Literasi Hukum – Publik digemparkan oleh insiden tragis saat aksi demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR. Seorang driver ojek online yang ikut aksi menjadi korban tabrakan mobil polisi. Video dan foto peristiwa itu cepat beredar, menimbulkan kemarahan dan pertanyaan mendasar apakah ini sekadar kecelakaan lalu lintas, atau cermin retaknya hubungan antara rakyat dan negara?
Insiden tersebut tidak bisa dipandang sebagai peristiwa biasa. Ia menyentuh dua ranah penting yaitu hukum dan rasa keadilan. Hukum berbicara tentang pasal-pasal, aturan, dan prosedur. Sedangkan rasa keadilan berbicara tentang nurani publik, tentang bagaimana negara memperlakukan warganya dengan hormat dan adil.
Dalam kerangka hukum positif Indonesia, jelas bahwa setiap orang yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas dapat dipidana. Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 menyebutkan ancaman penjara mulai dari satu tahun hingga enam tahun, bergantung pada akibat yang ditimbulkan. Artinya, polisi yang mengemudikan mobil tetap tunduk pada aturan tersebut. Status sebagai aparat tidak bisa menjadi alasan pengecualian.
Lebih jauh, polisi bukan sekadar pengendara biasa. Mereka adalah aparat negara, simbol hukum, dan pengayom masyarakat. Karena itu, standar tanggung jawab mereka seharusnya lebih tinggi. Ketika terjadi pelanggaran, pertanggungjawaban tidak berhenti pada individu, tetapi juga melekat pada institusi. Negara tidak bisa sekadar menyebutnya kecelakaan, lalu lepas tangan.
Dalam konteks hukum tata negara, terdapat prinsip state responsibility yaitu negara bertanggung jawab melindungi hak dasar warganya, termasuk hak hidup dan rasa aman. Maka, ketika seorang parat negara justru melukai rakyat, itu berarti negara telah gagal menjalankan kewajibannya.
Namun hukum saja tidak cukup. Yang lebih berat adalah luka pada rasa keadilan masyarakat. Selama ini publik sering melihat hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Seorang pencuri kecil bisa dihukum berat, sementara pelanggaran aparat atau pejabat kerap berakhir dengan impunitas. Insiden tertabraknya driver ojol ini segera menjadi simbol ketimpangan itu.
Masyarakat menuntut bukan hanya proses hukum, tetapi juga sikap moral. Apakah aparat dan institusi kepolisian berani minta maaf secara terbuka? Apakah keluarga korban mendapatkan kompensasi dan perlindungan? Apakah prosedur pengamanan aksi akan diperbaiki agar kasus serupa tidak terulang?
Di sinilah konsep restorative justice menjadi penting. Keadilan tidak hanya berarti menghukum pelaku, tetapi juga memulihkan korban, keluarga, dan masyarakat. Restorasi ini tidak bisa berhenti pada kompensasi materi, melainkan juga pada pengakuan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap hak rakyat.
Lebih jauh, insiden ini juga melukai demokrasi. Demonstrasi adalah hak konstitusional, dijamin Pasal 28E UUD 1945. Ketika seorang demonstran justru menjadi korban dari aparat yang seharusnya melindungi, publik merasa bukan hanya suaranya yang diabaikan, tetapi juga tubuhnya yang tidak aman di ruang demokrasi. Ini berbahaya, karena demokrasi hanya bisa hidup jika rakyat merasa aman menyuarakan pendapatnya.
Pertanyaannya kini, bagaimana hukum harus bekerja agar rasa keadilan tidak kembali terlukai? Dari sisi hukum, peristiwa tertabraknya demonstran oleh mobil polisi jelas tidak boleh dipandang sebagai insiden biasa. Aparat yang terlibat tetap tunduk pada aturan yang sama sebagaimana warga sipil, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas serta ketentuan pidana dalam KUHP. Prinsip kesetaraan di depan hukum (equality before the law) harus benar-benar dijalankan. Namun, sekadar memproses kasus di pengadilan tidak cukup untuk memulihkan luka masyarakat. Rasa keadilan lahir ketika hukum ditegakkan secara transparan, adil, dan bebas dari intervensi. Publik perlu melihat bahwa proses hukum berjalan terbuka, bukan diselubungi dalih “kecelakaan biasa” yang menutupi kelalaian aparat.
Di sinilah letak krusialnya, hukum bukan hanya deretan pasal, melainkan janji negara untuk melindungi rakyat. Jika janji itu gagal ditegakkan, maka rasa keadilan masyarakat akan runtuh dan begitu rasa keadilan itu hilang, kepercayaan rakyat terhadap hukum pun ikut goyah.
Insiden tertabraknya driver ojek online di depan DPR/MPR buka sekadar kecelakaan lalu lintas. Ia adalah simbol dari hubungan timpang antara rakyat dan negara. Dari sisi hukum, kasus ini wajib diproses secara adil dan transparan. Dari sisi keadilan, negara harus hadir memulihkan luka, bukan hanya pada korban dan keluarganya, tetapi juga pada masyarakat yang menyaksikan. Jika hukum hanya berhenti di atas kertas sementara rasa keadilan diabaikan, maka demokrasi akan terus pincang. Negara harus belajar bahwa di balik setiap demonstrasi ada suara rakyat, dan di balik setiap korban ada keadilan yang menuntut untuk ditegakkan. Pada akhirnya, hukum bukan sekadar pasal-pasal, melainkan janji negara untuk melindungi warganya. Dan rasa keadilan bukan sekadar retorika, melainkan nyawa dari demokrasi itu sendiri.
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini