Penyakit Kronis Populisme: Menggerogoti Konstitusi, Meracuni Demokrasi

Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi Hukum – Mari kita bicara lurus-lurus saja. Di tengah hiruk pikuk politik, ada satu barang dagangan yang selalu laku, terutama saat rakyat sedang lelah dan kecewa. Barang itu bernama populisme. Ia dibungkus dengan kemasan indah “pro-rakyat”, diberi pita “melawan elite”, dan dijual dengan harga murah berupa janji-janji manis. Tapi jangan salah, di balik bungkusnya yang meriah itu, isinya adalah racun. Racun yang tidak langsung membunuh, tapi bekerja pelan-pelan, menggerogoti organ-organ vital negara, dan target utamanya hanya satu: Konstitusi.

Orang sering keliru. Populisme dianggap sama dengan menjadi populer atau merakyat. Keliru besar! Seorang pemimpin yang turun ke pasar, makan di warteg, atau disukai banyak orang, belum tentu populis. Itu namanya politisi yang pandai mengambil hati. Populisme adalah sebuah penyakit cara berpikir, sebuah ideologi berbahaya yang membelah dunia secara biner: ada “kita”, si rakyat jelata yang suci dan murni, dan ada “mereka”, kaum elite (politisi, pengusaha, intelektual, hakim) yang dianggap korup dan bersekongkol.

Di sinilah letak masalahnya. Sang pemimpin populis kemudian datang dan menabuh genderang, menunjuk dirinya sendiri sebagai satu-satunya lidah penyambung “kehendak rakyat” yang sejati. Titik. Tidak ada koma, tidak ada ruang untuk “tapi” atau “bagaimana jika”. Kalau Anda tidak setuju dengan dia, berarti Anda bukan bagian dari “rakyat”. Anda otomatis masuk ke dalam kotak “elite musuh”.

Bagi siapa pun yang pernah membaca satu halaman saja buku tentang negara hukum, logika ini seharusnya sudah menyalakan semua alarm bahaya. Demokrasi itu hidup dari oksigen yang bernama pluralisme—pengakuan bahwa ada banyak pendapat, banyak kepentingan, dan banyak cara pandang yang sah. Populisme datang membawa karung untuk membekap oksigen itu. Ia anti-pluralisme. Ia mau suara itu tunggal, yaitu suaranya sendiri yang dilabeli sebagai suara rakyat.

Gejala dan Cara Kerja Virusnya

Virus populisme ini tidak akan menyebar di dalam tubuh yang sehat. Ia mencari inang yang imunitasnya sedang lemah. Apa itu imunitas negara? Kepercayaan publik pada institusi. Ketika parlemen dianggap lamban dan penuh transaksi, ketika pengadilan dirasa tidak adil, ketika birokrasi berbelit-belit, dan ketika korupsi menjadi berita sehari-hari, saat itulah tubuh negara menjadi rentan.

Lalu datanglah sang populis, bukan sebagai dokter yang menawarkan resep rumit, tapi sebagai dukun yang menawarkan ramuan ajaib. Dia tidak akan bicara soal reformasi agraria yang kompleks atau strategi fiskal yang njelimet. Tidak. Jualannya sederhana: “Semua masalah ini karena elite di Jakarta!”, “Hancurkan kemapanan!”, “Saya akan terabas semua aturan yang menghalangi!”.

Ini adalah musik yang merdu di telinga orang yang frustrasi. Ia menawarkan jalan pintas, sebuah bypass dari segala kerumitan prosedur hukum dan demokrasi yang dianggap sebagai biang keladi lambatnya perubahan. Buat apa ada checks and balances kalau itu hanya menghambat pemimpin pilihan rakyat bekerja? Buat apa ada independensi yudikatif jika hakimnya tidak mengerti “rasa keadilan” rakyat? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang menjadi kampanye utamanya. Mereka menjual ilusi efektivitas dengan mengorbankan prinsip.

Penyakit Kronis Populisme Menggerogoti Konstitusi, Meracuni Demokrasi
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Saat Organ-Organ Vital Mulai Diserang

Ketika sang populis akhirnya memegang tuas kekuasaan, saat itulah kita bisa melihat proses pembongkaran mesin negara dimulai. Pembongkaran ini sistematis, dan seringkali dibungkus dengan narasi “demi kepentingan rakyat”.

1. Mengamputasi Kekuasaan Kehakiman

Target pertama selalu hakim. Kenapa? Karena hakim dan palunya adalah rem darurat konstitusi. Ketika kebijakan pemerintah melanggar hukum, hakimlah yang bisa meniup peluit dan memberikan kartu merah. Pemimpin populis benci dengan wasit yang independen. Baginya, wasit harus menjadi bagian dari timnya.

Maka, mulailah serangan itu. Para hakim dicap “menara gading”, “tidak paham kehendak rakyat”. Anggaran pengadilan dipangkas. Proses seleksi hakim diintervensi untuk memastikan hanya yang “sejalan” yang naik pangkat. UU Kekuasaan Kehakiman diotak-atik. Tujuannya satu: membuat hakim ragu-ragu, membuat lembaga peradilan menjadi macan ompong yang hanya bisa mengaum tapi tak bisa menggigit. Jika ini berhasil, matilah konsep equality before the law. Hukum menjadi sekadar stempel karet bagi titah sang penguasa.

2. Mengotak-atik Aturan Main

Konstitusi adalah aturan main bersama. Ia adalah kitab yang membatasi kekuasaan, agar siapa pun yang berkuasa tidak menjadi tiran. Bagi seorang populis, konstitusi adalah buku manual usang yang merepotkan. Ia ingin bergerak lincah, tanpa dibatasi oleh pasal-pasal soal masa jabatan, tanpa direpotkan oleh kewenangan lembaga pengawas.

Maka, jangan heran jika muncul wacana amandemen konstitusi dengan dalih “menyempurnakan sistem”. Hati-hati dengan kata “menyempurnakan” ini. Seringkali, di baliknya ada agenda untuk melonggarkan sekrup-sekrup pengaman kekuasaan. Batas masa jabatan diutak-atik, kewenangan lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Komnas HAM dipreteli. Semua dilakukan atas nama “efisiensi” dan “stabilitas”, padahal yang terjadi adalah pemusatan kekuasaan yang absolut. Ini seperti sedang bermain catur, lalu karena terdesak, salah satu pemain mengubah aturan seenaknya agar kudanya bisa berjalan seperti menteri. Curang, bukan?

3. Memecahkan Cermin dan Merusak Alarm Kebakaran

Pers yang kritis dan masyarakat sipil yang vokal adalah cermin bagi kekuasaan. Mereka menunjukkan noda, kerutan, dan borok yang mungkin ingin disembunyikan. Pemimpin populis benci bercermin. Ia lebih suka selfie dengan filter. Maka, cermin itu harus dipecahkan.

Caranya? Media kritis dilabeli “musuh negara”, “penyebar hoaks”. Wartawannya dikriminalisasi dengan UU ITE. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengungkap data-data janggal dituduh “kaki tangan asing”. Akademisi yang hasil risetnya berbeda dengan klaim pemerintah disebut “tidak nasionalis”. Tujuannya jelas: mematikan semua alarm kebakaran, sehingga ketika api korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan mulai membakar rumah kebangsaan, tidak ada lagi yang berteriak memperingatkan. Yang ada hanya tepuk tangan dari paduan suara para penjilat.

Diagnosis di Ruang Gawat Darurat NKRI

Tidak perlu melihat jauh-jauh ke Hungaria atau Venezuela. Lihat saja di sekeliling kita. Gejala-gejala penyakit ini sudah sangat terasa di Indonesia. Kita sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana sebuah lembaga sekuat KPK dilemahkan secara sistematis lewat revisi undang-undang, sebuah proses yang dibungkus dengan narasi “penguatan” yang absurd. Kita punya UU ITE dengan pasal-pasal karet yang menjadi momok bagi siapa saja yang ingin menyampaikan kritik.

Politik identitas, yang membelah masyarakat berdasarkan sentimen agama dan suku, dimainkan dengan begitu vulgar setiap menjelang pemilu. Ada upaya konstan untuk membenturkan “rakyat” dengan “simbol-simbol” yang dianggap asing atau berbeda. Ini adalah resep klasik populisme: ciptakan musuh bersama, lalu tawarkan diri Anda sebagai pelindungnya. Ini adalah politik api, yang membakar nalar sehat dan tenun kebangsaan kita.

Resep untuk Imunitas Konstitusional

Apakah kita harus menyerah pada penyakit ini? Tentu tidak. Tapi melawannya butuh lebih dari sekadar gerutuan di media sosial. Kita butuh resep untuk membangun kembali imunitas konstitusional bangsa ini.

Pertama, Vaksinasi Intelektual. Lawan dari pembodohan adalah pencerahan. Literasi politik dan hukum untuk publik bukan lagi kemewahan, tapi kebutuhan darurat. Rakyat harus divaksinasi agar kebal dari retorika kosong. Mereka harus bisa membedakan mana pemimpin yang benar-benar punya program, dan mana yang hanya modal teriakan dan menyalahkan pihak lain.

Kedua, Perkokoh Benteng-Benteng Institusional. Ini tugas politisi dan pejabat yang masih waras. Jaga independensi Bank Indonesia, pertahankan marwah Mahkamah Konstitusi, kembalikan taring KPK, biarkan parlemen menjadi ruang debat yang sesungguhnya, bukan klub penyokong pemerintah. Benteng-benteng ini adalah satu-satunya pertahanan fisik kita melawan gelombang otoritarianisme.

Ketiga, Jaga Pasukan Antibodi. Masyarakat sipil, pers, serikat buruh, organisasi mahasiswa—mereka adalah antibodi dalam tubuh bangsa. Mereka yang pertama kali akan melawan ketika ada virus atau bakteri jahat yang masuk. Jangan biarkan mereka dilemahkan. Lindungi kebebasan mereka untuk berserikat dan berpendapat.

Pada akhirnya, pertarungan melawan populisme adalah pertarungan antara nalar dan emosi, antara kesabaran membangun institusi dan godaan jalan pintas yang destruktif. Populisme menawarkan sebuah jalan tol menuju otoritarianisme, dengan tarif yang harus kita bayar berupa kebebasan dan hak-hak kita sebagai warga negara.

Pilihannya ada di tangan kita: mau terus menempuh jalan demokrasi yang kadang menanjak dan berliku, atau tergoda masuk ke jalan tol mulus yang ujungnya adalah jurang. Pilihan untuk tetap waras secara konstitusional, atau membiarkan bangsa ini sakit secara permanen. Jawabannya akan menentukan nasib demokrasi kita, hari ini dan di masa depan.

Founder Literasi Hukum Indonesia | Orang desa yang ingin berkarya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

You might also like
Sampaikan Analisis Anda

Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.

Sampaikan Analisis Hukum Anda Tutup Kirim Naskah Opini