Literasi Hukum – Konstitusi Republik Indonesia secara tegas mengamanatkan bahwa pendidikan adalah hak fundamental setiap warga negara. Dari amanat ini, lahirlah kewajiban negara untuk menyediakan akses pendidikan seluas-luasnya, dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi. Namun, realitas belakangan ini, terutama terkait polemik Uang Kuliah Tunggal (UKT), menunjukkan diskoneksi serius antara amanat konstitusional dan implementasi kebijakan di lapangan. Pendidikan tinggi seolah menjadi menara gading yang hanya membuka pintunya bagi mereka yang berpunya, sebuah anggapan yang seharusnya tidak pernah ada di bumi pertiwi.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, pada alinea keempat, mencantumkan salah satu tujuan luhur bernegara: “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Ini bukanlah sekadar slogan, melainkan perintah konstitusional yang mengikat. Lantas, menjadi sebuah ironi ketika para pimpinan Perguruan Tinggi Negeri (PTN)—institusi yang beroperasi dengan sokongan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)—dengan mudahnya menaikkan UKT. Dalih seperti kenaikan harga bahan pokok terdengar sumbang dan tidak sebanding dengan dampak yang timbul.
Secara kasat mata, menaikkan UKT adalah tindakan yang secara langsung membatasi hak warga negara untuk mengakses pendidikan tinggi. Pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan ini secara mendalam, karena setiap individu, tanpa memandang latar belakang ekonominya, memiliki hak yang sama untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya.
Pendidikan sejatinya adalah proses seumur hidup, dari buaian hingga liang lahad. Namun, bagaimana mungkin seorang anak bangsa yang kurang mampu dapat mewujudkan falsafah itu jika biaya yang melambung tinggi mematahkan mimpi mereka untuk kuliah? Kenaikan UKT yang mencapai 200% hingga 500% di berbagai PTN telah menimbulkan keresahan massal.
Bayangkan situasi sebuah keluarga: anak mereka telah berjuang dan berhasil lulus seleksi masuk PTN, sebuah pencapaian membanggakan yang patut menjadi perayaan. Namun, kebahagiaan itu seketika sirna saat mereka menghadapi nominal UKT yang di luar jangkauan. Haruskah orang tua menyuruh anaknya berhenti bermimpi hanya karena ketidakmampuan ekonomi? Ini adalah tragedi sosial yang mengorbankan potensi generasi penerus bangsa. Bagi mahasiswa itu sendiri, yang menjadi harapan keluarga untuk mengubah nasib, kebijakan ini adalah vonis yang mematikan asa.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi gencar menggaungkan program “Merdeka Belajar”. Namun, kebijakan UKT ini mencederai esensi kemerdekaan itu sendiri. Hakikat kemerdekaan belajar yang sesungguhnya adalah kemerdekaan untuk menimba ilmu tanpa belenggu biaya yang mencekik.
Kebijakan kenaikan UKT ini berbanding terbalik dengan semangat kemerdekaan tersebut. Yang memerlukan perbaikan bukanlah slogan kebijakannya, melainkan implementasi di lapangan. “Merdeka Belajar” harus benar-benar berarti merdeka bagi setiap warga negara untuk memilih universitas yang mereka inginkan, tanpa bayang-bayang UKT mahal yang menghantui.
Kita dapat memandang kenaikan UKT secara drastis sebagai tindakan ‘offside’ terhadap konstitusi. Seperti yang pernah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Anwar Usman, sampaikan dalam orasi ilmiahnya, seluruh lembaga negara perlu mendekatkan pemikiran mereka pada nilai-nilai konstitusional, terutama dalam bidang pendidikan.
Beliau menegaskan bahwa MK dalam sejarahnya telah berulang kali menguji undang-undang yang berkaitan dengan sistem pendidikan nasional karena bersinggungan langsung dengan hak konstitusional warga negara. Jangan sampai, kebijakan UKT ini harus berakhir di meja pengadilan konstitusi untuk menguji legitimasinya. Fenomena mahasiswa yang mengundurkan diri di berbagai daerah karena tidak sanggup membayar UKT adalah bukti nyata bahwa ancaman ini riil dan semakin mendiskriminasi rakyat yang tidak mampu.
Penolakan masif dari kalangan mahasiswa bukanlah sekadar aksi protes, melainkan sebuah bentuk kepedulian dan “kasih sayang” kepada almamater mereka. Ini adalah upaya untuk mengingatkan para pembuat kebijakan agar kembali kepada perintah konstitusi: “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Kebijakan yang mempersulit anak bangsa menuntut ilmu tidak seharusnya mengkhianati perjuangan para pendiri bangsa.
Sebagai penutup, konstitusi tidak hanya memerintahkan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga untuk “memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar.” Kenaikan UKT yang tidak terkendali adalah bentuk pembiaran terhadap amanat tersebut. Seperti kata Albert Einstein, “Pendidikan adalah apa yang tersisa setelah seseorang melupakan apa yang telah ia pelajari di sekolah.” Jangan sampai, yang tersisa bagi generasi mendatang hanyalah kenangan pahit tentang mahalnya biaya pendidikan yang mengubur mimpi mereka.
Manusia Merdeka
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini