Menyoal Kembali Makna dan Batasan Korporasi sebagai “Subjek Hukum”

Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi Hukum – Di hari-hari pertama sekolah hukum, kita diperkenalkan pada sebuah konsep yang menjadi fondasi dari seluruh bangunan hukum bisnis modern: badan hukum atau rechtspersoon. Kita mempelajarinya sebagai sebuah aksioma, sebuah kebenaran yang diterima begitu saja. Perseroan Terbatas (PT) adalah subjek hukum mandiri, terpisah dari para pendiri dan pemegang sahamnya. Ia bisa memiliki aset, membuat perjanjian, menggugat, dan digugat. Konsep ini adalah perangkat kerja kita sehari-hari, sebuah alat yang kita gunakan dengan mahir tanpa terlalu sering berhenti untuk bertanya: “Sebenarnya, apakah ‘benda’ ini?”

Kita begitu terbiasa dengan fiksi hukum (persona ficta) ini sehingga kita lupa bahwa ia adalah sebuah fiksi. Sebuah ciptaan imajinasi yuridis yang luar biasa kuat, yang telah membentuk peradaban, mendorong inovasi, namun juga melahirkan tantangan-tantangan etis dan sosial yang kompleks. Di tengah krisis iklim, skandal privasi data, dan ketimpangan ekonomi yang dipengaruhi oleh kekuatan korporasi global, abad ke-21 memaksa kita untuk melakukan lebih dari sekadar menggunakan alat ini. Kita dipanggil untuk membongkarnya, melihat mesin filosofis di dalamnya, dan dengan kritis menyoal kembali makna, tujuan, dan batasannya. Esai ini adalah sebuah upaya dekonstruksi terhadap konsep rechtspersoon, sebuah ajakan untuk merefleksikan kembali asumsi-asumsi yang menopangnya, demi merancang kerangka hukum yang lebih adil dan bertanggung jawab.

Asal-usul Sesosok “Hantu” Yuridis: Genealogi Filosofis sang Badan Hukum

Konsep badan hukum bukanlah penemuan modern. Akarnya dapat dilacak hingga ke Romawi dengan collegia dan universitates-nya. Namun, ia baru benar-benar menunjukkan kekuatannya yang transformatif pada fajar era kapitalisme merkantilis. Di Nusantara, kita memiliki contoh paling monumental dalam wujud Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). VOC bukan sekadar perusahaan dagang; ia adalah sebuah entitas dengan hak untuk memiliki tentara, mencetak uang, menyatakan perang, dan menegosiasikan perjanjian layaknya negara berdaulat. VOC adalah bukti awal yang mengerikan sekaligus mengagumkan tentang bagaimana sebuah fiksi hukum dapat memobilisasi modal dan memproyeksikan kekuatan melintasi benua, melampaui masa hidup para pendirinya.

Di balik praktik ini, para ahli hukum berdebat sengit tentang sifat asli dari “makhluk” baru ini. Lahirlah beberapa teori besar yang hingga kini masih relevan. Teori Fiksi dari Friedrich Carl von Savigny, misalnya, berpendapat bahwa badan hukum adalah murni ciptaan artifisial negara. Ia tidak nyata, hanya sebuah fiksi yang diberi hak oleh hukum positif. Konsekuensinya, ia hanya memiliki hak-hak yang secara eksplisit diberikan oleh negara. Di sisi lain, Otto von Gierke dengan Teori Organ-nya mengemukakan pandangan yang lebih mistis. Ia berargumen bahwa badan hukum adalah sebuah organisme sosial yang riil, memiliki kehendak kolektifnya sendiri yang diekspresikan melalui “organ-organnya”—yakni RUPS, Direksi, dan Dewan Komisaris. Ia bukan sekadar fiksi, melainkan sebuah entitas sosial yang hidup.

Hukum perseroan modern di Indonesia, seperti di banyak negara sistem hukum sipil lainnya, adalah warisan dari perdebatan ini. Kita menciptakan PT sebagai subjek hukum mandiri, memberikan kepadanya jubah sakti berupa tanggung jawab terbatas (limited liability), yang memisahkan kekayaan perusahaan dari kekayaan pribadi para pemegang saham. Pemisahan inilah yang menjadi bahan bakar utama kapitalisme, memungkinkan pengambilan risiko dan akumulasi modal dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, pemisahan ini pula yang menjadi sumber dari banyak dilema hukum dan etika kita saat ini.

Pedang Bermata Dua: Hak-hak Korporasi dan Tanggung Jawab yang Sulit Dipahami

Memberikan status “persona” pada sebuah entitas non-manusia adalah sebuah pedang bermata dua. Satu sisi memberikannya kemampuan untuk bertindak, sementara sisi lainnya menciptakan kerumitan dalam hal pertanggungjawaban.

Logika pemberian hak menjadi cukup sederhana. Jika korporasi adalah “subjek hukum”, maka ia harus memiliki hak-hak dasar untuk dapat berfungsi dalam lalu lintas hukum: hak untuk memiliki kekayaan, hak untuk terikat dalam kontrak, dan hak untuk mencari keadilan di pengadilan. Dalam yurisdiksi tertentu, seperti Amerika Serikat, konsep ini bahkan diperluas hingga mencakup hak untuk kebebasan berpendapat dalam bentuk belanja politik. Pemberian hak-hak ini mengubah korporasi dari sekadar alat ekonomi menjadi aktor politik dan sosial yang sangat berkuasa.

Masalah muncul di sisi lain pedang: tanggung jawab. Ketika sebuah korporasi melakukan kerusakan masif—mencemari satu teluk, memicu krisis finansial global, atau membocorkan data jutaan penggunanya—pertanyaan “siapa yang bersalah?” menjadi sangat sulit dijawab. Kita bisa menunjuk pada direktur, manajer, atau operator lapangan, namun sering kali keputusan yang membawa petaka bukanlah hasil dari niat jahat (mens rea) satu individu, melainkan produk dari budaya perusahaan, tekanan pasar, dan difusi tanggung jawab yang sistemik. Di sinilah persona ficta menunjukkan fungsi paling problematisnya: ia menjadi perisai. Konsep badan hukum, yang pada awalnya dirancang untuk melindungi investor dari risiko, kini sering kali berfungsi melindungi para pengambil keputusan dari akuntabilitas penuh. Entitas fiktif ini tidak memiliki nurani untuk merasa bersalah, tubuh untuk dipenjara, atau jiwa untuk dipertanggungjawabkan di akhirat. Ia menyerap kesalahan, meninggalkan masyarakat dengan kerusakan nyata sementara pelakunya tersembunyi di balik struktur organisasi yang kompleks.

Impotensi Sanksi Denda: Menggugat Hukuman bagi sang Persona Ficta

Menghadapi tantangan akuntabilitas ini, sistem hukum di seluruh dunia secara refleks mengandalkan satu senjata utama untuk menghukum korporasi: sanksi denda. Namun, semakin hari semakin jelas bahwa senjata ini sering kali tumpul. Mengapa?

Pertama, bagi korporasi multinasional raksasa, denda yang terdengar fantastis di telinga publik—jutaan atau bahkan miliaran dolar—sering kali tidak lebih dari sekadar “biaya menjalankan bisnis” (cost of doing business). Jumlah tersebut sudah dianggarkan dalam analisis risiko mereka. Ia tidak memberikan efek jera yang sesungguhnya, hanya sebuah kalkulasi bisnis. Pembayaran denda sering kali diikuti dengan siaran pers yang menyatakan penyesalan, tanpa ada perubahan fundamental dalam praktik bisnis yang menyebabkan kerusakan tersebut.

Kedua, sanksi denda menghukum pihak yang salah. Denda dibayarkan dari kas perusahaan, yang pada dasarnya adalah milik para pemegang saham. Ini berarti yang menanggung beban hukuman adalah para investor—yang mungkin termasuk dana pensiun guru, investor ritel kecil, atau lembaga nirlaba—bukan para manajer yang membuat keputusan salah. Mekanisme ini gagal menciptakan insentif bagi para pengambil keputusan untuk berperilaku lebih baik.

Menyadari impotensi ini, para ahli hukum mencoba mencari alternatif. Muncul wacana tentang “hukuman mati korporasi” (corporate death penalty) melalui pencabutan izin usaha secara permanen. Namun, solusi ini seperti menggunakan bom nuklir untuk membunuh seekor tikus. Dampak sosial dan ekonominya—hilangnya pekerjaan, disrupsi rantai pasok, dan gejolak pasar—sering kali terlalu besar untuk ditanggung, membuatnya menjadi pilihan yang tidak praktis kecuali untuk kasus-kasus paling ekstrem. Sifat dasar dari rechtspersoon yang tak berwujud dan tak fana membuatnya secara inheren kebal terhadap armamentarium tradisional sistem peradilan pidana kita.

Kita telah melakukan perjalanan singkat, membongkar konsep badan hukum dari sebuah alat praktis menjadi sebuah konstruksi filosofis yang penuh dengan ketegangan dan kontradiksi. Lantas, apa yang harus kita lakukan? Tentu saja, menghapuskan konsep badan hukum adalah hal yang mustahil. Ia adalah tulang punggung ekonomi global. Namun, kita tidak bisa terus menggunakannya secara naif.

Jalan ke depan bukanlah dengan menghancurkan fiksi ini, melainkan dengan membuatnya menjadi fiksi yang lebih sadar dan bertanggung jawab. Ini berarti kita, sebagai komunitas hukum, harus secara serius memikirkan ulang beberapa hal. Pertama, mereformasi teori pertanggungjawaban pidana korporasi agar lebih mudah menembus “selubung perusahaan” (piercing the corporate veil) dan menjangkau individu-individu yang paling bertanggung jawab. Kedua, merancang sanksi-sanksi yang lebih kreatif dan transformatif daripada sekadar denda, seperti penempatan perusahaan di bawah pengawasan pengadilan (corporate probation), pencabutan hak-hak direksi yang terbukti lalai, atau kewajiban untuk mendanai program pemulihan lingkungan dan sosial secara jangka panjang.

Pada akhirnya, dekonstruksi ini membawa kita pada sebuah kesimpulan penting. Privilese untuk menyandang status sebagai rechtspersoon, dengan segala manfaatnya termasuk tanggung jawab terbatas, tidak boleh lagi dilihat sebagai hak absolut. Ia harus dipandang sebagai sebuah lisensi sosial yang bersyarat. Syaratnya adalah sebuah komitmen yang tak bisa ditawar terhadap etika, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat luas. Tugas kita sebagai para ahli hukum bukanlah sekadar menjadi operator mesin hukum yang ada, tetapi juga menjadi arsitek yang berani membongkar, memperbaiki, dan menyempurnakan mesin itu agar dapat melayani tujuan kemanusiaan yang lebih tinggi. Dengan menyoal kembali sang persona ficta, kita membuka jalan untuk membangun relasi yang lebih adil antara kekuatan korporasi dan takdir kolektif masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

You might also like
Sampaikan Analisis Anda

Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.

Sampaikan Analisis Hukum Anda Tutup Kirim Naskah Opini