Recommendation
Rekomendasi Buku Hukum Pidana
Opini

Penegakan Hukum Yurisdiksi Negara dalam Tindak Pidana Peretasan

Dini Wininta Sari, S.H.
26
×

Penegakan Hukum Yurisdiksi Negara dalam Tindak Pidana Peretasan

Sebarkan artikel ini
Penegakan Hukum Yurisdiksi Negara dalam Tindak Pidana Peretasan

Literasi Hukum – Artikel ini membahas prinsip-prinsip dalam penentuan yurisdiksi tindak pidana, penegakan hukum, serta kebijakan hukum terhadap pelaksanaan hukum siber.

Tindak Pidana Siber dalam Lingkup Hukum Siber

Kemajuan teknologi membuka peluang kejahatan yang sangat besar. Hal ini terlihat dari banyaknya kasus yang masuk ke pengadilan terkait kejahatan digital. Kasus yang ditangani mencakup penyalahgunaan teknologi seperti internet, hoaks, peretasan, pemalsuan, dan sebagainya. Salah satu penyebab terjadinya cybercrime adalah kebutuhan akan teknologi jaringan komputer yang semakin meningkat. Cybercrime adalah aktivitas ilegal dilakukan di dunia maya dengan perantara komputer atau peralatan elektronik lainnya seperti telepon seluler, telepon pintar dilakukan melalui jaringan elektronik global.

Jonathan Rosenoer membagi ruang lingkup Cyberlaw menjadi : “hak cipta, hak merek, pencemaran nama baik, hate speech atau penistaan, penghinaan, fitnah, peretasan, viruses, illegal access, pengaturan sumber daya internet, keamanan pribadi, kehati-hatian, criminal liability, procedural issues seperti yurisdiksi, pembuktian, penyelidikan, transaksi elektronik, pornografi, pencurian melalui internet, perlindungan konsumen, e-commerce, e-government”.

Problematika Penentuan Yurisdiksi dalam Tindak Pidana Siber

Penentuan yurisdiksi yang tidak pasti dalam ruang siber sebagaimana yang dikemukakan Tien S. Saefullah bahwa: “yurisdiksi suatu negara yang diakui hukum internasional dalam pengertian kovensional, didasarkan pada batas-batas geografis dan waktu sementara komunikasi dan informasi multimedia bersifat internasional, multi yurisdiksi dan tanpa batas-batas geografis, sehingga sampai saat ini belum dapat dipastikan bagaimana yurisdiksi negara dapat diberlakukan terhadap pemanfaatan teknologi informasi”.

Penyelesaian keterkaitan antara yurisdiksi internasional dan nasional, aktivitas lintas batas dan konsekuensi ekstrateritorial, yang membawa baik perorangan maupun badan hukum dalam tanggung jawab hukum menjadi persoalan. Informasi berupa data yang menjadi kunci segala aktivitas di era digital tidak hanya berjalan di ruang virtual, melainkan terhubung dengan penyimpanan fisik yang secara teritorial berada di wilayah hukum suatu negara. Namun, beberapa kendala dalam menentukan yurisdiksi yang tepat dan peraturan hukum yang efektif secara umum harus diingat bahwa informasi disalurkan melalui wilayah beberapa negara bagian. Selain itu, kemampuan teknis untuk mengatur aktivitas di dunia maya terbatas baik secara obyektif maupun subyektif.

Penegakan Hukum Yurisdiksi Kejahatan Peretasan

Kejahatan peretasan diatur dalam Pasal 30 ayat (1), (2), dan (3) UU ITE, yang pada pokoknya menjelaskan bahwa “setiap orang yang mencoba masuk atau mengakses sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum”. Pasal 46 ayat (1), (2), dan (3) UU ITE yang mengatur terkait sanksi pidana atas pelanggaran yang tercantum dalam Pasal 30 tersebut.

Kemudian diatur pula pemberatan penjatuhan pidana terhadap pelaku peretasan sesuai dengan subyek dan obyek kejahatan yakni Pasal 52 ayat (2) UU ITE, yang mana pelaku peretasan dijatuhi pemberatan pidana jika apabila obyeknya ialah sistem elektronik yang dimiliki oleh pemerintah atau yang digunakan untuk pelayanan publik. Pasal 52 ayat (3) UU ITE pemberatan pidana dilakukan jika pelaku peretasan menyerang situs milik pemerintah yang secara langsung berkaitan dengan keamanan maupun stabilitas negara. Penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan peretasan sesuai dengan UU ITE dengan mengedepankan kolaborasi dari aparat penegak hukum meliputi pihak kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

Prinsip-Prinsip dalam Penentuan Yurisdiksi Tindak Pidana

Ada tiga macam yurisdiksi meliputi: “yurisdiksi untuk menetapkan ketentuan hukum pidana, yurisdiksi untuk menerapkan atau melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif, dan yurisdiksi untuk memaksakan ketentuan hukum yang telah dilaksanakan oleh lembaga eksekutif maupun yang sudah diputus oleh peradilan.” Dalam kaitannya dengan penetapan hukum yang berlaku, ada beberapa prinsip yang lazim digunakan, yaitu:

  1. Teritorialitas subyektif, yang menekankan pada sah atau tidaknya suatu undang-undang ditentukan berdasarkan tempat perbuatan itu dilakukan dan penyelesaiannya kejahatan dilakukan di negara lain;
  2. Teritorialitas obyektif, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama dari perbuatan tersebut terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara;
  3. Prinsip kebangsaan, yang menentukan bahwa negara mempunyai yurisdiksi untuk menentukan berdasarkan undang-undang mengenai kewarganegaraan pelaku;
  4. Prinsip kewarganegaraan pasif, yang menekankan yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban;
  5. Prinsip perlindungan yang menyatakan bahwa hukum dapat ditegakkan berdasarkan keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar negara wilayahnya, biasanya digunakan jika korbannya adalah negara atau pemerintah;
  6. Prinsip universalitas, mulanya menetapkan bahwa setiap negara berhak melakukan penangkapan dan menghukum pelaku pembajakan, namun kemudian diperluas hingga mencakup kejahatan terhadap kemanusiaan. Prinsip ini dapat dikembangkan untuk pembajakan internet, seperti komputer, cracking, carding, peretasan dan virus sebagai kejahatan yang sangat serius.

Lingkup Yurisdiksi Universal dalam Tindak Pidana Siber

Yurisdiksi universal mengizinkan negara untuk mengadili kejahatan-kejahatan tertentu meskipun tidak ada kaitannya untuk mencakup kejahatan siber, sehingga penerapannya dapat menyelesaikan masalah yurisdiksi yang terkait dengan dilakukannya kejahatan siber termasuk dimana kejahatan itu terjadi, siapa yang akan menyelidikinya, dan dimana kejahatan itu akan dituntut. Yurisdiksi universal juga disesuaikan dengan sifat transnasional dari kejahatan siber sebagai pelakunya yang menimbulkan kerugian pada korban di lebih dari satu negara. Akan tetapi, masih belum ada kejelasan sejauh mana dampak yurisdiksi universal harus diterapkan pada kejahatan siber.

Prinsip “universal interest jurisdiction” sebagai penentuan yurisdiksi kejahatan siber sejatinya bisa dikaji melalui asas-asas hukum internasional. Terdapat asas teritorial yang mengacu pada keberlakuan peraturan hukum pidana bagi seluruh kejahatan yang terjadi di dalam wilayah negara, baik dilakukan oleh warga negaranya sendiri atau warga asing. Selain itu, ada pula asas personal atau nasionalitas aktif yang berfokus pada keberlakuan hukum pidana bagi segala kejahatan yang dilakukan oleh warga negara, di tempat mana saja dan di luar wilayah negara.

Pengaturan Yurisdiksi Kejahatan Peretasan

Dalam UU ITE, yurisdiksi diatur pada Pasal 2 yang menjelaskan bahwa: “undang-undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia”. Demikian dapat dikatakan bahwa UU ITE menganut prinsip yurisdiksi ekstrateritorial. UU ITE mempunyai jangkauan yurisdiksi yang berlaku pula untuk perbuatan hukum yang dilakukan oleh WNI atau WNA berakibat hukum di Indonesia mengingat pemanfaatan teknologi informasi elektronik dan transaksi elektronik dapat bersifat lintas teritorial atau universal.

Dalam Pasal 22 Convention on Cybercrime 2001 mengatur ketentuan yurisdiksi bersifat teritorial yang menyatakan bahwa: “konvensi ini memiliki yurisdiksi di wilayah negaranya atas kapal yang terdapat bendera negaranya, atas pesawat yang terdaftar atas hukum negaranya, dan warga negaranya yang berada di negara lain namun dapat dihukum oleh hukum negara tersebut”. Apabila terdapat klaim mengenai yurisdiksi, maka harus diadakan konsultasi untuk menentukan yurisdiksi untuk penghukuman. Adanya kepastian dalam proses penyelidikan dan penuntutan pada tingkat internasional dan domestik melalui mekanisme kerjasama internasional. Seperti halnya, suatu negara dapat menerapkan yurisdiksi teritorialnya bila pelaku maupun sistem komputer yang diserang berada di wilayahnya atau bila sistem yang diserang berada di wilayahnya, namun pelaku tidak berada di wilayahnya.

Prinsip Perlindungan dan Quasi Yurisdiksi

Pelaku kejahatan siber seringkali berada di tempat secara fisik yang sama dengan korban, sehingga menjadikan tempat terjadinya kejahatan atau yurisdiksinya mudah ditentukan. Namun di ruang siber, pelaku tindak pidana tidak perlu berada di tempat terjadinya kejahatan yang senyatanya. Dalam hal ini, asas perlindungan mampu diterapkan pula dengan pertimbangan bahwa asas teritorial tidak menyiapkan basis yurisdiksi secara lengkap bahwa kejahatan dilakukan di luar wilayah teritorial negara pelaku. Asas perlindungan hanya diterapkan pada tipe kejahatan khusus dengan mengedepankan pada kegiatan pelaku yang berakibat ancaman serius atas kepentingan nasional.

Yurisdiksi kriminal berlakunya hukum pidana nasional terhadap kejahatan siber dapat diartikan pula menganut quasi yurisdiksi, yaitu menggunakan yurisdiksi teritorial, yurisdiksi ekstra teritorial terhadap kejahatan siber yang dilakukan dalam yurisdiksi negara lain dan ekstra teritorial terhadap kejahatan siber yang dilakukan di luar yurisdiksi negara manapun.

Solusi untuk hal ini adalah meratifikasi satu-satunya konvensi yang mengikat terkait kejahatan dunia maya, seperti Konvensi Dewan Eropa tentang Kejahatan Dunia Maya dengan protokol tambahan kedua terkait peningkatan kerjasama dan pengungkapan bukti elektronik. Konvensi Kejahatan Dunia Maya dan protokol tambahannya tersebut dapat menjadi alat yang memudahkan Indonesia dalam rangka menerapkan yurisdiksi ekstra teritorial untuk mengatasi dan menegakkan hukum terkait kejahatan siber seperti peretasan dalam konteks transnasional.

Kebijakan Hukum terhadap Pelaksanaan Cyberlaw Kejahatan Peretasan di Indonesia

Upaya pemberantasan kejahatan siber melalui strategi tertentu dilaksanakan dengan kebijakan penal mencakup kriminalisasi tindakan pelanggaran dalam peraturan UU ITE, harmonisasi ketentuan hukum nasional dengan hukum internasional dalam memberantas kejahatan siber serta penegakan hukum melalui penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku kejahatan siber. Selain itu, dapat diterapkan pula mengenai kebijakan non penal dalam hal penyusunan kebijakan-kebijakan di luar hukum pidana sebagai strategi preventif kejahatan siber, mengedepankan sosialisasi terkait potensi terjadinya cybercrime, hingga meningkatkan kolaborasi antar penegak hukum maupun dengan sektor swasta dalam rangka membangun security system di dunia siber atau dengan jalan membentuk kerjasama kelembagaan dalam tingkat nasional  hingga internasional.

Ide-ide baru dapat memperjelas kemungkinan solusi dan rekomendasi yang dapat diterapkan untuk memperkuat penegakan hukum siber di Indonesia. Hal ini dapat mencakup pengembangan kebijakan baru yang lebih responsif terhadap perubahan teknologi oleh pemerinta, serta upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang ancaman kejahatan siber.

Upaya Kerja Sama Internasional dalam Memberantas Kejahatan Siber

Kejahatan peretasan juga melibatkan aspek lintas batas yang semakin marak terjadi. Peretas seringkali beroperasi di luar negeri, sehingga penegakan hukum siber di Indonesia juga memerlukan kerja sama internasional yang erat. Kerja sama ini mencakup pertukaran informasi, ekstradisi, dan penanganan kasus peretasan lintas batas yang efektif.

Dalam menghadapi tantangan perubahan dan perkembangan hukum siber di Indonesia, penting untuk memiliki pendekatan yang holistik dan berkelanjutan. Hal ini melibatkan perbaikan berkelanjutan dalam kerangka hukum, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dan kesadaran masyarakat terhadap keamanan siber serta kerja sama yang kuat dengan lembaga internasional. Adanya pendekatan komprehensif tersebut, Indonesia menjadi lebih efektif mengatasi ancaman peretasan dan menjaga keamanan siber negara di tengah perubahan dunia digital yang terjadi.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana dapat dijadikan landasan hukum dan pedoman bagi Indonesia dalam rangka melakukan kerja sama terkait bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan negara lain. Perkembangan kejahatan siber yang semakin kompleks ini membutuhkan penanangan dengan kewajiban menerapkan kerja sama dengan negara yang potensial dijadikan tempat persembunyian atau pelaksanaan kejahatan siber itu sendiri.  Dengan demikian, mampu menjadi salah satu strategi preventif kejahatan siber lintas yurisdiksi dengan penerapan Sistem Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance).

Kesimpulan

Yurisdiksi terhadap kejahatan siber, khususnya dalam kejahatan peretasan diatur dalam Pasal 2 UU ITE yang menerapkan prinsip yurisdiksi ekstra teritorial, sehingga dapat diimplementasikan melalui kerja sama internasional seperti halnya ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, serta kolaborasi antar penegak hukum sektor publik dan swasta yang konsisten dan responsif. Penanganan permasalahan yurisdiksi internasional dan nasional terkait kegiatan lintas batas dan konsekuensi ekstrateritorial, dilaksanakan dengan pendekatan global yang mengedepankan pada gagasan kemungkinan kerangka hukum tunggal di seluruh dunia dan mekanisme peraturan universal, kemungkinan terdapat kerangka hukum tunggal dan bergantung pada mekanisme regional serta berfokus pada sistem hukum nasional yang memberikan keefektifan penanganan atas ancaman digital.

Referensi

  • Adolf, Huala. Aspek-Aspek Hukum Pidana Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
  • Budhijanto, Danrivanto. Hukum Telekomunikasi, Penyiaran, & Teknologi Informasi. Bandung: Refika Aditama, 2010.
  • Bunga, Dewi. “Politik Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Cybercrime.” Jurnal Legislasi 16, no. 1 (2019): 1–15.
  • Butarbutar, Elisabeth Nurhaini. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Refika Aditama, 2018.
  • Hariyono, Akbar Galih, and Frans Simangunsong. “Perlindungan Hukum Korban Pencurian Data Pribadi (Phishing Cybercrime) Dalam Perspektif Kriminologi.” Bureaucracy Journal: Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance 3, no. 1 (2023): 428–39. https://doi.org/10.53363/bureau.v3i1.191.
  • Hartono, Bambang, and Recca Ayu Hapsari. “Mutual Legal Assistance Pada Pemberantasan Cyber Crime Lintas Yurisdiksi Di Indonesia.” Jurnal S 25, no. 1 (2019).
  • Irpan. “Law Enforcement Jurisdiction In Cybercrime.” The 1th Proceeding International Conference And Call Paper Sultan Agung Islamic University 1, no. 1 (2020): 307–17.
  • Khalifa, Abdelmonem Mohamed Magdy. “Overcoming the Conflict of Jurisdiction in Cybercrime.” Master’s Thesis, the American University in Cairo: AUC Knowledge Fountain, 2020. https://fount.aucegypt.edu/etds/846/.
  • Maskun, Achmad, Naswar, Hasbi Assidiq, Armelia Safira, and Siti Nurhalima Lubis. Korelasi Kejahatan Siber Dan Kejahatan Agresi Dalam Perkembangan Hukum Internasional. Makassar: Nas Media Pustaka, 2020.
  • Nugraha, Riko. “Perspektif Hukum Indonesia (Cyberlaw) Penanganan Kasus Cyber Di Indonesia.” Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara 11, no. 2 (2021): 44–56.
  • Putra, Akbar Kurnia. “Analisis Hukum Yurisdiksi Tindak Kejahatan Siber (Cybercrime) Berdasarkan Convention on Cybercrime.” Jurnal Ilmu Hukum 7, no. 1 (2016): 22–54.
  • Rosenoer, Jonathan. Cyberlaw: The Law of Internet. New York: Springger, 1997.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Lemahnya Pemberantasan Pencucian Uang
Opini

Lemahnya kapasitas dan kewenangan PPATK dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang harus menjadi fokus pemerintahan saat ini.