Literasi Hukum – Perlu ditegaskan sejak awal bahwa tulisan ini sepenuhnya berlepas diri dari afiliasi maupun preferensi politik. Analisis yang tersaji di dalamnya merupakan eksaminasi yuridis yang berakar murni pada kaidah dan doktrin keilmuan hukum yang dipahami penulis, yang bertujuan untuk melakukan demarkasi konseptual antara dua domain yang berbeda: ranah diskresi dalam hukum administrasi negara (beleidsvrijheid) dan ranah delik penyalahgunaan wewenang dalam hukum pidana korupsi.
Telah terjadi suatu kekeliruan paradigmatik dalam penegakan hukum, di mana batas demarkasi antara keduanya menjadi kabur. Pengaburan batas ini secara berbahaya membuka pintu bagi suatu fenomena yang dikenal sebagai kriminalisasi kebijakan, yakni proses menyeret tindakan-tindakan pejabat publik yang berada dalam lingkup hukum administrasi ke dalam kerangkeng hukum pidana.
Dakwaan yang dialamatkan kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong adalah contoh paling relevan dan faktual dari fenomena ini, sehingga namanya digunakan sebagai studi kasus. Namun, fokus analisis ini bukanlah pada figur personalnya. Seandainya perkara dengan konstruksi serupa terjadi pada individu lain, maka seluruh analisis yuridis dalam tulisan ini akan tetap berlaku sama.
Konstruksi dakwaan terhadapnya pada esensinya tidak mempersoalkan kekeliruan kebijakan impor gula secara substantif, melainkan memandang pilihan instrumen kebijakannya—yakni menunjuk pihak swasta alih-alih BUMN—sebagai modus operandi kejahatan itu sendiri. Tindakan tersebut dipersangkakan sebagai perbuatan melawan hukum dan/atau penyalahgunaan wewenang sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Kasus ini, dengan demikian, menjadi preseden yang dapat menciptakan ‘chilling effect’ atau efek gentar yang melumpuhkan bagi seluruh pejabat publik: jika seorang pejabat dipidana hanya karena pilihan kebijakannya, siapa lagi yang akan berani mengambil keputusan di negeri ini?
Setiap diskursus mengenai kebijakan publik harus berangkat dari satu postulat fundamental: kebijakan ekonomi yang bersifat alokatif secara inheren akan menciptakan distribusi keuntungan. Dalam kasus Tom Lembong, kebijakan impor gula yang ia ambil bertujuan untuk menjamin stabilitas pasokan bahan baku bagi industri makanan dan minuman. Secara logis dan niscaya, kebijakan ini akan memberikan benefice atau keuntungan kepada perusahaan importir swasta yang mendapatkan izin. Keuntungan ini bukanlah anomali, melainkan konsekuensi wajar dari bekerjanya fungsi negara.
Oleh karena itu, pertanyaan yuridis yang relevan dalam kasus Tom Lembong bukanlah “apakah kebijakannya menguntungkan korporasi swasta?”, sebab jawabannya sudah pasti “ya”. Pertanyaan yang benar adalah “apakah keuntungan yang diterima korporasi tersebut merupakan tujuan (oogmerk) dari sebuah persekongkolan jahat yang didasari oleh niat batin (mens rea) Tom Lembong yang koruptif?”. Tanpa pembedaan ini, maka setiap menteri yang kebijakannya melibatkan pihak swasta akan selalu dapat dipidana.
Konstruksi dakwaan terhadap Tom Lembong yang mempersoalkan pilihan antara BUMN dan swasta sebagai pelaksana kebijakan mengandung cacat yuridis yang fundamental. Dakwaan ini menyasar inti kewenangan diskresi pejabat (freies Ermessen). Untuk komoditas yang dipersoalkan—gula kristal mentah (GKM)—Permendag 117/2015 tidak mewajibkan impor dilakukan secara eksklusif oleh BUMN; perusahaan swasta pemegang Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) boleh mengimpor GKM sepanjang seluruh volume diproses di fasilitasnya sendiri, dilarang diperjualbelikan kembali, dan setiap impor harus memperoleh Persetujuan Impor (PI) dari Menteri Perdagangan. Dalam perkara ini, Kementerian Perdagangan menugasi BUMN PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) bekerja sama dengan delapan pabrik gula swasta untuk mengolah GKM menjadi gula kristal putih, dan Tom Lembong menerbitkan PI kepada kedelapan perusahaan tersebut sebagai bagian dari kebijakan percepatan dan efisiensi pasokan. Keputusan melibatkan swasta—selama mematuhi syarat API-P, penggunaan internal, dan larangan penjualan—merupakan pilihan strategis dalam koridor beleidsvrijheid yang diakui Pasal 24 UU 30/2014; memidanakan kebijakan ini berarti mempersempit ruang kebebasan pejabat yang justru dijamin oleh hukum administrasi.
Secara analogis, dalam hukum korporasi, dikenal doktrin Business Judgment Rule. Doktrin ini memberikan imunitas bagi direksi atas kerugian bisnis, selama keputusan diambil dengan itikad baik. Jika direksi perusahaan saja dilindungi, maka secara a fortiori (lebih kuat lagi alasannya), Tom Lembong seharusnya dilindungi oleh doktrin serupa yang dapat Penulis sebut sebagai Policy Judgment Rule. Ia harus diberi ruang untuk mengambil risiko kebijakan tanpa dihantui ancaman pidana, selama jaksa tidak dapat membuktikan bahwa keputusannya dilandasi oleh mens rea yang koruptif. Tentu, standar akuntabilitas pejabat publik tinggi, namun akuntabilitas tersebut tidak berarti mengebiri keberanian mengambil risiko kebijakan yang diperlukan demi kepentingan umum. Doktrin ini tidak memberikan kekebalan absolut, melainkan perlindungan terhadap keputusan yang diambil dengan itikad baik.
Unsur Mens Rea: Membedakan Beban Pembuktian Pasal 2 dan Pasal 3
Unsur Objektif: Melawan Hukum, Kerugian Negara, dan Penyalahgunaan Wewenang
Sejak Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016, kerugian negara harus riil dan terukur, bukan sekadar potential loss. Kejaksaan wajib menunjukkan bahwa harta negara benar-benar berkurang karena tindakan Tom. Selisih laba wajar yang dinikmati importir swasta, tanpa bukti mark-up harga atau keluarnya dana negara, hanyalah konsekuensi normal transaksi bisnis – bukan “kerugian negara”.
Demikian pula, dakwaan yang menyinggung ketiadaan rapat koordinasi sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang harus diuji melalui kacamata Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Pelanggaran AUPB, sesuai UU Administrasi Pemerintahan, secara imperatif diselesaikan melalui sanksi administratif. Ia baru dapat ditarik ke ranah pidana jika terbukti pelanggaran prosedur tersebut dilakukan dengan mens rea koruptif.
Untuk mengkonkretkan bahaya dari preseden ini, mari kita proyeksikan logika hukum yang digunakan dalam dakwaan terhadap Tom Lembong pada skenario-skenario hipotetis di sektor pemerintahan lain. Absurditasnya akan menjadi semakin nyata.
Skenario-skenario ini bukanlah fantasi, melainkan konsekuensi logis jika nalar hukum pidana digeser dari pembuktian mens rea menjadi penghakiman atas dampak ekonomi sebuah kebijakan. Inilah manifestasi sesungguhnya dari bestuurlijke verlamming yang mengancam.
Kasus Tom Lembong adalah pertaruhan bagi asas ultimum remedium. Jika setiap sengketa kebijakan yang berpotensi merugikan atau menguntungkan pihak tertentu langsung ditarik ke ranah pidana, maka hukum pidana telah beralih fungsi dari obat terakhir menjadi penyakit yang melumpuhkan (bestuurlijke verlamming).Pada akhirnya, palu hakim adalah benteng terakhir dari rasionalitas hukum. Hakim tidak boleh bertindak sebagai corong undang-undang (la bouche de la loi). Di pundak hakimlah terletak tugas berat untuk membelah kabut tebal antara kebijakan Tom Lembong yang mungkin keliru atau tidak populer (policy error) dengan sebuah kejahatan jabatan (ambtsmisdrijf) yang lahir dari niat koruptif. Putusan dalam kasus ini akan menjadi batu penjuru yurisprudensi: apakah negara ini akan memilih jalan penegakan hukum yang melumpuhkan birokrasi melalui ketakutan, atau menegakkan supremasi hukum yang sejati dengan kembali pada khitahnya: menghukum kejahatan (crime) yang terbukti, bukan menghakimi kebijakan (policy) yang berisiko.
Founder Literasi Hukum Indonesia | Orang desa yang ingin berkarya.
Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini
Assalamualaikum wr.wr bpk Adam Ilyas, saya Abdullah Fahrieza mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas. Saya sangat senang dan tertarik dengan tulisan opini bpk Adam Ilyas, adapun saya berkomentar pada platform ini untuk meminta izin kepada bpk Adam Ilyas tulisannya sebagai rujukan saya dalam membuat karya tulis. Terima kasih bpk Adam Ilyas telah share ilmu dan menambah wawasan saya.
Wa’alaikumsalam Wr. Wb. Mas Abdullah Fahrieza,
Silakan pergunakan tulisan saya tersebut sebagai referensi untuk karya tulis Anda. Saya tidak keberatan sama sekali dan justru senang jika tulisan itu bisa bermanfaat.
Semoga sukses untuk penyusunan karya tulisnya.
terima kasih banyak bpk Adam Ilyas, semoga ini menjadi amal jariyah bagi bpk telah berkontribusi untuk mencerdaskan anak bangsa
terima kasih banyak bpk Adam Ilyas, semoga ini menjadi amal jariyah bagi bpk telah berkontribusi untuk mencerdaskan anak bangsa