Literasi Hukum – Benarkah Indonesia negara Demokrasi Pancasila? Artikel ini mengupas idealita, realita, tantangan, dan masa depan demokrasi Indonesia pasca-Pemilu 2024.
1. Pendahuluan: Demokrasi Pancasila di Persimpangan Jalan?
Sebuah pertanyaan fundamental menggema dalam ruang publik dan diskursus akademis Indonesia kontemporer: “Apakah Indonesia Saat Ini Benar-benar Negara Demokrasi Pancasila?” Pertanyaan ini bukan sekadar permainan kata, melainkan refleksi mendalam atas kegelisahan kolektif mengenai arah dan kualitas demokrasi bangsa, terutama pasca Pemilihan Umum 2024 dan di tengah berbagai tantangan sosial-politik yang kompleks. Urgensi pertanyaan ini semakin terasa mengingat adanya berbagai indikasi potensi pergeseran, atau bahkan kemunduran, dari nilai-nilai ideal yang terkandung dalam Demokrasi Pancasila. Berbagai temuan mengenai penurunan indeks demokrasi 1, pelemahan institusi-institusi krusial 2, serta menguatnya cengkeraman oligarki 3 menjadi latar belakang yang memperkuat relevansi pertanyaan ini.
Artikel ini bertujuan untuk membedah pertanyaan tersebut secara kritis. Upaya ini dilakukan dengan menilik kembali esensi dan pilar-pilar fundamental Demokrasi Pancasila, membandingkannya dengan praktik dan realitas yang terjadi di lapangan, mengidentifikasi tantangan-tantangan signifikan yang dihadapi, serta merenungkan implikasi dari kondisi saat ini bagi masa depan Indonesia. Persoalannya bukan hanya sebatas label atau status formal negara, melainkan menyentuh kualitas dan substansi demokrasi yang dijalankan. Sekadar menyelenggarakan prosedur-prosedur demokrasi, seperti pemilihan umum, tidak secara otomatis menjadikan sebuah negara sepenuhnya demokratis sesuai dengan jiwa dan nilai-nilai Pancasila. Demokrasi Pancasila, sebagaimana akan diuraikan, memiliki karakteristik khas seperti gotong royong dan musyawarah mufakat yang melampaui mekanisme voting semata.4 Apabila praktik di lapangan menunjukkan defisit pada ciri-ciri khas ini, maka pertanyaan mengenai “kebenaran” Demokrasi Pancasila menjadi sangat valid dan mendesak untuk dijawab.
Lebih jauh, kegelisahan yang melatari pertanyaan ini kemungkinan besar mencerminkan adanya jurang yang semakin melebar antara das Sollen (apa yang seharusnya) dari Demokrasi Pancasila dengan das Sein (apa yang senyatanya terjadi) dalam praktik politik dan ketatanegaraan Indonesia. Di satu sisi, terdapat idealita Demokrasi Pancasila yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, dan keadilan sosial.4 Namun, di sisi lain, berbagai data dan analisis menunjukkan adanya deviasi signifikan dari idealita tersebut.1 Jurang inilah yang menjadi inti dari persoalan yang akan diulas dalam artikel ini.
2. Memahami Demokrasi Pancasila: Lebih dari Sekadar Slogan
Untuk dapat menilai kondisi demokrasi Indonesia saat ini secara objektif, pemahaman yang komprehensif mengenai pilar-pilar fundamental dan karakteristik unik Demokrasi Pancasila menjadi sebuah keniscayaan. Demokrasi Pancasila bukanlah sekadar slogan politik, melainkan sebuah sistem nilai dan praktik bernegara yang memiliki landasan filosofis dan prinsip operasional yang jelas.
Prinsip-prinsip kunci yang mendasari Demokrasi Pancasila meliputi:
- Kedaulatan Rakyat: Prinsip utama ini menegaskan bahwa kekuasaan politik tertinggi berada di tangan rakyat. Kedaulatan ini diwujudkan melalui proses pemilihan umum yang demokratis, di mana rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpin mereka dan berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan politik.4 Partisipasi ini tidak hanya terbatas pada saat pemilu, tetapi juga mencakup keterlibatan dalam mekanisme partisipasi publik lainnya.
- Musyawarah Mufakat: Salah satu ciri khas Demokrasi Pancasila adalah pengutamaan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam pengambilan keputusan.4 Pendekatan ini menekankan dialog, diskusi, dan pencarian konsensus, berbeda dengan sistem demokrasi liberal yang seringkali mengandalkan mekanisme voting dan dominasi mayoritas.6
- Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia: Demokrasi Pancasila bertujuan untuk menciptakan kesempatan dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali.4 Aspek ini mencakup keadilan dalam bidang ekonomi, sosial, dan hukum.
- Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM): Penghormatan terhadap martabat dan hak-hak dasar setiap individu merupakan elemen penting. Ini mencakup hak atas kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, hak untuk berorganisasi, dan hak untuk beragama, yang semuanya harus dihormati dan dilindungi oleh negara.4
- Persatuan Indonesia: Demokrasi Pancasila menekankan pentingnya membangun dan memelihara persatuan dan kesatuan dalam masyarakat yang beragam, menghargai keberagaman sosial, budaya, dan agama, serta mengupayakan harmoni dan toleransi antarwarga negara.4
- Landasan Moral-Spiritual dan Kemanusiaan: Nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menjadi fondasi moral dan etika dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan bermasyarakat.4
- Checks and Balances (Keseimbangan Kekuasaan): Sistem ketatanegaraan dalam Demokrasi Pancasila menjunjung tinggi prinsip pembagian kekuasaan antara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tujuannya adalah untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan menghindari konsentrasi kekuasaan yang berlebihan pada satu lembaga.4
Perbedaan antara Demokrasi Pancasila dengan Demokrasi Liberal cukup fundamental. Demokrasi Pancasila berusaha mencari keseimbangan antara hak-hak individu dengan kepentingan bersama atau kepentingan negara, serta mengedepankan musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan. Sebaliknya, Demokrasi Liberal cenderung lebih menekankan pada kebebasan individu dan pengambilan keputusan berdasarkan suara mayoritas.6 Dari segi tujuan, Demokrasi Pancasila berorientasi pada pencapaian keadilan sosial dan kesejahteraan bersama, sementara Demokrasi Liberal lebih fokus pada perlindungan kebebasan individu.6
Untuk memperjelas perbedaan ini, tabel berikut menyajikan perbandingan prinsip kunci antara kedua sistem demokrasi tersebut:
Tabel 1: Perbandingan Prinsip Kunci Demokrasi Pancasila vs. Demokrasi Liberal
Aspek | Demokrasi Pancasila | Demokrasi Liberal |
Dasar Filosofis | Pancasila (kelima sila) 4 | Liberalisme, individualisme 6 |
Fokus Utama | Keseimbangan hak individu dan kepentingan bersama/negara, keharmonisan sosial 4 | Kebebasan individu, hak-hak sipil dan politik 6 |
Proses Pengambilan Keputusan | Mengutamakan musyawarah mufakat untuk mencapai konsensus 4 | Voting, keputusan mayoritas, adanya oposisi formal 6 |
Tujuan Negara | Keadilan sosial bagi seluruh rakyat, kesejahteraan bersama, persatuan nasional 4 | Perlindungan hak dan kebebasan individu, pembatasan kekuasaan negara 6 |
Peran Individu vs. Masyarakat | Individu sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat, penekanan pada tanggung jawab sosial dan gotong royong 4 | Individu sebagai unit utama, penekanan pada otonomi dan hak-hak individu 6 |
Kekuasaan Negara | Berdasarkan hukum (konstitusional), ada pembagian kekuasaan (checks and balances) 4 | Dibatasi oleh konstitusi dan hukum, pemisahan kekuasaan yang tegas 7 |
Keunikan Demokrasi Pancasila sejatinya terletak pada upayanya untuk mengintegrasikan nilai-nilai demokrasi universal, seperti kedaulatan rakyat dan perlindungan HAM, dengan nilai-nilai luhur yang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, seperti musyawarah, gotong royong, dan keadilan sosial.4 Tantangan terbesar adalah bagaimana integrasi ideal ini dapat diterjemahkan secara konsisten dan substantif dalam praktik ketatanegaraan sehari-hari. Ada kekhawatiran bahwa dalam praktiknya, nilai-nilai khas Indonesia tersebut terkadang dapat disalahgunakan untuk menjustifikasi pembatasan terhadap nilai-nilai universal atas nama “kepentingan bersama” atau “stabilitas nasional”, padahal seharusnya nilai khas tersebut memperkuat implementasi nilai universal.
Meskipun Demokrasi Pancasila sangat menekankan pentingnya musyawarah mufakat, implementasi mekanisme checks and balances yang efektif tetaplah krusial.4 Tanpa adanya sistem pengawasan dan keseimbangan kekuasaan yang kuat antar lembaga negara, proses musyawarah itu sendiri berpotensi dimanipulasi oleh kelompok-kelompok dominan atau elit politik. Akibatnya, keputusan yang dihasilkan mungkin tidak lagi mencerminkan kehendak rakyat yang sesungguhnya, melainkan hanya melegitimasi kepentingan segelintir pihak. Jika lembaga-lembaga yang seharusnya saling mengawasi justru lemah, terkooptasi, atau integritasnya diragukan, maka prinsip musyawarah bisa menjadi sekadar formalitas belaka.
3. Era Reformasi: Asa dan Upaya Mewujudkan Demokrasi Pancasila
Era Reformasi yang dimulai pada akhir tahun 1990-an menandai sebuah titik balik krusial dalam sejarah perjalanan demokrasi di Indonesia. Setelah puluhan tahun berada di bawah rezim Orde Baru yang cenderung otoriter, masyarakat Indonesia menyambut fajar baru dengan harapan besar akan terwujudnya sebuah tatanan pemerintahan yang lebih demokratis, transparan, dan berkeadilan sosial.8 Momentum ini menjadi sangat penting bagi upaya revitalisasi dan reimplementasi Demokrasi Pancasila, yang selama Orde Baru seringkali dipersepsikan hanya sebagai instrumen kontrol politik dan nilai-nilainya cenderung dipaksakan secara sepihak tanpa ruang untuk diskusi atau kritik.8
Semangat Reformasi 1998 membawa gelombang perubahan signifikan. Ada upaya sungguh-sungguh untuk mengembalikan Pancasila pada fungsi sejatinya sebagai ideologi terbuka yang mempersatukan bangsa, bukan sebagai alat politik yang membungkam aspirasi masyarakat.8 Salah satu fokus utama adalah penguatan hak asasi manusia, termasuk kebebasan berpendapat dan berorganisasi, yang sebelumnya terkekang.9 Langkah monumental lainnya adalah dilakukannya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, yang bertujuan untuk memperkuat sistem checks and balances antar lembaga negara, membatasi kekuasaan presiden, dan memberikan landasan konstitusional yang lebih kokoh bagi praktik demokrasi.5
Pencapaian awal di era Reformasi cukup menjanjikan. Pemilihan umum mulai dilaksanakan secara lebih langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.5 Ruang kebebasan pers semakin terbuka, memungkinkan media massa untuk menjalankan fungsi kontrol sosialnya dengan lebih leluasa.5 Namun, di tengah euforia kebebasan tersebut, proses konsolidasi demokrasi ternyata tidak berjalan mulus dan terus dihadapkan pada berbagai tantangan kompleks.5 Muncul kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa setiap kebijakan dan keputusan negara tetap berlandaskan pada nilai-nilai luhur Pancasila, di tengah derasnya arus perubahan politik dan sosial.8
Era Reformasi, dengan demikian, telah membuka ruang bagi Demokrasi Pancasila untuk “bernapas” lebih lega dan diimplementasikan secara lebih otentik. Namun, periode ini juga mewarisi dan bahkan memunculkan tantangan-tantangan baru yang menguji ketahanan dan relevansi Demokrasi Pancasila itu sendiri. Ada semacam “bulan madu demokrasi” yang kemudian harus berhadapan dengan realitas politik yang rumit, di mana berbagai kepentingan mulai bermain dan menguji komitmen para elit terhadap agenda reformasi.
Kegagalan rezim Orde Baru dalam mempraktikkan Demokrasi Pancasila secara substantif, di mana kekuasaan terpusat pada figur presiden dan kebebasan berpendapat serta kebebasan pers mengalami pembatasan berat 5, seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi era Reformasi. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah pelajaran sejarah ini telah sepenuhnya dihayati dan diimplementasikan dalam praktik ketatanegaraan pasca-Orde Baru? Ataukah ada kecenderungan kembalinya pola-pola lama dalam bentuk dan manifestasi yang baru? Jika di era sekarang muncul kembali gejala-gejala seperti pelemahan terhadap kritik, konsentrasi kekuasaan pada kelompok tertentu, atau penggunaan instrumen hukum untuk membungkam suara-suara yang berbeda, hal ini menandakan adanya risiko pengulangan sejarah, meskipun dalam konteks dan dinamika yang berbeda.
4. Potret Buram Demokrasi Kita: Realitas di Lapangan
Setelah lebih dari dua dekade Reformasi bergulir, potret demokrasi Indonesia saat ini menunjukkan gambaran yang kompleks, dengan berbagai kemajuan namun juga diwarnai oleh tantangan dan defisit yang signifikan jika dibandingkan dengan idealita Demokrasi Pancasila.
Suara Rakyat, Suara Siapa? Evaluasi Pemilu dan Integritas Elektoral
Kedaulatan rakyat, yang merupakan prinsip utama Demokrasi Pancasila, salah satunya diwujudkan melalui pemilihan umum.4 Namun, penyelenggaraan Pemilu 2024, meskipun telah terlaksana, masih menyisakan sejumlah catatan penting terkait integritas penyelenggaraannya.10 Kurangnya integritas dalam pemilu dapat berakibat fatal, karena berpotensi mengurangi kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga politik, partai, parlemen, dan bahkan memicu protes serta kekerasan.10 Komisi II DPR RI pun telah menekankan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap penyelenggara pemilu untuk perbaikan ke depan.11
Salah satu persoalan kronis yang menggerogoti kualitas pemilu dan kedaulatan rakyat adalah praktik politik uang dan tingginya biaya politik. Mahalnya ongkos untuk berpartisipasi dalam kontestasi elektoral membuka pintu lebar bagi dominasi oligarki, di mana suara rakyat yang seharusnya menjadi penentu utama, justru terdegradasi oleh kekuatan modal segelintir individu atau kelompok.3 Akibatnya, prinsip kedaulatan rakyat yang sesungguhnya menjadi terancam. Meskipun partisipasi publik dalam pemilu kerap dilaporkan tinggi 12, pengaruh oligarki dalam menentukan arah kebijakan publik dan pengisian jabatan-jabatan strategis di pemerintahan terasa begitu kuat.3
Fenomena ini menyingkap sebuah ironi: tingginya angka partisipasi dalam pemilu tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas demokrasi yang substantif. Ungkapan bahwa masyarakat “suka pemilu tapi tidak suka demokrasi” 12 menyiratkan bahwa pemilu bisa jadi hanya dianggap sebagai ritual periodik untuk mengganti pemimpin, tanpa disertai pemahaman mendalam akan esensi demokrasi atau tanpa menghasilkan dampak signifikan pada perbaikan tata kelola pemerintahan dan terwujudnya keadilan sosial. Kondisi ini jelas bertentangan dengan prinsip partisipasi publik yang bermakna sebagaimana diamanatkan oleh Demokrasi Pancasila, yang menekankan keterlibatan aktif rakyat dalam seluruh proses pengambilan keputusan politik.4
Lebih jauh, biaya politik yang mahal menciptakan sebuah siklus ketergantungan yang berbahaya antara politisi dengan para oligark atau pemilik modal besar.3 Politisi membutuhkan dana besar untuk kampanye dan operasional politik, dan oligarki hadir sebagai penyedia dana tersebut. Sebagai imbalannya, kebijakan-kebijakan yang lahir kemudian berpotensi lebih mengakomodasi kepentingan para donatur ketimbang kepentingan publik secara luas. Siklus ini secara langsung merusak sendi-sendi keadilan sosial dan menggerogoti hakikat kedaulatan rakyat yang menjadi inti dari Demokrasi Pancasila.4
Ruang Kebebasan yang Menyempit? Indeks Demokrasi dan Kebebasan Sipil
Indikator-indikator global menunjukkan adanya tren yang mengkhawatirkan terkait kondisi kebebasan sipil di Indonesia. Data dari Freedom House, misalnya, mencatat penurunan indeks demokrasi Indonesia dari skor 62 pada tahun 2019 menjadi 53 pada tahun 2023.1 Ini merupakan sebuah sinyal kuantitatif adanya persoalan dalam praktik demokrasi di tanah air.
Senada dengan itu, skor kebebasan pers Indonesia menurut Reporters Without Borders (RSF) juga mengalami penurunan, dari 63,23 poin pada tahun 2019 menjadi 54,83 poin pada tahun 2023.1 Pelemahan demokrasi secara umum dinilai memicu kecemasan terhadap masa depan kebebasan pers 1, padahal pers yang bebas dan independen merupakan salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi yang sehat.5 Data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) untuk tahun 2023 menunjukkan beberapa aspek yang bervariasi. Meskipun indikator seperti “Terjaminnya kebebasan berkumpul, berserikat, berekspresi, dan berpendapat oleh aparat negara” mendapat skor relatif tinggi (97,47), aspek lain seperti “Pers yang bebas dalam menjalankan tugas dan fungsinya” berada di angka 76,55, yang mengindikasikan masih adanya ruang signifikan untuk perbaikan.13 Penting untuk terus memantau tren dari indikator-indikator ini dari tahun ke tahun untuk melihat arah perkembangannya.
Lebih lanjut, laporan mengenai adanya aksi represif terhadap kritik 1 dan respons anti-kritik dari beberapa perwakilan rakyat 14 menjadi catatan buram lainnya. Praktik semacam ini jelas bertentangan dengan prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan partisipasi publik yang dijamin dalam Demokrasi Pancasila.4 Pandangan pakar hukum tata negara, Haidar Adam, mengenai nihilnya aspirasi masyarakat yang substantif dan peran negatif para buzzer yang kerap mendistorsi opini publik, juga menambah kompleksitas masalah.14 Fenomena ini berpotensi merusak proses musyawarah yang sehat dan rasional.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai tren ini, tabel berikut menyajikan beberapa indikator kunci demokrasi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir:
Tabel 2: Tren Indikator Kunci Demokrasi Indonesia
Indikator | 2019 | 2020 | 2021 | 2022 | 2023 | Sumber |
Indeks Demokrasi (Freedom House, skor/100) | 62 | – | – | – | 53 | 1 |
Skor Kebebasan Pers (RSF, skor/100) | 63.23 | – | – | – | 54.83 | 1 |
Indeks Persepsi Korupsi (TI, skor/100) | 40 | 37 | 38 | 34 | – | 2 (data hingga 2022) |
IDI BPS: Pers yang bebas (skor/100) | – | – | – | – | 76.55 | 13 (data 2023 metode baru) |
IDI BPS: Kebebasan berpendapat oleh aparat (skor/100) | – | – | – | – | 97.47 | 13 (data 2023 metode baru) |
(Catatan: Tanda “-” menunjukkan data tidak tersedia secara spesifik untuk tahun tersebut dalam cuplikan yang diakses atau memerlukan penelusuran lebih lanjut untuk data historis yang konsisten dengan metodologi terbaru.)
Penurunan angka-angka dalam indeks kebebasan pers dan kebebasan berpendapat bukanlah sekadar masalah bagi para jurnalis atau aktivis semata. Ini merupakan ancaman serius bagi seluruh lapisan masyarakat karena menghambat fungsi kontrol sosial terhadap jalannya kekuasaan. Selain itu, hal ini juga mengurangi kualitas informasi yang dibutuhkan publik untuk dapat berpartisipasi secara cerdas dan bermakna dalam proses demokrasi. Akibatnya, prinsip “partisipasi publik” dan “kedaulatan rakyat” yang menjadi ruh Demokrasi Pancasila turut tergerogoti.4
Fenomena buzzer dan respons anti-kritik dari berbagai pihak menciptakan iklim ketakutan (chilling effect) dan distorsi informasi yang merusak esensi musyawarah mufakat. Musyawarah yang idealnya didasarkan pada pertimbangan akal sehat dan hati nurani yang luhur 6 menjadi sulit tercapai jika ruang publik dipenuhi oleh disinformasi, ujaran kebencian, dan berbagai bentuk intimidasi. Jika opini publik dimanipulasi oleh kelompok-kelompok bayaran dan kritik konstruktif justru dibungkam, maka proses pengambilan keputusan tidak lagi didasarkan pada aspirasi murni masyarakat, melainkan lebih pada kepentingan pihak-pihak yang mengendalikan para buzzer atau pihak-pihak yang alergi terhadap kritik.
Hukum dan Keadilan: Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas?
Sektor hukum dan keadilan juga menghadapi tantangan berat. Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi Undang-Undang KPK menjadi UU No. 19 Tahun 2019 dinilai banyak pihak telah secara signifikan mengurangi independensi dan efektivitas lembaga anti-rasuah tersebut.2 Beberapa contoh konkret pelemahan ini antara lain adalah pembentukan Dewan Pengawas yang dinilai dapat mengintervensi kinerja KPK, pembatasan kewenangan penyadapan, perubahan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), serta proses Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang kontroversial dan berujung pada pemberhentian sejumlah pegawai KPK yang berintegritas.2
Dampak dari pelemahan KPK ini cukup terasa. Terjadi penurunan drastis dalam jumlah Operasi Tangkap Tangan (OTT), perlambatan dalam penanganan kasus-kasus korupsi, dan yang lebih mengkhawatirkan, penurunan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia di mata dunia.2 Situasi ini jelas merusak upaya pemberantasan korupsi yang merupakan bagian integral dari upaya mewujudkan keadilan sosial sebagaimana dicita-citakan Pancasila. Lebih jauh, pelemahan KPK juga berdampak pada menurunnya kepercayaan publik di dalam negeri dan kredibilitas pemerintah Indonesia di panggung internasional, serta berpotensi memberikan sentimen negatif terhadap iklim investasi.2
Selain isu KPK, kontroversi juga mewarnai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023). Putusan ini dinilai oleh banyak kalangan sebagai langkah yang menjauhkan upaya penguatan demokrasi dan bahkan menegaskan adanya kecenderungan praktik dinasti politik.16 Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai independensi lembaga yudikatif dan tegaknya prinsip rule of law.
Prinsip perlindungan HAM 4 dan gagasan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum 7 juga kerap dipertanyakan ketika muncul kasus-kasus diskriminasi dalam penegakan hukum. Contoh yang pernah disorot adalah perlakuan yang berbeda dalam penegakan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di masa pandemi, di mana aturan tampak lebih tajam ke bawah namun tumpul ke atas.14 Demikian pula ketika kebijakan-kebijakan kontroversial, seperti Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba), disahkan dengan proses yang dinilai kurang melibatkan partisipasi publik yang memadai dan berpotensi merugikan kepentingan masyarakat luas.14
Pelemahan institusi penegak hukum seperti KPK dan munculnya kontroversi di lembaga yudikatif seperti MK bukanlah sekadar masalah prosedural atau kelembagaan semata. Secara fundamental, hal ini mengancam prinsip “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” dan prinsip bahwa “Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum”.4 Korupsi adalah antitesis dari keadilan sosial. Jika lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga keadilan dan hukum justru dilemahkan atau integritasnya diragukan, maka sendi-sendi Demokrasi Pancasila menjadi sangat rapuh.
Adanya dugaan praktik penegakan hukum yang “tajam ke bawah, tumpul ke atas” secara langsung mencederai prinsip “persamaan kedudukan dalam hukum bagi semua warga negara” 7 dan nilai “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.4 Perlakuan hukum yang diskriminatif berdasarkan status sosial atau kedekatan dengan kekuasaan akan menciptakan ketidakpercayaan dan sinisme publik terhadap keseluruhan sistem hukum, yang pada gilirannya dapat merusak tatanan sosial dan kohesi nasional.
5. Akar Masalah: Mengapa Demokrasi Pancasila Terancam?
Berbagai potret buram yang telah diuraikan sebelumnya bukanlah fenomena yang berdiri sendiri. Terdapat akar masalah yang bersifat struktural dan sistemik yang menjadi penyebab mendasar dari berbagai tantangan yang dihadapi Demokrasi Pancasila saat ini.
Salah satu akar masalah yang paling menonjol adalah dominasi oligarki dan cengkeraman kepentingan ekonomi dalam proses politik dan pengambilan kebijakan. Mahalnya biaya politik dalam sistem pemilu di Indonesia telah menciptakan sebuah lingkaran ketergantungan antara politisi dengan para oligark atau pemilik modal besar.3 Akibatnya, oligarki tidak hanya berperan sebagai penikmat kebijakan, tetapi juga menjelma menjadi “regulator” dan “eksekutor” dalam sistem ketatanegaraan. Suara rakyat yang seharusnya menjadi penentu utama dalam demokrasi, menjadi terdegradasi oleh kekuatan finansial segelintir elit.3 Kebijakan publik yang dihasilkan pun berpotensi lebih menguntungkan kelompok-kelompok tertentu yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan, ketimbang kepentingan rakyat banyak. Contohnya adalah proses legislasi UU Minerba yang dinilai sarat kepentingan dan minim partisipasi publik.14
Korupsi yang bersifat sistemik juga menjadi faktor krusial. Korupsi tidak hanya menimbulkan kerugian finansial bagi negara, tetapi juga merusak sendi-sendi tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi negara, dan menghambat upaya pembangunan yang berkeadilan.2 Pelemahan KPK, sebagai lembaga yang diharapkan menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi, justru semakin memperburuk situasi ini dan memberikan ruang lebih leluasa bagi praktik-praktik koruptif.2
Selanjutnya adalah pelemahan institusi-institusi demokrasi yang seharusnya menjalankan fungsi checks and balances. Selain KPK, independensi lembaga lain seperti Mahkamah Konstitusi juga sempat dipertanyakan pasca putusan kontroversialnya.16 Hilangnya atau melemahnya mekanisme checks and balances yang vital ini 14 sangat berbahaya, karena potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga eksekutif maupun legislatif akan semakin meningkat tanpa adanya pengawasan yang efektif.
Faktor lain yang turut memperkeruh suasana adalah polarisasi di tengah masyarakat dan masifnya peran disinformasi serta buzzer di ruang digital. Kehadiran buzzer yang menyebarkan narasi-narasi tertentu untuk kepentingan pihak-pihak tertentu telah merusak kualitas diskursus publik dan mempersulit tercapainya musyawarah yang sehat dan rasional.14 Polarisasi sosial yang tajam juga dapat dimanfaatkan oleh elit politik untuk memecah belah masyarakat dan mengalihkan perhatian dari isu-isu substantif yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Akar-akar masalah ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling terkait dan bahkan saling memperkuat satu sama lain, membentuk sebuah lingkaran setan yang sulit diputus. Oligarki, misalnya, memiliki kepentingan untuk melemahkan institusi-institusi penegak hukum dan anti-korupsi guna melindungi kepentingan bisnis dan politik mereka. Korupsi yang merajalela kemudian menyediakan sumber daya finansial bagi praktik politik biaya tinggi, yang pada gilirannya semakin memperkuat cengkeraman oligarki. Pelemahan institusi-institusi demokrasi lainnya juga memudahkan oligarki untuk mempengaruhi proses perumusan kebijakan publik. Sementara itu, polarisasi dan disinformasi dapat digunakan sebagai alat untuk mempertahankan status quo ini dengan membingungkan publik atau mendiskreditkan suara-suara kritis. Ini bukanlah sekadar kumpulan masalah tunggal, melainkan sebuah ekosistem persoalan yang kompleks.
Tantangan-tantangan ini pada dasarnya menunjukkan adanya sebuah pertarungan fundamental antara logika ideal Demokrasi Pancasila – yang berorientasi pada kepentingan rakyat, keadilan sosial, dan musyawarah mufakat – dengan logika kekuasaan yang pragmatis dan didorong oleh kepentingan ekonomi sempit segelintir elit. Saat ini, sayangnya, logika kedua tersebut tampak lebih dominan dalam memengaruhi arah perjalanan bangsa.
Fenomena “nihilnya aspirasi dari masyarakat” yang disoroti oleh Haidar Adam 14 bisa jadi bukan hanya sekadar penyebab, tetapi juga merupakan akibat dari dominasi oligarki dan pelemahan demokrasi yang terjadi. Ketika masyarakat merasa bahwa suara mereka tidak lagi didengar, partisipasi mereka tidak membawa perubahan yang signifikan, atau kritik mereka justru berbuah represi, maka apatisme dan ketidakpercayaan terhadap proses politik bisa muncul dan menguat. Ini menciptakan sebuah spiral negatif: kurangnya aspirasi publik yang kuat dan terartikulasi akan semakin memudahkan elit untuk bertindak tanpa akuntabilitas yang memadai, yang pada gilirannya akan semakin menekan ruang partisipasi publik yang bermakna. Ini adalah sebuah hubungan timbal balik yang merugikan kualitas demokrasi.
6. Jadi, Masihkah Kita Negara Demokrasi Pancasila? Sebuah Refleksi Kritis
Setelah membedah idealita Demokrasi Pancasila dan membandingkannya dengan realitas praktik di lapangan serta berbagai tantangan yang mengemuka, kita kembali pada pertanyaan sentral: Apakah Indonesia saat ini benar-benar negara Demokrasi Pancasila? Jawabannya tidaklah sederhana dan memerlukan sebuah refleksi kritis yang mendalam.
Secara formal, Indonesia tidak pernah menyatakan meninggalkan Demokrasi Pancasila sebagai dasar dan sistem pemerintahannya. Struktur dan lembaga-lembaga demokrasi formal seperti pemilihan umum yang reguler, parlemen, dan lembaga-lembaga negara lainnya masih ada dan berfungsi. Namun, jika diukur dengan prinsip-prinsip fundamental dan substansi dari Demokrasi Pancasila – seperti kedaulatan rakyat yang sejati dan tidak terdistorsi, musyawarah mufakat yang bermakna dan inklusif, terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, perlindungan hak asasi manusia yang komprehensif, serta pemberantasan korupsi yang efektif – maka terlihat jelas adanya erosi dan defisit yang signifikan.
Memang, masih ada beberapa elemen demokrasi yang berjalan dan patut diapresiasi. Pemilihan umum tetap diselenggarakan secara berkala, memberikan ruang bagi suksesi kepemimpinan. Partisipasi masyarakat sipil, meskipun menghadapi berbagai tekanan, terus berusaha menyuarakan aspirasi dan melakukan advokasi. Kesadaran generasi muda akan isu-isu politik dan sosial juga menunjukkan tren yang positif, membawa harapan baru bagi masa depan demokrasi.18 Demokrasi konstitusional secara umum juga membawa dampak positif seperti upaya promosi kesetaraan dan perlindungan kepentingan warga.19
Namun, defisit yang ada juga tidak bisa diabaikan. Dominasi oligarki yang mengkooptasi proses politik, korupsi yang masih merajalela, pelemahan institusi-institusi kunci demokrasi, penyempitan ruang kebebasan sipil, praktik penegakan hukum yang terkadang dinilai belum sepenuhnya adil, serta belum tercapainya keadilan sosial yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat menjadi catatan kelam yang serius.
Pandangan para ahli pun umumnya menyuarakan keprihatinan serupa. Survei Demos beberapa tahun lalu, misalnya, menggambarkan situasi demokrasi Indonesia yang memprihatinkan dengan fondasi yang goyah, di mana hak-hak dasar warga mengalami kemandekan atau bahkan kemunduran, dan aspek representasi populer tetap menjadi kelemahan.20 Pakar Hukum Tata Negara Haidar Adam juga menyoroti adanya kemunduran demokrasi yang disebabkan oleh nihilnya aspirasi masyarakat yang substansial, hilangnya mekanisme checks and balances, serta respons anti-kritik dari pemegang kekuasaan.14
Dengan demikian, jawaban atas pertanyaan inti tidak bisa bersifat hitam-putih. Indonesia mungkin masih “berlabel” sebagai negara Demokrasi Pancasila secara formal dan menjalankan beberapa prosedur demokrasi. Akan tetapi, “isi” atau “kualitas” dari demokrasi yang dipraktikkan tersebut menunjukkan banyak penyimpangan dan jauh dari kondisi ideal yang dicita-citakan. Ada semacam “Demokrasi Pancasila prosedural” yang berjalan di permukaan, namun “Demokrasi Pancasila substantif” – yang mengedepankan nilai-nilai keadilan, kesejahteraan, dan partisipasi sejati – sedang mengalami sakit yang parah.
Kemunduran ini tidak serta-merta berarti bahwa Demokrasi Pancasila sebagai sebuah konsep telah gagal total. Persoalannya lebih terletak pada kegagalan dalam implementasi, pengkhianatan terhadap nilai-nilai luhurnya oleh sebagian elit politik dan ekonomi, serta lemahnya mekanisme kontrol dan partisipasi dari masyarakat secara luas. Masih ada potensi untuk perbaikan jika akar-akar masalah yang telah diidentifikasi dapat diatasi secara sungguh-sungguh dan komprehensif. Sebagaimana diungkapkan dalam salah satu analisis, meskipun situasi demokrasi memprihatinkan, masih ada peluang-peluang yang terbuka dan harus dimanfaatkan untuk mencapai kondisi demokrasi yang lebih baik dan bermakna.20
Namun, ada risiko yang nyata bahwa jika deviasi dari nilai-nilai luhur Pancasila ini terus berlanjut tanpa adanya koreksi yang signifikan, istilah “Demokrasi Pancasila” bisa terdegradasi menjadi sekadar fasad atau slogan kosong tanpa makna substantif. Ini akan mengingatkan kita pada penggunaan Pancasila di era Orde Baru, di mana Pancasila dijadikan alat legitimasi kekuasaan otoriter, sementara praktik di lapangan justru bertentangan dengan nilai-nilai dasarnya.5 Jika saat ini kritik dibungkam, kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir elit, dan aspirasi publik diabaikan, maka ada kemiripan pola yang patut diwaspadai, di mana label “Demokrasi Pancasila” tetap dipertahankan namun praktiknya menyimpang jauh dari esensi dan cita-cita luhurnya.
7. Penutup: Menjaga Api Demokrasi Pancasila Tetap Menyala
Menjawab pertanyaan “Apakah Indonesia Saat Ini Benar-benar Negara Demokrasi Pancasila?” secara lugas namun bernuansa, dapat disimpulkan bahwa meskipun Indonesia secara formal masih menganut Demokrasi Pancasila, praktiknya di lapangan saat ini menunjukkan banyak penyimpangan serius yang mengancam substansi dan kualitasnya. Kata “benar-benar” dalam pertanyaan tersebut menjadi kunci yang problematik, karena menyoroti jurang antara idealita normatif dengan realitas empiris.
Menghadapi situasi ini, diperlukan sebuah refleksi mendalam dan kesadaran kritis dari seluruh elemen bangsa. Masa depan Demokrasi Pancasila tidak hanya bergantung pada pemerintah, tetapi merupakan tanggung jawab kolektif. Pemerintah memiliki peran sentral dan kewajiban untuk menunjukkan komitmen yang serius dalam memberantas korupsi hingga ke akarnya, memperkuat institusi-institusi demokrasi agar berfungsi secara independen dan efektif, menjamin kebebasan sipil bagi setiap warga negara, serta menjalankan roda pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel, sesuai dengan prinsip-prinsip luhur Demokrasi Pancasila.
Di sisi lain, masyarakat sipil, termasuk akademisi, organisasi non-pemerintah, media massa yang independen, dan kelompok-kelompok pro-demokrasi lainnya, memiliki peran krusial untuk terus melakukan advokasi kebijakan, menyelenggarakan pendidikan politik bagi warga, melakukan pengawasan kritis terhadap jalannya pemerintahan, dan memperkuat basis organisasi rakyat. Upaya reformasi kebijakan yang lebih berorientasi pada keadilan sosial, pemerataan ekonomi, dan partisipasi publik yang bermakna juga mutlak diperlukan untuk membatasi cengkeraman oligarki dan memastikan bahwa pembangunan benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.3
Pada tingkat individu, setiap warga negara juga memiliki tanggung jawab untuk menjadi aktor demokrasi yang aktif, kritis, dan terinformasi. Menolak praktik politik uang, menggunakan hak pilih secara bertanggung jawab, serta berpartisipasi dalam berbagai forum dan mekanisme demokrasi secara konstruktif adalah kontribusi nyata yang dapat diberikan.
Memperbaiki kualitas Demokrasi Pancasila bukanlah tugas yang ringan dan bukan pula pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam semalam. Ini memerlukan semangat “gotong royong” dari seluruh komponen bangsa, sejalan dengan salah satu karakteristik utama Pancasila itu sendiri.4 Berbagai usulan konstruktif, seperti penguatan institusi demokrasi, pemberantasan korupsi yang tanpa pandang bulu, serta dialog antar kelompok politik untuk mencari titik temu 5, hingga pembentukan organisasi politik kelas pekerja yang independen sebagai alternatif kekuatan penyeimbang 21, patut dipertimbangkan dan diperjuangkan.
Tantangan terbesar ke depan mungkin bukan hanya sekadar memperbaiki institusi-institusi yang ada, tetapi juga membangun kembali kepercayaan (trust) – kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara, kepercayaan antar sesama warga negara, dan yang tidak kalah penting, kepercayaan bahwa partisipasi mereka dalam proses demokrasi dapat sungguh-sungguh membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Kepercayaan adalah fondasi sosial yang esensial bagi bersemainya demokrasi yang sehat dan substantif.
Meskipun potret demokrasi kita saat ini diwarnai berbagai tantangan, bukan berarti kita harus larut dalam pesimisme total. Masih ada harapan dan peluang untuk perbaikan, sebagaimana upaya terus menerus diperlukan untuk memastikan bahwa nilai-nilai Pancasila tetap menjadi pedoman dalam pembangunan negara yang lebih baik di masa depan.9 Masa depan Demokrasi Pancasila di Indonesia bergantung pada komitmen dan upaya bersama dari kita semua. Api semangat demokrasi, yang berlandaskan nilai-nilai luhur Pancasila, harus terus dijaga agar tetap menyala, menerangi jalan bangsa menuju cita-cita kemerdekaan: masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera dalam naungan demokrasi yang sejati.
Daftar Pustaka
- Indeks Demokrasi Turun, Kebebasan Pers Turut Terancam …, accessed June 9, 2025, https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/01/31/indeks-demokrasi-turun-kebebasan-pers-turut-terancam
- KONSTRUKTIVISME: DAMPAK PELEMAHAN KONSTITUSI …, accessed June 9, 2025, http://ejournal.fisip.unjani.ac.id/index.php/jurnal-dinamika-global/article/download/3100/800/
- Pembatasan Oligarki dalam Mewujudkan Sistem Demokrasi di …, accessed June 9, 2025, https://mls.umy.ac.id/index.php/mlsj/article/download/102/36/467
- Demokrasi Pancasila Pengertian, Ciri, Aspek, Prinsip, dan …, accessed June 9, 2025, https://fahum.umsu.ac.id/info/demokrasi-pancasila-pengertian-ciri-aspek-prinsip-dan-penerapannya/
- Demokrasi adalah: Pengertian, Sejarah, Ciri-Ciri dan Prinsip Dasarnya | AnjirInside!, accessed June 9, 2025, https://anjirmuara.baritokualakab.go.id/inside/demokrasi-adalah/
- 3 Ragam Perbedaan Demokrasi Liberal dan Demokrasi Pancasila …, accessed June 9, 2025, https://kumparan.com/sejarah-dan-sosial/3-ragam-perbedaan-demokrasi-liberal-dan-demokrasi-pancasila-22cMtdvURne
- Perbedaan Demokrasi Pancasila, Sosialis, Liberal | PDF – Scribd, accessed June 9, 2025, https://id.scribd.com/document/532686116/Perbedaan-Demokrasi-Pancasila-Sosialis-Liberal
- Implementasi Nilai-nilai Pancasila dalam Pemerintahan Reformasi Indonesia – Gramedia, accessed June 9, 2025, https://www.gramedia.com/literasi/implementasi-nilai-nilai-pancasila/
- Penerapan Pancasila di Masa Reformasi: Fondasi Perubahan Indonesia – Info Hukum, accessed June 9, 2025, https://fahum.umsu.ac.id/info/penerapan-pancasila-di-masa-reformasi-fondasi-perubahan-indonesia/
- Bahas Evaluasi Pemilu 2024, Pakar Politik UGM dan Bawaslu Ingatkan Soal Integritas Pemilu, accessed June 9, 2025, https://ugm.ac.id/id/berita/bahas-evaluasi-pemilu-2024-pakar-politik-ugm-dan-bawaslu-ingatkan-soal-integritas-pemilu/
- KPU Terima Masukan, Saran Terkait Evaluasi Pemilu 2024, accessed June 9, 2025, https://www.kpu.go.id/berita/baca/12368/kpu-terima-masukan-saran-terkait-evaluasi-pemilu-2024
- Perludem Prihatin Peringkat Indeks Demokrasi Indonesia Turun Dua Peringkat Tiap Tahun, accessed June 9, 2025, https://www.tempo.co/politik/perludem-prihatin-peringkat-indeks-demokrasi-indonesia-turun-dua-peringkat-tiap-tahun-52175
- [Metode Baru] Indeks Demokrasi Indonesia Menurut Indikator, 2023, accessed June 9, 2025, https://jatim.bps.go.id/id/statistics-table/2/NTg5IzI=/-metode-baru–indeks-demokrasi-indonesia-menurut-indikator.html
- Haidar Adam: Demokrasi Indonesia Mengalami Kemunduran …, accessed June 9, 2025, https://unair.ac.id/haidar-adam-demokrasi-indonesia-mengalami-kemunduran-disebabkan-nihilnya-aspirasi-dari-masyarakat/
- Upaya pelemahan KPK telah berlangsung lebih dari satu dekade – pshk.or.id, accessed June 9, 2025, https://pshk.or.id/blog-id/upaya-pelemahan-kpk-telah-berlangsung-lebih-dari-satu-dekade/
- Putusan MK soal Usia Capres-Cawapres Dinilai Menjauhkan Penguatan Demokrasi, accessed June 9, 2025, https://nasional.kompas.com/read/2023/10/27/06300081/putusan-mk-soal-usia-capres-cawapres-dinilai-menjauhkan-penguatan-demokrasi?page=all
- Analisis Pengambilan Keputusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Batas Usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Menggunakan Pende – Pubmedia Journal Series, accessed June 9, 2025, https://journal.pubmedia.id/index.php/par/article/download/2415/2484/4142
- OPINI: Suara Generasi Muda dalam Pemilu 2024 – Prodi Komunikasi Penyiaran Islam, accessed June 9, 2025, https://kpi.iainpare.ac.id/2023/12/opini-suara-generasi-muda-dalam-pemilu.html
- 8 Dampak Demokrasi Konstitusional secara Positif dan Negatif | kumparan.com, accessed June 9, 2025, https://kumparan.com/sejarah-dan-sosial/8-dampak-demokrasi-konstitusional-secara-positif-dan-negatif-21r1QgXBzug
- 389-ID-demokrasi-di-atas-pasir-kemajuan-dan-kemunduran-demokratisasi-di-indonesia.pdf – Neliti, accessed June 9, 2025, https://media.neliti.com/media/publications/389-ID-demokrasi-di-atas-pasir-kemajuan-dan-kemunduran-demokratisasi-di-indonesia.pdf
- Melawan Oligarki, Menghidupkan Agenda Politik Kelas Pekerja – IndoPROGRESS, accessed June 9, 2025, https://indoprogress.com/2025/05/melawan-oligarki-menghidupkan-agenda-politik-kelas-pekerja/