Literasi Hukum – Dalam sejarah pemikiran hukum Islam modern, nama Abdullah Ahmad An-Na’im muncul sebagai salah satu tokoh reformis yang tidak hanya kritis terhadap kerangka hukum Islam klasik, tapi juga menawarkan metodologi pembaruan yang berani. Gagasannya bukan sekadar penyesuaian, melainkan sebuah pembongkaran tradisi untuk menemukan kembali esensi ajaran Islam yang relevan dengan kehidupan kekinian. Artikel ini akan mengupas tuntas kerangka pemikiran An-Na’im dan relevansinya dalam konteks politik hukum nasional.
Membongkar Tradisi: Metodologi Pembaruan Hukum Islam An-Na’im
Meninggalkan Kerangka Historis Menuju Etika Universal Bagi An-Na’im, pembaruan hukum Islam tidak cukup hanya dengan menyisipkan norma modern ke dalam teks lama. Langkah fundamental yang harus diambil adalah meninggalkan kerangka historis fiqh klasik. Ia berpendapat bahwa pendekatan lama terhadap hukum publik Islam akan selalu bertabrakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial di era negara-bangsa modern.
Dalam karyanya yang monumental, Toward an Islamic Reformation (1990), An-Na’im menggarisbawahi bahwa penerapan syariah secara literal dalam sistem hukum negara hanya akan melahirkan kemacetan hukum dan represi terhadap kelompok minoritas serta perempuan.
Di titik inilah An-Na’im banyak terinspirasi dari gurunya, Mahmoud Muhammad Taha, seorang reformis Sudan yang dihukum mati karena pandangan revolusionernya. Taha membedakan dua wajah wahyu dalam Al-Qur’an: ayat-ayat Makkiah yang bersifat etis-universal, dan ayat-ayat Madaniah yang lebih bersifat hukum-kontekstual. Menurut Taha dan An-Na’im, pesan-pesan Makkiah inilah yang seharusnya menjadi fondasi hukum Islam modern karena selaras dengan nilai-nilai keadilan universal.
Jalan Tengah antara Negara Syariah dan Sekularisme Murni
Dalam lanskap politik Islam, An-Na’im menempatkan dirinya di antara dua kutub ekstrem: kelompok revivalis yang menghendaki negara syariah penuh dan kelompok sekularis yang memisahkan total agama dari negara. An-Na’im menolak kedua opsi tersebut.
Baginya, Islam dan negara dapat berdampingan, namun hubungan keduanya harus dibangun di atas prinsip kebebasan, bukan paksaan (koersi). Negara tidak boleh memaksakan syariat sebagai hukum publik jika hal itu mengorbankan hak-hak individu. Syariah, menurutnya, idealnya berfungsi sebagai referensi moral publik, bukan sebagai seperangkat aturan hukum yang mengikat secara paksa. Adopsi prinsip Islam dalam hukum publik harus bersifat sukarela, deliberatif, dan terbuka untuk interpretasi baru.
Lima Pilar Metodologi Pembaruan Hukum Islam
An-Na’im merumuskan lima pendekatan utama sebagai metodologi pembaruan hukum Islam yang dapat diadaptasi dalam konteks modern:
- Takhsisul Qadha Hak penguasa atau lembaga peradilan untuk membatasi atau memodifikasi putusan hukum agar sesuai dengan prinsip keadilan kontemporer. Contohnya adalah penetapan usia minimal pernikahan di Mesir (1931) untuk perlindungan anak atau penggunaan Surat Edaran Mahkamah Agung di Indonesia untuk menyikapi isu tertentu.
- Takhayyur Proses seleksi kritis atas berbagai pendapat yang ada dalam mazhab-mazhab fikih. Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia adalah contoh nyata yang tidak terpaku pada satu mazhab, melainkan memadukan pandangan Syafi’i, Hanafi, dan lainnya untuk mencapai kemaslahatan praktis.
- Penafsiran Ulang Teks (Reinterpretasi) Memahami teks-teks suci dengan mempertimbangkan konteks sosial-historisnya. Di Tunisia (1956), perceraian hanya dianggap sah jika melalui putusan pengadilan. Di Indonesia, isu seperti ahli waris pengganti dan syarat izin poligami adalah buah dari penafsiran ulang yang kontekstual.
- Siyasah Syar’iyyah Kewenangan negara untuk menerapkan kebijakan administratif demi kemaslahatan umum, selama tidak bertentangan secara frontal dengan prinsip syariat. Contoh klasiknya adalah kewajiban pencatatan perkawinan di Indonesia atau regulasi hak anak dan istri pasca-cerai di Suriah.
- Mengakomodasi Tradisi Hukum Adat Memberi ruang bagi nilai-nilai lokal dan konteks budaya setempat untuk berdialog dengan hukum Islam. Ini memungkinkan hukum Islam untuk hidup dan menyatu dalam masyarakat yang plural tanpa kehilangan prinsip dasarnya.
Relevansi Gagasan An-Na’im dalam Politik Hukum Nasional
Dalam konteks politik hukum, gagasan Abdullah An-Na’im menawarkan fondasi teoretis bagi lahirnya sistem hukum nasional yang tidak memonopoli tafsir agama, namun tetap memberi ruang bagi nilai-nilai Islam untuk berperan dalam kehidupan publik. Ia tidak menawarkan syariah sebagai hukum negara, tetapi juga tidak menihilkan peran agama dalam ruang publik.
Syariah sebagai Etika Publik, Bukan Hukum Positif Negara
Bagi An-Na’im, negara idealnya bersifat netral, namun warganya bebas mengekspresikan moralitas keagamaannya. Prinsip-prinsip etis Islam dapat diterjemahkan ke dalam hukum melalui mekanisme demokratis, bukan pemaksaan. Di Indonesia, pendekatan ini tecermin dalam produk hukum seperti UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang bersifat administratif, hingga berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengedepankan keadilan substantif.
Mendorong Demokratisasi Produksi Hukum Islam
An-Na’im mengkritik produksi hukum Islam yang didominasi oleh otoritas keagamaan tunggal. Ia mendorong proses legislasi dibuka secara demokratis, memungkinkan partisipasi publik yang lebih luas, termasuk dari kelompok perempuan, minoritas, dan intelektual non-klasik. Ini sejalan dengan prinsip non-koersivitas hukum agama dan pencarian keadilan prosedural yang sejati.
Ijtihad dan Kontekstualisasi: Napas Pembaruan Hukum Islam di Indonesia
An-Na’im, sejalan dengan Mahmoud Taha dan John Voll, meyakini bahwa ijtihad adalah satu-satunya cara agar hukum Islam tidak membatu dan menjadi usang. Ia mengkritik keras praktik taqlid (mengikuti secara buta) dan menekankan bahwa reformasi hukum harus berakar dari penalaran kritis terhadap realitas kontemporer. Hukum tidak bisa hidup dalam ruang vakum; ia harus bergerak dan menjawab problem riil masyarakat.
Indonesia sebagai Laboratorium Gagasan An-Na’im
Tanpa harus merujuk namanya secara eksplisit, Indonesia dapat dilihat sebagai laboratorium praktik dari gagasan An-Na’im. Melalui produk seperti Kompilasi Hukum Islam, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, dan putusan-putusan progresif Mahkamah Konstitusi, kita menyaksikan proses seleksi, reinterpretasi, dan perumusan ulang hukum Islam yang berpihak pada keadilan substantif. Nilai-nilai moral Islam pun tetap hidup dalam hukum nasional, bukan melalui simbol formal, melainkan melalui semangat keadilan restoratif, perlindungan kelompok rentan, dan prinsip kemaslahatan umum.