Kesetaraan Perlindungan Hukum bagi Korban Kekerasan Seksual:  Perspektif Gender dan Tantangan Stigma

Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi Hukum – Kesetaraan di hadapan hukum adalah prinsip konstitusional. Namun, dalam praktiknya, tidak semua korban kekerasan mendapatkan pengakuan yang sama. Perspektif gender menjadi kunci untuk melihat celah ini dan mendorong perlindungan yang inklusif. Diskursus mengenai korban dalam hukum pidana di Indonesia selama ini kerap dipersempit pada perempuan. penting dilihat, laki-laki juga dapat mengalami tindak pidana, termasuk kekerasan seksual, tidak dapat dipungkiri, kelompok perempuan memang menempati posisi yang rentan terhadap berbagai bentuk kejahatan, terutama kekerasan seksual, sehingga wajar jika perhatian publik dan pembentuk undang-undang banyak diarahkan untuk melindungi mereka.

Data dari SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) menunjukkan sejak 1 januari 2024 s/d sekarang total pelaporan laki-laki sebanyak 11.953 orang.https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan Sedangkan Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperlihatkan bahwa korban kekerasan seksual di tahun 2018 lebih banyak dialami oleh anak laki-laki, di mana ada 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual.https://ijrs.or.id/2023/11/30/kekerasan-seksual-pada-laki-laki-diabaikan-dan-belum-ditangani-serius-2/

Jika menilai dari data di atas, laki-laki juga bisa menjadi korban tindak pidana, termasuk perkosaan dan kekerasan seksual, Sayangnya pengalaman mereka sering kali diabaikan. Stereotipe budaya yang menempel pada maskulinitas menjadikan laki-laki sulit diakui sebagai korban.https://www.tempo.co/gaya-hidup/survei-50-persen-laki-laki-enggan-mengungkapkan-perasaan-karena-takut-dicap-lemah-52029 Dalam konteks inilah, pembaruan KUHP Nasional perlu dibaca sebagai langkah maju untuk membongkar stigma lama dan membuka ruang perlindungan yang lebih setara, juga cukup untuk membuka mata bahwa laki-laki pun rentan. Sayangnya, realitas di masyarakat berkata lain: banyak yang masih sulit menerima bahwa laki-laki bisa menjadi korban. Dari sinilah stigma berakar.

Stigma Psikologis: “Laki-Laki Tidak Mungkin Jadi Korban”

Dalam psikologi sosial, terdapat teori hegemonic masculinity (R.W. Connell) yang menekankan bahwa laki-laki dianggap harus kuat, dominan, dan tidak boleh menunjukkan kelemahan.[1] Stereotipe ini melahirkan stigma bahwa laki-laki tidak mungkin menjadi korban, apalagi korban perkosaan.

Konstruksi sosial ini berdampak pada psikologi laki-laki korban. Mereka kerap mengalami trauma ganda (double victimization): pertama, trauma akibat tindak pidana; kedua, trauma akibat stigma masyarakat yang meragukan atau bahkan mengejek pengalamannya. Teori stigma sosial (Erving Goffman) menjelaskan hal ini sebagai “atribut yang mendiskreditkan seseorang di mata publik”. Dalam kasus laki-laki, stigma itu berupa anggapan bahwa melapor berarti “tidak jantan” atau mengakui kelemahan.https://dinastirev.org/JIHHP/article/view/4653/2560

Dampaknya nyata terjadi pada laki-laki korban kekerasan seksual mulai daripost-traumatic stress disorder (PTSD), peningkatan perasaan tidak berdaya, kecemasan, citra diri yang rusak dan adanya jarak emosional dengan orang lain (emotional distancing).https://ijrs.or.id/2023/11/28/sulitnya-percaya-laki-laki-bisa-jadi-korban-fenomena-kekerasan-seksual-terhadap-laki-laki-beserta-dampak-dan-respon-lingkungan-sekitar/

Pasal 285 KUHP Lama: Perspektif Gender yang Sempit

Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama berbunyi:

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.”

Rumusan ini jelas membatasi korban perkosaan hanya pada perempuan. Laki-laki tidak dilihat sebagai pihak yang mungkin mengalami paksaan seksual. Lebih dari itu, pemaknaan persetubuhan yang sangat sempit tidak mampu mencakup berbagai bentuk kekerasan seksual yang nyata terjadi dalam masyarakat, termasuk laki-laki sebagai korban

Dengan demikian, KUHP lama merefleksikan pandangan patriarkis yang melekat dalam masyarakat, yaitu asumsi bahwa laki-laki adalah subjek yang kuat, agresif, dan tidak mungkin menjadi korban. Padahal, realitas menunjukkan bahwa laki-laki bisa menjadi korban kekerasan seksual, baik dalam relasi heteroseksual maupun homoseksual, dalam situasi penahanan, maupun dalam konflik sosial.

KUHP Nasional: Perubahan Menuju Kesetaraan

Perubahan penting muncul dengan lahirnya KUHP Nasional melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Pasal 473 ayat (1) berbunyi:

“Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya,
dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun”

Perubahan frasa “seorang wanita” menjadi “setiap orang” menandai langkah maju dalam hukum pidana Indonesia. Artinya, korban perkosaan tidak lagi dibatasi pada perempuan saja, tetapi juga dapat mencakup laki-laki.

Selain itu, KUHP Nasional contohnya Pasal 473 ayat (3) s/d (5) memperluas ruang lingkup perlindungan pada semua bentuk persetubuhan yang terjadi karena paksaan, penyalahgunaan kekuasaan, atau kerentanan korban. Hal ini semakin memperkuat basis hukum untuk mengakui laki-laki sebagai korban.https://ijrs.or.id/wp-content/uploads/2023/05/Modul-Penanganan-Perkara-Tindak-Pidana-Kekerasan-Seksual

Pembahruan KUHP sejalan dengan prinsip hukum internasional. Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (1985) yang diadopsi PBB menegaskan bahwa korban adalah setiap orang, tanpa pembedaan jenis kelamin, yang menderita kerugian fisik, mental, emosional, ekonomi, atau pengurangan hak-hak fundamental akibat tindak pidana.https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/declaration-basic-principles-justice-victims-crime-and-abuse

Dimensi Keadilan dan Efektivitas Hukum

Mengabaikan laki-laki sebagai korban bukan hanya masalah kesetaraan, tetapi juga berdampak pada efektivitas sistem peradilan pidana. Ketika laporan korban laki-laki tidak diproses dengan serius, pelaku kejahatan tetap bebas berkeliaran. Hal ini berpotensi memperbesar jumlah korban di masa depan, baik laki-laki maupun perempuan.

Meski ada kemajuan normatif, praktik di lapangan tidak selalu sejalan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa pembaruan hukum saja tidak cukup. Diperlukan perubahan cara pandang aparat penegak hukum dan masyarakat. Penegak hukum perlu dilatih untuk mengadopsi pendekatan berorientasi korban (victim-sensitive approach), di mana pengalaman korban dihargai tanpa diskriminasi gender.https://gendersafe.eu/pledge/adopting-a-victim-centred-trauma-informed-approach/#:~:text=Adopting%20a%20victim%2Dcentred%20approach%20entails%20%E2%80%9Cprioritising%20listening%20to%20the,dealing%20with%20a%20specific%20case.

Dengan demikian, mengakui dan melindungi laki-laki sebagai korban adalah bagian integral dari upaya mewujudkan sistem peradilan pidana yang efektif. Hukum pidana bukan hanya soal menghukum pelaku, tetapi juga memastikan korban mendapatkan keadilan, pemulihan, dan pengakuan atas penderitaannya.https://ijrs.or.id/wp-content/uploads/2023/05/Modul-Penanganan-Perkara-Tindak-Pidana-Kekerasan-Seksual

Peran Lembaga dan Komunitas Erat dengan Korban

Perubahan KUHP Nasional membuka peluang nyata bagi laki-laki korban untuk mengakses keadilan. Kini tantangannya adalah keberanian korban untuk melawan stigma. Melapor bukan tanda kelemahan, tetapi langkah berani untuk memutus rantai kejahatan. Korban laki-laki menunjukkan bahwa konsep maskulinitas yang sehat adalah keberanian menghadapi kenyataan, bukan menutupinya. Pemulihan nyata bagi korban laki-laki penting dengan pendekatan peran Komunitas yang tidak memandang gender.

Peran pemulihan serta pemahaman mendalam mengenai kekerasan seksual ini didukung banyak lembaga dan Komunitas, yakni: Dokter Tanpa Stigma, Ubah Sitgma, Yayasan Pulih, Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, LBH APIK, dan organisasi lainnya. Mereka hadir dengan pendampingan psikologis, bantuan hukum, hingga advokasi kebijakan. Harapannya, laki-laki sebagai korban—bersama semua gender—merasa layak untuk bersuara, mendapatkan perlindungan, dan pulih tanpa stigma. Karena keadilan dan pemulihan sejati hanya mungkin terwujud ketika masyarakat dan negara membuka ruang yang aman dan setara bagi semua.

Hafifah Harahap merupakan lulusan hukum yang memiliki minat pada isu-isu demokrasi, hak asasi manusia, penegakan hukum, dan lingkungan hidup.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

You might also like
Sampaikan Analisis Anda

Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.

Sampaikan Analisis Hukum Anda Tutup Kirim Naskah Opini