tahun 1988, Mahkamah Agung Kanada menyatakan bahwa keseluruhan undang-undang aborsi di negara tersebut tidak konstitusional. Pengadilan menyatakan bahwa tidak ada legalitas pada bagian 251 KUHP karena melanggar bagian 7 dari Piagam Kanada Hak dan Kebebasan.
Pengaturan aborsi di Thailand diatur dalam Thai Criminal Code, yang menegaskan aborsi adalah perbuatan yang ilegal, kecuali dalam keadaan tertentu. Keadaan tertentu yang dimaksud adalah undang-undang memperbolehkan aborsi dilakukan oleh dokter jika diperlukan demi kesehatan dan keselamatan ibu atau kehamilan disebabkan oleh perkosaan. Mahkamah Konstitusi memerintahkan amandemen pada Pasal 301 dan Pasal 305 agar sesuai dengan realitas di Thailand saat ini, sehingga pada tanggal 17 November 2020, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang yang disahkan oleh Senat pada 25 Januari 2021 dan mendapat persetujuan kerajaan pada 5 Februari 2021. Setelah dilakukan amandemen tersebut, maka ada pelonggaran regulasi tentang aborsi di Thailand.
Pasal 31 Ayat (2) PP Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi menegaskan bahwa tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Lebih lanjut diatur dalam Pasal 34 Ayat (1) Kehamilan akibat perkosaan merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari banyaknya kasus Kehamilan Tidak Dikehendaki khususnya korban pemerkosaan membawa akibat buruk psikis dan mental, masyarakat berpandangan tidak ada tempat pelayanan yang aman dan secara hukum sebab dianggap sebagai tindakan kejahatan, pelanggaran norma agama, susila, dan sosial.
Perlindungan hukum terhadap perempuan korban pemerkosaan yang melakukan aborsi ditegaskan dalam Pasal 75 Ayat (2) Undang-Undang Kesehatan yaitu adanya indikasi kedaruratan medis yang sudah terdeteksi sejak awal kehamilan yang dapat mengancam nyawa ibu atau janin, adanya penyakit genetik berat atau cacat bawaan yang dapat menyulitkan bayi tersebut, dan kehamilan diakibatkan perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban.
Pasal 37 PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi menjelaskan bahwa tindakan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan melalui konseling, yakni pra konseling dan pasca konseling. Apabila yang akan diaborsi dalam keadaan darurat maka dokter diperbolehkan melakukan tanpa seizin ibu atau keluarga untuk menyelamatkan jiwanya.
Hukum aborsi di Inggris (Abortion Act of 1967) membolehkan aborsi apabila dua dokter dengan itikad baik menerangkan bahwa kehamilan akan mengakibatkan risiko terhadap kehidupan ibu atau kerusakan terhadap kesehatan fisik atau mental ibu atau anak, dan risiko atau kerusakan itu akan lebih besar jika dibandingkan dengan aborsi itu sendiri.
Selain itu, aborsi juga dilegalkan di Kanada dan Selandia Baru. Perempuan diperbolehkan menggugurkan kandungannya jika usia kehamilannya di bawah 6 bulan. Pandangan atas diperbolehkannya aborsi dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu kelompok aborsi etik yang mendukung dilakukannya aborsi atas alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara etik moral dan kelompok aborsi radikal yang mendukung kebebasan mutlak atas penggunaan tubuh manusia oleh pemilik tubuh.
Dalam ketentuan aborsi di Selandia Baru tahun 2020, Parlemen mengadopsi Undang-Undang Legislasi Aborsi, yang mendekriminalisasi aborsi dan mengizinkan prosedur atas permintaan dengan batas kehamilan 20 minggu. Selain itu, aborsi dianggap sebagai tindak pidana di Selandia Baru hingga akhir tahun 2020.
Negara Rusia mengatur aborsi dalam Amandemen Kode Keluarga, yang mana berusaha untuk membatasi hak perempuan untuk aborsi dengan mengakui janin sebagai manusia. Hal ini memberikan mereka hak yang dipegang oleh anak setelah lahir dan mengurangi jumlah alasan non medis yang memungkinkan perempuan melakukan aborsi selama trimester kedua kehamilannya.
Pelaksanaan aborsi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Kesehatan yang dipertegas lagi dalam ketentuan-ketentuan PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
Terkendalanya pelaksanaan tindakan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan disebabkan oleh presepsi aparat penegak hukum berbeda dengan para dokter serta lembaga atau instansi terkait dalam hal mendefinisikan perkosaan. Pihak penegak hukum masih menggunakan defenisi umum tentang perkosaan berdasarkan KUHP, Undang-Undang Tentang Kesehatan dan PP Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Keshatan Reproduksi yang belum mengatur jelas tentang definisi aborsi akibat perkosaan. Selain itu, perihal waktu untuk melakukan aborsi masih kurang jelas, sehingga dianggap menghambat tindakan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan.
A resourceful and dedicated law graduate who have ability in the field of legal and compliance with good legal writing, research, and analysis skills
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini