Opini

Batu Sandungan Transformasi Teknologi di Indonesia

Sayid Adam
217
×

Batu Sandungan Transformasi Teknologi di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Batu Sandungan Transformasi Teknologi di Indonesia

Literasi Hukum – Perkembangan transformasi teknologi di Indonesia masihlah menyisakan hambatan yang ekstra. Kejadian seperti pencurian data nasional dibawah pengawasan Kominfo, maraknya judi online, maupun industri otomotif nasional seperti mobil SMK yang tidak memiliki skala produksi yang layak dan hanya untuk pajangan. Beberapa contoh kasus tersebut sebenarnya hanyalah permasalahan permukaan dalam fenomena gunung es dimana permasalahan kultural dan struktural terjadi dalam skala nasional. Sehingga, fokus pada tulisan kali ini akan membahas tentang visi pemerintah, keadaan pasar nasional, dan perkembangan regulasi dalam mengatur transfer dan alih teknologi.

Visi Indonesia Emas tahun 2045

Dimulai dari mengulas visi pemerintah dalam mentransformasi teknologi nasional. Buknlah hal unik bagi setiap negara berkembang ingin untuk mengejar ketertinggalan kompetitif produksinya di pasar internasional yang sangat dipengaruhi oleh teknologi. Jika melihat peringkat ekonomi Indonesia pada 16 di dunia dan sedang mengalami bonus demografi. Pada dasarnya potensi tersebut sangat mempengaruhi optimisme pemerintah dalam menentukan target capaian untuk Indonesia Emas tahun 2045. Namun semua itu kembali kepada kata ‘potensi’ yang sifatnya belum dapat dipastikan.

Rencana pengembangan teknologi yang melingkupi ruang investasi itu pun pada realitanya memiliki dua pandangan yaitu optimis dan pesimis. Pada pandangan optimis mengharapkan Indonesia tidak hanya menjadi negara  pasar teknologi semata dalam jangka waktu 20 tahun mendatang. Namun, produksi Indonesia dapat bersaing minimal cukup kompetitif di pasar nasional maupun bersaing di pangsa regional seperti Asean. Sedangkan dalam pandangan pesimis, perkembangan teknologi di Indonesia pada dasarnya sangat lambat, atau memiliki PR(public relation/presepsi) yang rendah. Sedangkan penulis pun berpandangan bahwa rencana nasional itu perlu, namun apakah swasta lokal khususnya UMKM dapat bertransformasi secara mandiri tanpa keterlibatan pemerintah. Pada dasarnya semua masalah tersebut berpusat pada hambatan akar rumput yaitu budaya atau perilaku usaha di tingkat lokal.

Keadaan Pasar Nasional dan Intevensi Pemerintah

Keadaan pasar nasional untuk melakukan transformasi teknologi dipengaruhi oleh dua hal yaitu modal dan budaya. Dalam hal modal usaha di Indonesia sebagian besar masihlah didominasi oleh sektor UMKM. Dari pelaku swasta sendiri ingin melakukan otomatisasi dan juga peningkatan peforma produksi sangat terhambat oleh modal. Walaupun pemerintah sudah mengucurkan dana yang sangat tinggi dimulai di akhir masa pemerintahan SBY hingga sekarang. Namun kemampuan literasi maupun manajemen lainnya untuk mendapatkan modal itu sendiri masih menjadi kendala dalam inkubasi industri.

Selanjutnya dalam hal budaya, teknologi itu sendiri pada dasarnya adalah pengetahuan dan kemampuan baik individu dan kelompok. Dalam hal ini, jika membahas apakah sebagian besar pelaku usaha siap dalam mengadopsi teknologi paling mutakhir dapat disimpulkan adalah tidak. Karena adopsi teknologi sejatinya tidak harus melalui tahapan paling mutakhir, namun untuk mengejar ketertinggalan, Namun jika melihat belanja teknologi nasional yang 80 persen lebih pada tahun 2021 masih didominasi pemerintah. Maka, selama kontribusi swasta belum meningkat hanya akan menyisakan ekosistem yang didominasi oleh pemerintah

Regulasi Transformasi Teknologi di Indonesia

Membahas secara teknis regulasi yang mempengaruhi transfer teknologi atau kekayaan intelektual saat ini dapat berfokus pada pembahasan UU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek). Walaupun UU Sinas Iptek sudah diperbaharui di UU Cipta Kerja, namun pada dasarnya pengaturan di UU Sinas Iptek hanya mengatur ekosistem di pemerintahan. Seperti yang kita ketahui terkait sentralisasi riset nasional ke BRIN dan juga pengarahan kepada pejabat pusat dan daerah. Namun UU Sinas Iptek itu sendiri memiliki kecacatan yang belum kunjung untuk diperbaiki. Terdapatnya 24 aturan turunan yang belum diterbitkan berdasarkan evaluasi BPHN Kemenkumham di tahun 2021 memberikan memberikan suatu bentuk keraguan dalam tindakan pemerintah.

Pengaruh politik kah yang tidak stabil dan mendekati pemilu saat itu, Corona, atau disebabkan oleh memang membeli teknologi adalah biaya yang mahal terlebih mengaturnya. Berdarkan laporan BPHN tahun 2021, pemerintah menyadari pembaharuan UU Sinas Iptek di tahun 2019 setelah 17 tahun lamanya disebabkan ekosistem riset Indonesia yang kurang memuaskan. Namun setelah 3 tahun laporan tersebut terbit masih menyisakan ketidak pastian seperti didiamkan saja dalam hal pembaharuan pengaturan.

Di sisi lain, jika melihat banyaknya aplikasi yang dikembangkan oleh kementrian atau lembaga pemerintah lainnya, penulis pun menyimpulkan hanya membuang anggaran saja. Di satu sisi kurang terintegrasi dan hanya untuk biaya operasional semata, bukan ditujukan untuk kelayakan uji pelayanan publik. Di sisi lainnya seperti keributan pendanaan subsidi sekolah tinggi kemarin pun, ternyata anggaran pendidikan yang krusial bagi pengembangan teknologi hanya dipegang sebagian kecil oleh kemendikbud. Pada hal ini penulis beranggapan, jika pengangaran dan regulasi saja masih beramasalah. Maka sebagian besar praktik pemerintahan dan reformasi birokrasi internal perlu untuk dilakukan, sebelum dapat bermimpi untuk dilirik oleh investor asing.   

Program Ambsius Tidak Terealisasi Karena Kegagalan Paham dari Teknologi

Walaupun perjalanan pemerintahan Jokowi yang getul untuk mengejar ketertinggalan seperti investasi asing untuk proyek nasional. Realitanya, kegagalan dalam mengundang investasi asing dan terlebih  kejelasan penataan birokrasi memberikan pandangan pesimis bagi sebagian besar publik. Sebagai contoh gagalnya Indonesia mengundang Microsoft dan Appel membuka pabriknya di Indonesia oleh sebagian pengamat dianggap belum siapnya ekosistem teknologi termasuk hal regulasi di Indonesia.  

Kalah saing dengan Vietnam dapat disimpulkan bahwa upah pekerja kita lebih tinggi. Namun jika kita membicarakan teknologi secara umum, tempat yang mendapatkan perlakuan khusus hanyalah pada lingkup pertahanan dan keamanan. Garis besar muatan b to b atau antara swasta dengan swasta juga tidak memiliki tolak ukur yang pasti. Jika membandingkannya dengan Cina yang mampu memaksakan swasta asing untuk membuka teknologinya pun sebenarnya juga didasari banyak peminat investor asing yang sudah ramai berinvestasi di negaranya.

Dari kesemua itu sebenarnya penulis beranggapan bahwa teknologi itu seperti pendidikan formal. Tidak bisa dilakukan pengadaan sekali selesai, namun juga perlu Pembangunan karakter kerja yang sebenarnya tidak bisa dilakukan terburu-buru dan tanpa tahapan yang jelas. Walaupun pemerintah menyadari hal tersebut pada realitanya, pengadaan infrastruktur harus dimulai dari dasar yang bahkan memerlukan waktu lebih lama jika membicara tentang pengkaderan dan budaya kerja. Dimana pengakaderan jelas mempengaruhi budaya kerja khususnya pada manajemen tingkat bahwah. Menggunakan perumpamaan sederhana, hal tersebut seperti mendidik satu generasi dari mulai pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi yang cukup memakan waktu dan memperhatikan tumbuh kembangnya dengan jelas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.