Literasi Hukum – Sebuah kekeliruan berpikir yang berbahaya telah lama menghinggapi sebagian kalangan penegak hukum dan praktisi di Indonesia. Kekeliruan tersebut berbunyi: karena rumusan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tidak secara eksplisit mencantumkan unsur “dengan maksud” atau “dengan tujuan”, maka pembuktian niat jahat (mens rea atau kesalahan) tidak lagi menjadi relevan. Cukup dengan terpenuhinya unsur-unsur objektif—secara melawan hukum, memperkaya diri, dan merugikan keuangan negara—seseorang sudah dapat dipidana. Pandangan ini tidak hanya sesat secara akademis, tetapi juga mengancam prinsip paling fundamental dalam hukum pidana: tiada pidana tanpa kesalahan.
Pembuktian mens rea adalah kewajiban absolut dan tak terhindarkan dalam delik korupsi Pasal 2 UU Tipikor, sekalipun teksnya membisu mengenai hal itu.
Argumentasi tersebut dibangun di atas tiga pilar kokoh: pertama, doktrin fundamental hukum pidana mengenai kesalahan; kedua, penegasan legislatif melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang baru; dan ketiga, konsekuensi logis dari pemisahan ranah hukum pidana, administrasi, dan perdata.
Hukum pidana modern berdiri di atas adagium Latin yang tak lekang oleh waktu: actus non facit reum, nisi mens sit rea. Artinya, suatu perbuatan fisik (actus reus) tidak membuat seseorang bersalah, kecuali jika batinnya juga bersalah (mens sit rea). Setiap tindak pidana, pada hakikatnya, merupakan perpaduan antara dua elemen ini. Actus reus adalah elemen objektif yang tampak, yakni perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Dalam konteks Pasal 2 UU Tipikor, unsur actus reus-nya adalah “melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Namun, perbuatan fisik saja tidak cukup. Harus ada elemen subjektif, yaitu sikap batin atau pertanggungjawaban pidana pada diri pelaku. Inilah yang disebut mens rea atau dalam doktrin hukum pidana Indonesia dikenal sebagai “kesalahan”. Kesalahan ini bisa berwujud kesengajaan (dolus atau opzet) maupun kealpaan (culpa).
Menafikan kewajiban pembuktian mens rea sama saja dengan mereduksi hukum pidana menjadi sekadar hukum administratif. Ini akan membuka pintu bagi kriminalisasi terhadap tindakan-tindakan yang, meskipun secara administratif keliru dan menimbulkan kerugian negara, tidak dilandasi oleh niat jahat atau bahkan kelalaian yang patut dicela. Seorang kepala daerah yang menandatangani dokumen atas dasar rekomendasi teknis stafnya yang ternyata keliru, tanpa ia ketahui atau patut ketahui kekeliruannya, bisa serta-merta dipidana. Ini bukanlah keadilan pidana, melainkan tirani legalistik.
Prinsip geen straf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan) adalah jiwa dari hukum pidana. Ia adalah asas yang tidak tertulis (unwritten law) namun diakui secara universal sebagai benteng pelindung hak asasi manusia. Mengabaikannya berarti mengkhianati esensi hukum pidana itu sendiri. Oleh karena itu, ketiadaan rumusan “dengan tujuan” dalam Pasal 2 tidak serta-merta menghapus syarat mens rea; sebaliknya, syarat itu melekat secara inheren berdasarkan doktrin yang paling mendasar.
Jika kedua pilar doktrinal di atas masih dianggap sebagai perdebatan teoretis, maka kehadiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) mengakhiri semua polemik tersebut. KUHP Baru, yang merupakan kristalisasi dari pandangan para ahli hukum pidana terkemuka Indonesia, secara tegas mengkodifikasi asas yang selama ini hanya hidup dalam doktrin menjadi hukum positif.
Pasal 36 KUHP Baru menyatakan sebagai berikut:
(1) Setiap Orang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan. (2) Perbuatan yang dapat dipidana merupakan Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja, sedangkan Tindak Pidana yang dilakukan karena kealpaan dapat dipidana jika secara tegas ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Penjelasan resmi Pasal 36 tersebut semakin memperjelas maksud pembentuk undang-undang:
Penjelasan Ayat (1): Ketentuan ini menegaskan prinsip tiada pidana tanpa kesalahan. Secara doktriner, bentuk kesalahan dapat berupa kesengajaan dan kealpaan. Penjelasan Ayat (2): Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan bahwa setiap Tindak Pidana dalam peraturan perundang-undangan harus selalu dianggap dilakukan dengan sengaja dan unsur kesengajaan ini harus dibuktikan pada setiap tahap pemeriksaan perkara…
Kodifikasi ini memiliki implikasi yang sangat kuat. Pertama, Pasal 36 ayat (1) mengangkat asas geen straf zonder schuld dari sekadar doktrin atau asas tidak tertulis menjadi norma hukum positif yang mengikat (lex scripta). Ini adalah lex generalis (aturan umum) yang menjadi payung bagi seluruh tindak pidana, termasuk yang diatur di luar KUHP seperti UU Tipikor, kecuali jika undang-undang khusus tersebut secara eksplisit menentukan lain (misalnya dalam delik pertanggungjawaban mutlak atau strict liability).
Kedua, dan ini yang paling relevan, Pasal 36 ayat (2) menciptakan sebuah hierarki atau standar baku: bentuk kesalahan yang utama adalah kesengajaan (dolus). Kealpaan (culpa) hanya dapat menjadi dasar pemidanaan jika dirumuskan secara tegas dalam pasal yang bersangkutan (misalnya dengan frasa “karena kealpaannya”).
Jika kita terapkan logika ini pada Pasal 2 UU Tipikor, kesimpulannya menjadi tak terbantahkan. Rumusan Pasal 2 UU Tipikor tidak mencantumkan frasa “karena kealpaannya”. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 36 KUHP Baru sebagai lex generalis, satu-satunya bentuk kesalahan (mens rea) yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku berdasarkan Pasal 2 UU Tipikor adalah kesengajaan (dolus).
Dengan demikian, KUHP Baru tidak menyisakan ruang lagi untuk interpretasi yang menafikan kewajiban pembuktian mens rea. Ia menjadi penegas legislatif (legislative confirmation) bahwa setiap pemidanaan—termasuk dalam kasus korupsi berdasarkan Pasal 2—wajib hukumnya didasarkan pada pembuktian adanya kesengajaan pada diri terdakwa.
Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai sanggahan terhadap argumen ini adalah: “Jika seorang pejabat terbukti secara materiil merugikan keuangan negara namun tidak memiliki niat jahat, apakah ia akan dilepaskan begitu saja?” Jawabannya tegas: tidak.
Membebaskan seseorang dari tuntutan pidana karena tidak terbuktinya mens rea tidak sama dengan membebaskannya dari segala bentuk pertanggungjawaban hukum. Di sinilah letak pentingnya memahami trikotomi atau pemisahan ranah hukum: pidana, administrasi negara, dan perdata.
Dengan demikian, penekanan pada mens rea dalam hukum pidana korupsi justru bertujuan untuk mengembalikan hukum pada fungsinya yang semestinya. Ia mencegah terjadinya overcriminalization terhadap kekeliruan-kekeliruan administratif. Seorang pejabat yang tidak kompeten atau lalai harus bertanggung jawab, tetapi pertanggungjawaban itu berada di ranah administrasi (ganti rugi dan sanksi jabatan), bukan di ranah pidana yang menstigmatisasi seseorang sebagai “koruptor”.
Menuntut pembuktian mens rea dalam Pasal 2 UU Tipikor bukanlah upaya untuk melemahkan pemberantasan korupsi. Justru sebaliknya, ini adalah upaya untuk menempatkan pemberantasan korupsi pada rel keadilan yang sesungguhnya—keadilan substantif, bukan sekadar prosedural. Pemidanaan harus ditujukan kepada mereka yang secara sadar dan tercela (blameworthy) melakukan kejahatan, bukan kepada mereka yang terjebak dalam kekeliruan administratif tanpa niat jahat.
Absennya kata “dengan tujuan” dalam rumusan delik bukanlah sebuah cek kosong bagi penegak hukum untuk mengabaikan pembuktian kesalahan. Berdasarkan doktrin fundamental hukum pidana, penafsiran holistik unsur “melawan hukum”, dan kini dipertegas oleh Pasal 36 KUHP Baru, kewajiban untuk membuktikan adanya mens rea pada diri terdakwa adalah sebuah keniscayaan hukum yang tidak dapat ditawar lagi. Setiap putusan pengadilan yang mengabaikan prinsip ini sejatinya adalah sebuah bentuk ketidakadilan.
Founder Literasi Hukum Indonesia | Orang desa yang ingin berkarya.
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini