“Fiat justitia ruat caelum“—biarlah keadilan ditegakkan walaupun langit runtuh.
Literasi Hukum – Ungkapan Latin ini menjadi pembuka yang relevan untuk menggambarkan pentingnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 125/PUU-XXI/2024. Di tengah kekacauan norma dan praktik hukum dalam penegakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), putusan ini datang sebagai penjernih arah. Tidak hanya bagi para hakim dan pengacara, tetapi juga untuk seluruh warga negara yang selama ini dihantui bayang-bayang pasal karet.
Putusan MK tersebut memberikan tafsir konstitusional terhadap frasa “orang lain” dan “suatu hal” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE. Mahkamah menilai kedua frasa tersebut multitafsir dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, MK memutuskan bahwa frasa “orang lain” harus dipahami sebagai pihak dengan identitas spesifik yang dapat dikenali, dan frasa “suatu hal” sebagai perbuatan konkret yang secara objektif merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang. Dengan putusan ini, Mahkamah memberikan batas yang lebih tegas untuk mencegah penyalahgunaan hukum.

Mengoreksi Jalur Sesat Penegakan Hukum
Selama bertahun-tahun, publik menyaksikan bagaimana UU ITE menjelma menjadi alat yang lebih banyak digunakan untuk membungkam ekspresi ketimbang menjaga etika berinternet. Pasal-pasal karet dalam UU ITE menjadi hantu digital yang bisa menjebak siapa saja: aktivis, jurnalis, akademisi, bahkan masyarakat biasa yang menulis keluhan di media sosial.
Putusan MK ini adalah koreksi terhadap jalur sesat penegakan hukum itu. Dalam logika hukum yang sehat, norma hukum seharusnya memberikan kejelasan, bukan menebar ketakutan. Dengan memberikan tafsir resmi terhadap frasa-frasa yang selama ini digunakan untuk menjerat, MK sedang mengingatkan bahwa hukum tak boleh menjadi perangkap diam-diam bagi warga negara.

Demokrasi Butuh Ruang Aman
Dalam rangka menjamin hak-hak dasar, termasuk kebebasan berekspresi di ruang digital, negara tidak hanya dituntut untuk mencegah penyalahgunaan kebebasan tersebut, tetapi juga berkewajiban memastikan bahwa setiap pembatasan atas ekspresi tunduk pada prinsip legalitas, legitimasi tujuan, dan proporsionalitas. Dalam kaitan ini, UUD NRI Tahun 1945, meski tidak secara eksplisit mengatur mengenai konstitusionalisasi digital (digital constitutionalism), sebagai konstitusi yang dibentuk berdasarkan prinsip konstitusionalisme tetap menjamin perlindungan hak-hak konstitusional warga negara.
Bahkan di tengah tantangan masif akibat perkembangan teknologi digital terhadap keseimbangan ekosistem konstitusional (constitutional equilibrium), prinsip-prinsip dasar tersebut tetap harus dijaga. Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan diwajibkan untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat agar putusan yang dijatuhkan tetap relevan dengan perkembangan teknologi digital. Gagasan mengenai digital constitutionalism muncul sebagai respons terhadap tantangan era digital dengan menggunakan pendekatan normatif dan institusional dalam menjamin hak-hak dasar.
Demokrasi digital, bila ingin tumbuh sehat, membutuhkan ruang aman bagi publik untuk menyampaikan kritik. Ruang itu akan terus menyempit jika hukum justru menjadi alat penekan. MK tampaknya memahami hal ini. Dengan menegaskan bahwa penegakan hukum harus berakar pada kejelasan dan obyektivitas, Mahkamah tidak hanya menyelamatkan warga negara dari ancaman hukum yang lentur, tetapi juga menyelamatkan demokrasi dari kekeringan ekspresi.
Namun Mahkamah seharusnya lebih tegas dalam menyatakan bahwa problematika utama dalam pasal-pasal tersebut bukan hanya soal tafsir, tetapi juga soal rumusan normatif yang lemah sejak awal. Alih-alih hanya menambal dengan tafsir bersyarat, Mahkamah bisa memperkuat posisinya dengan mendesak pembentuk undang-undang untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan pembaruan substansi norma. Dalam praktik, banyak aparat penegak hukum masih menjadikan tafsir hukum sebagai alat justifikasi tindakan yang represif, sehingga diperlukan isyarat lebih keras dari Mahkamah agar perubahan tidak hanya berhenti di atas kertas.
Putusan ini adalah pesan kuat bagi para penegak hukum agar lebih berhati-hati. Kritik tak boleh disamakan dengan pencemaran nama baik. Perbedaan pendapat tak boleh dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Negara hukum hanya akan bermartabat jika aparatnya bertindak atas dasar hukum yang jelas, bukan rasa tersinggung pribadi.

Luka yang Tercatat, Harapan yang Datang
Data dari lembaga-lembaga seperti SAFEnet dan Amnesty International menunjukkan peningkatan signifikan laporan kriminalisasi berbasis UU ITE dalam beberapa tahun terakhir. SAFEnet, misalnya, mencatat ratusan kasus sepanjang 2013 hingga 2021 dan puluhan kasus pada triwulan kedua 2023. Amnesty International juga telah menyuarakan keprihatinan terhadap penyalahgunaan pasal-pasal karet UU ITE dalam forum-forum resmi. LBH Pers juga dikenal konsisten mengadvokasi kasus-kasus serupa. Mereka yang mengkritik pejabat, mengomentari kebijakan, atau bahkan menyuarakan keresahan warga, tak sedikit yang berujung di meja hijau. Ini adalah luka demokrasi yang tak bisa disangkal.
Putusan MK menjadi penanda bahwa negara tidak tuli. Ia mendengar, mencatat, dan memutus. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menegaskan bahwa “asas nullum crimen sine lege certa mengharuskan setiap ketentuan pidana dirumuskan secara jelas dan tidak ambigu, demi menjamin hak atas kepastian hukum dan perlindungan dari tindakan sewenang-wenang.” Penegasan ini tidak hanya menjadi dasar logis putusan, tetapi juga kritik halus terhadap pembentuk undang-undang yang selama ini lalai dalam menyusun norma yang berkualitas. Dengan memperjelas batas norma, MK tak hanya menyusun ulang konstruksi hukum, tetapi juga memberi harapan bahwa hukum masih bisa diandalkan sebagai pelindung, bukan pelumpuh. Dalam narasi yang lebih luas, ini adalah bentuk perlawanan terhadap kriminalisasi ekspresi yang sering kali berselimut dalih hukum.

Merawat Semangat, Melanjutkan Perubahan
Namun, pekerjaan belum selesai. Putusan MK memang penting, tetapi implementasinya jauh lebih krusial. Penafsiran Mahkamah harus dibumikan dalam praktik penegakan hukum. Polisi, jaksa, dan hakim di tingkat bawah harus menjadikan putusan ini sebagai rujukan utama dalam menangani perkara-perkara serupa. Sosialisasi, pelatihan, dan pengawasan perlu diperkuat agar tafsir konstitusional ini tidak berhenti di atas kertas.
Lebih jauh lagi, DPR dan pemerintah juga tak bisa tinggal diam. Pasal-pasal dalam UU ITE yang telah berkali-kali dikritik perlu ditinjau ulang secara menyeluruh. Sudah waktunya legislasi di Indonesia berpihak pada perlindungan warga, bukan pada pelanggengan pasal-pasal karet.
Hukum yang Menyembuhkan, Bukan Melukai
Putusan MK Nomor 125/PUU-XXI/2024 adalah kabar baik yang harus dijaga. Ia bukan akhir dari perjuangan, tetapi awal dari jalan panjang menuju hukum yang lebih beradab. Kita patut berharap bahwa putusan ini akan menjadi preseden, menjadi pijakan baru dalam upaya menata hukum Indonesia agar lebih adil dan kontekstual.
Dalam masyarakat yang kian digital, kejelasan norma adalah kebutuhan dasar. Negara tak boleh hadir sebagai mesin penghukum, melainkan sebagai pelindung ekspresi warganya. Sebab hukum, jika ia hendak bermartabat, harus bisa menyembuhkan, bukan melukai.
Langkah MK ini sebagai kemenangan akal sehat atas legalisme yang menyesatkan. Namun, pujian ini tidak boleh membuat Mahkamah berpuas diri. Putusan konstitusional semestinya disertai dengan semangat reformasi yang lebih luas, agar hukum tak hanya menjadi pelindung elite, melainkan juga penjamin keadilan bagi semua.