Abstrak
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan untuk mencegah dominasi satu lembaga dalam pemerintahan. Sistem check and balance dimaksudkan untuk menciptakan stabilitas melalui pengawasan antar lembaga. Namun, dalam praktiknya, seringkali muncul ketegangan antar lembaga negara yang disebabkan lemahnya implementasi prinsip tersebut. Artikel ini bertujuan mengevaluasi efektivitas penerapan mekanisme check and balance serta menganalisis tantangan dan hambatan dalam pelaksanaannya. Melalui kajian normatif dan studi kasus, ditemukan bahwa dominasi politik dan lemahnya independensi lembaga turut memperburuk ketegangan. Reformasi kelembagaan dan penguatan pengawasan menjadi kunci menuju pemerintahan yang stabil dan demokratis.
Kata kunci: Check and balance, pemisahan kekuasaan, lembaga negara, politik, Indonesia
Abstract
The Unitary State of the Republic of Indonesia, as a state based on the rule of law, implements the principle of separation of powers to prevent the domination of a single institution in governance. The check and balance mechanism is intended to promote stability through inter-institutional oversight. However, in practice, tensions frequently arise among state institutions due to weak implementation of this principle. This article aims to evaluate the effectiveness of the check and balance system and analyze its challenges and obstacles. Through a normative approach and case studies, it is found that political dominance and weak institutional independence exacerbate such tensions. Institutional reform and strengthened oversight are key to achieving stable and democratic governance.
Keywords: Check and balance, separation of powers, state institutions, politics, Indonesia
Pendahuluan
Sebagai negara hukum, Indonesia menganut sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip Trias Politica Montesquieu yang memisahkan kekuasaan menjadi tiga cabang utama: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sistem ini bertujuan mencegah kekuasaan absolut dan memastikan pengawasan antar lembaga. Salah satu hasil reformasi 1998 adalah penguatan sistem check and balance antar lembaga negara agar tidak terjadi dominasi kekuasaan oleh satu pihak.
Namun, meski secara normatif mekanisme ini telah diatur, implementasinya masih menghadapi berbagai hambatan. Ketegangan antar lembaga negara menjadi bukti lemahnya pelaksanaan sistem ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi terhadap efektivitas mekanisme tersebut serta penyebab utama kegagalannya.
Metode Penelitian
Artikel ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif dengan metode studi literatur dan studi kasus untuk menelaah bagaimana prinsip check and balance diterapkan di Indonesia. Data diperoleh dari peraturan perundang-undangan, literatur hukum, serta dokumentasi kasus ketegangan antar lembaga negara.
Pembahasan
- KONSEP PENERAPAN CHECK AND BALANCE DI INDONESIA
Montesquieu dalam teori Trias Politica, memaparkan bahwa lembaga negara menjadi tiga bagian yaitu Eksekutif sebagai lembaga penyelenggara pemerintahan dan menjalankan Undang-Undang, ada lembaga Legislatif yang memiliki wewenang untuk membentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) dan membuatnya sah menjadi Undang-Undang (UU), Selanjutnya ada lembaga Yudikatif yang berhak menjalakan kekuasaan kehakiman, dalam hal mengadili sebuah perkara dan sebagai penegak hukum.
Pembagian kekuasaan tersebut disebutkan oleh Montesquieu bertujuan agar tidak terjadi nya kekuasaan yang absolut dan menghindari dari kelebihan kekuasaan yang melapaui batasanya (Over Power) dan tentunya juga menghindari dari supremasi kekuasaan atas satu lembaga, hal ini diperkuat dengan pandangan Friedrich Julius Stahl
“In einem Rechtsstaat muss die Macht des Staates durch die Gesetze begrenzt werden, und keine Einzelne Gewalt darf die Macht des Staates auf sich vereinigen.”
“(Dalam negara hukum, kekuasaan negara harus dibatasi oleh hukum, dan tidak ada satu kekuasaan pun yang boleh menyatukan seluruh kekuasaan negara dalam tangannya.)”
Jimly Asshidiqie mengatakan bahwa fungsi utama asas check and balance diperutukan untuk mengontrol kekuasaan secara menyeluruh sehingga penyalah gunaan kekuasaan dapat dihindarkan dan para pemeganga kekuasaan dapat bekerja sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) secara efektif.
Dalam penerapan sistem pemisahan kekuasaan (Seperation Of Power) di Indonesia menggunakan prinsip Trias Politica buatan Montesquieu yang mana pada implementasinya mengalami penyusuaian. Pada lembaga Eksekutif kekuasaanya dipegang oleh Presiden yang memiliki wewenang sebagai penyelenggara pemerintahan, dan terdapat hak-hak yang dimiliki Presiden, seperti hak menyatakan perang, dan hak mengangkat menteri. Pada lembaga Legislatif diberi kekusaannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang berwenang dalam merancang dan mengesahkan Undang-Undang, menjalankan fungsi anggaran, pengawasan, serta memiliki hak berpendapat, hak interpeleasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
Untuk lembaga Yudikatif yang berkuasa atas kehakiman diberikan kepada Mahkamah Agung (MA) dan Mahkmah Konstitusi (MK), MA memiliki wewenang untuk melakukan peradilan tingkat kasasi, melakukan uji banding dari Undang Undang (UU) dengan Undang-Undang (UU) yang lebih tinggi serta kuat secara hukum, sedangkan MK memiliki wewenang1 untuk menyelesaikan sengketa perselisihan pemilu, melakukan Yudicial Review Undang-Undang (UU) ke Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Dalam menjamin keterstabilan pemerintahan ditengah pembagian kekuasaan, maka diperlukan mekanisme check and balance untuk menjaga dari kekuasaan yang tidak terkontrol dengan baik sehingga kekuasaan yang absolut yang dimiliki suatu lembaga dapat dihindari, pada penerapan mekanisme check and balance lembaga-lembaga negara dapat berwenang saling mengawasi dan saling memberi evaluasi jika ada kekurangan dalam kekuasaanya sehingga kestabilan pemerintah dapat terjaga dan tidak ada lembaga yang terlalu berkuasa.
- EVALUASI DAN TANTANGAN PENERAPAN CHECK AND BALANCE DI INDONESIA
Dalam implementasinya, mekanisme check and balance mengalami berbagai rintangan yang cukup kompleks, sehingga terjadi keteganggan antar lembaga negara, yang mana ketegangan ini terjadi karena kurang maksimal penerapan check and balance setiap lembaga.
- Kasus-kasus ketegangan antar lembaga negara akibat kurang berjalanya check and balance di Indonesia.
- Ketegangan Pada RUU Omnibus Law (Cipta Kerja). Terjadi ketegangan antara Presiden Joko Widodo sebagai lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif yaitu DPR, yang mana Presiden menginginkan sebuah perubahan dan perbaikan di sektor ekonomi yang cepat sedangkan DPR memiliki pandangan yang berbeda dalam menyikapinya.
- Putusan Mahkamah Konstitusi yang menghentikan kebijakan Presiden. Perseturuan juga terjadi antara Presiden dengan Mahkamah Konstitusi dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menghentikan kebijakan Presiden, contohnya pada tahun 2014 yang mana Mahkamah konstitusi membatalkan Undang-Undang Pilkada yang mana pada saat itu Presiden dan DPR mengiginkan bahwa Pilkada dapat melalui DPRD, menurut Keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-Undang tersebut tidak sah dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 keputusan tersebut berasal dari kebijakan Yudicial Review yang mana seharusnya pemilihan harus secara langsung oleh rakyat.
Dalam pemaparan kasus ketegangan antar lembaga tersebut dapat diketahui bahwa dengan kurang terjalankannya mekanisme check and balance dapat menimbulkan polemik ditengah pemerintahan. Perlu diketahui juga banyak evaluasi dalam penerapan prinsip check and balance dan faktor-faktor yang membuat kurang berjalannya check and balance seperti;
- Kurang maksimalnya check and balance akibat kepentingan politik
Terjadi dinamika politik di Indonesia yang disebabkan kepentingan golongan, yang mana pihak eksekutif seluruhnya didominasi dan dipengaruhi oleh partai politik sehingga tidak dapat dipungkiri dapat terjadi interpensi terhadapat suatu kebijakan dengan tujuan kepentingan pribadi. DPR dalam menjalankanfungsi pengawasannya dinilai kurang dalam mengawasi lembaga eksekutif yang disebabkan kekuatan partai politik yang sedang berkuasa, sehingga terdapat celah antara lembaga eksekutif dan legislatif untuk melakukan kolusi untuk mempermulus kepentingan mereka, seperti pada Pemilu 2024 partai kemenangan jatuh kepada koalisi Indonesia Maju (KIM) yang berhasil membawa kadernya menjadi Presiden, dan disusul juga dengan peraihan kursi di DPR sebanyak 80% kursi, dengan begitu dapat diketahui terdapat celah kesempatan yang luas untuk melakukan segala suatu demi mengamankan kepentingan.
- Lemahnya peran pengawasan oleh lembaga legislatif dan yudikatif
DPR memiliki fungsi pengawasan akan tetapi sering sekali di anggap lemah dalam menjalankan tugasnya begitu juga dengan Mahkamah Konstitusi yang kesulitan dalam menjaga indepedensinya akibat dari tekanan politik, serta dinimika yang ada, di Tengah berjalanya pemerintahan. Indonesia adalah negara yang berpegang teguh dengan Undang-Undang 1945 sebagai hukum utamanya. Maka dari itu, evaluasi dan saran sangat penting untuk memperbaiki mekanisme sistem pemisahan kekuasaan (Separation Of Power) di negara ini saat mengatasi masalah penerapannya di pemerintahan. Mekanisme Check and Balance adalah alat mekanisme penyeimbang antara lembaga kekuasaan negara, yang mana mekanisme tersbut menjadi alur kinerja dalam penyelengaraan negara sesuai yang dikatakan Robert Weissberg:
“A principle related to distribution of powers is the doctrine of checks and balances. Whereas distribution of powers devides governmental power among different officials, checks and balances gives each official some powers over the others”
Untuk meningkatkan kinerja mekanisme check and balance ada beberapa hal yang dapat dilakukan seperti, menguatkan indepedensi lembaga negara seperti DPR yang memiliki fungsi pengawasan, membatasi kekuasaan eksekutif yang penuh akan dinamika kepentingan partai politik, dan tentunya meningkatkan trasparansi dan akutanbilitas setiap negara. Pada penerapan check and balance dapat terjadi dengan maksimal jika terwujudnya lembaga yang menjaga independensi dan meningkatkan pengawasan setiap lembaga, dan dengan mewujudkan hal tersebut dapat diharapak ketegangan antar lembaga dapat dihindari dan tidak adanya kekuasaan yang absolut.
Analisis dan Implikasi
Evaluasi menunjukkan bahwa sistem check and balance memerlukan pembenahan struktural dan kultural. Penguatan peran DPR dan independensi MK sangat krusial untuk menjaga keseimbangan kekuasaan. Transparansi, profesionalisme, dan keterlibatan masyarakat sipil juga perlu ditingkatkan. Dengan demikian, ketegangan antar lembaga dapat diminimalisir dan stabilitas pemerintahan dapat ditingkatkan.
Kesimpulan
Penerapan prinsip check and balance di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Dominasi politik, lemahnya independensi lembaga, dan kurangnya pengawasan efektif menjadi kendala utama. Reformasi struktural dan peningkatan transparansi kelembagaan menjadi langkah penting untuk memperkuat prinsip ini. Hanya dengan mekanisme pengawasan yang kuat dan independen, ketegangan antar lembaga negara dapat dikurangi, sehingga tercipta tata kelola pemerintahan yang demokratis dan stabil.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, J. (2010). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Sinar Grafika.
Friedrich, C. J. (1955). Die Philosophie des Rechts in Historischer Perspektive. Springer.
Mahfud MD. (2000). Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Universitas Negeri Malang.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.