Literasi Hukum – Bagaimana kita mengukur independensi sebuah lembaga peradilan? Pertanyaan ini menjadi semakin krusial ketika lembaga tersebut adalah Mahkamah Konstitusi (MK), sebuah institusi yang lahir dari rahim reformasi untuk menjadi benteng terakhir penjaga demokrasi dan konstitusi. Perannya sebagai pengadil dalam sengketa politik tingkat tinggi menempatkannya pada posisi yang rentan terhadap intervensi dari cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Dalam satu dekade terakhir, khususnya di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), pertanyaan mengenai independensi MK kembali mengemuka dengan tajam. Era ini ditandai oleh corak politik legislasi yang oleh banyak kalangan dinilai semakin mengabaikan prinsip-prinsip negara hukum. Lantas, di tengah derasnya arus legislasi yang problematik, bagaimana MK menjalankan perannya sebagai pengawas? Apakah Mahkamah masih tegak berdiri sebagai pilar penyangga demokrasi, ataukah independensinya telah tergerus oleh tekanan politik?
Artikel ini, dengan merujuk pada analisis kuantitatif dan kualitatif mendalam dari Yance Arizona, akan membedah secara kritis karakter politik legislasi era Presiden Jokowi, menyoroti kondisi internal dan eksternal yang melingkupi MK, dan mengevaluasi secara tajam bagaimana karakteristik putusan-putusan MK dalam menguji produk hukum dari era ini. Hasilnya adalah sebuah potret yang mengkhawatirkan tentang efektivitas MK dalam menjalankan fungsi judicial review-nya.
Untuk memahami kinerja MK, kita harus terlebih dahulu memahami konteks politik legislasi di mana ia beroperasi. Yance Arizona mengidentifikasi karakter legislasi era Jokowi sebagai “abusive legislation“, sebuah proses pembentukan undang-undang yang mengabaikan prosedur dan partisipasi publik, dengan substansi yang represif dan manipulatif untuk melemahkan prinsip-prinsip demokrasi.
Secara kuantitatif, produktivitas legislasi di era Jokowi (rata-rata 8,9 UU per tahun) tercatat jauh lebih rendah dibandingkan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (rata-rata 19,3 UU per tahun). Dari 78 undang-undang non-penetapan yang dianalisis hingga Agustus 2022, fokus terbesar adalah pada bidang ekonomi (47,44%). Ini menunjukkan prioritas pemerintah yang kuat pada kebijakan ekonomi neoliberal, deregulasi, dan pembangunan infrastruktur untuk menarik investasi.
Karakter “abusif” dari legislasi ini terlihat dari beberapa ciri utama:
Secara substantif, banyak produk hukum di era ini yang justru berkarakter regresif. UU Pemilu mempertahankan presidential threshold yang tinggi yang membatasi kompetisi. Perppu Ormas memperluas kewenangan pemerintah untuk membubarkan organisasi tanpa proses pengadilan yang memadai. Dan yang paling fatal, Perubahan UU KPK dan UU MK justru diarahkan untuk melemahkan lembaga-lembaga pengawasan yang seharusnya menjadi pilar negara hukum.
Di tengah derasnya arus legislasi yang abusif, kondisi Mahkamah Konstitusi sendiri sedang tidak baik-baik saja. Lembaga ini menghadapi kombinasi masalah internal dan tekanan eksternal yang menggerus independensinya.
MK belum sepenuhnya pulih dari luka skandal korupsi yang menjerat dua hakimnya, Akil Mochtar (2013) dan Patrialis Akbar (2017). Kasus-kasus ini menghancurkan citra MK sebagai lembaga yang bersih dan meruntuhkan kepercayaan publik. Upaya perbaikan dari eksternal, seperti usulan pelibatan Komisi Yudisial dalam pengawasan melalui Perppu di era SBY, justru ditolak oleh MK sendiri melalui putusannya, menunjukkan resistensi lembaga terhadap pengawasan dari luar.
Tekanan eksternal paling nyata datang dari Presiden dan DPR melalui revisi UU Mahkamah Konstitusi. Perubahan melalui UU No. 7 Tahun 2020 yang menghilangkan sistem periode dan memperpanjang masa jabatan hakim hingga usia 70 tahun dinilai oleh banyak pengamat sebagai “gratifikasi konstitusi”. Kebijakan ini dianggap sebagai cara untuk “menjinakkan” para hakim yang sedang menjabat, karena memberikan keuntungan perpanjangan masa jabatan.
Selain itu, proses rekrutmen hakim yang tidak transparan dan berubah-ubah di ketiga cabang kekuasaan (Presiden, DPR, MA) membuat objektivitas dan kualitas hakim yang terpilih sering dipertanyakan. Puncaknya adalah insiden pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto oleh DPR pada tahun 2022, sebuah tindakan yang oleh banyak pihak dianggap sebagai intervensi terang-terangan terhadap independensi yudisial.
Dengan kondisi kelembagaan yang rapuh dan di bawah tekanan, bagaimana kinerja MK dalam menguji produk-produk legislasi yang abusif? Analisis terhadap putusan-putusan kunci menunjukkan sebuah pola yang mengkhawatirkan.
Dari 82 putusan terkait UU Pemilu, isu presidential threshold 20% adalah yang paling sering diuji. Secara konsisten, MK menolak semua permohonan dengan dalih bahwa ini adalah kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dan diperlukan untuk penguatan sistem presidensial. Argumen ini, menurut Arizona, secara efektif melanggengkan dominasi partai-partai politik besar dan membuat kontestasi pilpres menjadi tidak kompetitif, menjebak Indonesia dalam sistem oligarki.
Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 terhadap UU Cipta Kerja adalah contoh paling nyata dari ketidaktegasan MK. Meskipun Mahkamah mengakui bahwa pembentukan UU ini cacat secara formil dan bertentangan dengan UUD 1945, amar putusannya dianggap sangat lemah. MK menyatakan UU tersebut “inkonstitusional bersyarat” dan memberikan waktu dua tahun untuk perbaikan, namun anehnya, menyatakan UU tersebut tetap berlaku selama masa perbaikan. Putusan ini gagal memberikan koreksi yang tegas dan justru menciptakan ketidakpastian hukum yang panjang.
Ketika UU No. 19 Tahun 2019 yang secara sistematis melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diuji, MK kembali menunjukkan sikap yang tidak efektif. Mahkamah menolak pengujian formil dan hanya mengabulkan sebagian kecil pengujian materiil. Lebih jauh lagi, ketika para pegawai senior KPK disingkirkan melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang kontroversial, MK menolak permohonan pengujian UU KPK yang menjadi dasar tes tersebut. MK menganggap tindakan pimpinan KPK bukanlah isu konstitusionalitas, dan gagal melihatnya sebagai upaya sistematis untuk menyingkirkan para pegawai berintegritas.
Analisis Yance Arizona menyajikan sebuah kesimpulan yang suram. Di tengah menguatnya politik legislasi yang bersifat abusif di era Presiden Joko Widodo—yang ditopang oleh konsolidasi elit politik dan pengusaha—Mahkamah Konstitusi justru tidak lagi memainkan peranan historisnya sebagai pengawal demokrasi yang efektif.
Mahkamah cenderung membiarkan atau bahkan menjustifikasi legislasi yang problematik tersebut. Perilaku yudisial ini masuk dalam kategori “weak abusive judicial review”, di mana pengadilan tidak lagi berfungsi sebagai pemeriksa (check), melainkan berubah menjadi lembaga pemberi stempel (rubber stamp) yang membenarkan tindakan pemerintah dan DPR dalam merusak sendi-sendendi demokrasi dan negara hukum.
Temuan ini menjadi lonceng peringatan bahwa independensi Mahkamah Konstitusi sedang berada di ujung tanduk. Diperlukan sebuah refleksi mendalam dan upaya serius untuk memahami faktor-faktor internal dan eksternal yang menyebabkan kemunduran peran MK, demi menjaga masa depan negara hukum Indonesia.
Catatan Redaksi: Artikel ini merupakan ulasan dan analisis mendalam yang didasarkan pada artikel jurnal ilmiah berjudul “Legal Policy of President Joko Widodo and the Independence of Constitutional Court“ karya Yance Arizona, yang dipublikasikan dalam Jurnal Konstitusi, Volume 21, Nomor 1, Edisi Maret 2024.
Yance Arizona. “Legal Policy of President Joko Widodo and the Independence of Constitutional Court.” Jurnal Konstitusi, Vol. 21, No. 1 (Maret 2024).
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini