Literasi Hukum – Membahas penerapan tanggung jawab negara dalam mengatasi deforestasi hutan sebagaimana diatur dalam UU PPLH dan UU Kehutanan serta penegakan hukumnya.
Penyebab Kerusakan Lingkungan Hidup
Eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan hidup mengakibatkan kualitas lingkungan hidup menjadi semakin buruk. Maraknya kerusakan alam seperti ekosistem lautan, rusaknya sebagian besar hutan, banjir, tanah longsor, dan salah satunya adalah deforestasi hutan. Keberadaan hutan secara global mampu bermanfaat bagi kehidupan manusia dan menjadi ekosistem bagi berbagai spesies tanaman dan hewan di bumi. Pembukaan lahan hutan seringkali dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab dengan menanamkan modalnya dibidang kehutanan dengan tujuan memperkaya diri tanpa memperdulikan dampak lingkungan. Hutan-hutan di Indonesia banyak terjadi alih fungsi hutan untuk areal perkebunan seperti kelapa sawit.
Regulasi terkait Perlindungan Ekosistem Hutan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dalam ketentuan Pasal 65 ayat (1) menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia”. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan dilakukan sebagai upaya sistematis dan terpadu dengan tujuan melestarikan fungsi lingkungan hidup dan menghindari timbulnya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Pemerintah Indonesia juga menyusun beberapa regulasi khusunya terkait dengan deforestasi hutan sebagai bagian dari kenekaragaman hayati, yaitu: Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan terutama Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 mengenai kegiatan perusakan hutan. Hal demikian, menjadi ketentuan khusus untuk menindaklanjuti hukuman pelanggaran dan pidana kehutanan yang sulit tertangani dari adanya UU Kehutanan. Laju deforestasi hutan dapat meningkat setiap tahunnya diakibatkan oleh berbagai kegiatan manusia, sehingga kolaborasi dan kesadaran bersama sangat dibutuhkan dalam upaya menghindari deforetasi hutan. Perlindungan yang negara berikan terhadap lingkungan tentunya mengacu pada ketentuan hukum lingkungan, yang berdampak positif terhadap lingkungan dan masyarakat itu sendiri.
Pengertian Deforestasi Hutan
Deforestasi ialah keadaan luas hutan yang mengalami penurunan karena konvensi lahan digunakan untuk infrastrukur, permukiman, pertanian, pertambangan, dan perkebunan. Deforestasi pada umumnya diakibatkan oleh kebakaran hutan sehingga mengarah pada pemanasan global dan berhubungan dengan penebangan atau pembalakan liar yang mengancam mahkluk hidup.
Faktor penyebab deforestasi hutan di Indonesia yakni: (1) konversi hutan untuk penggunaan lahan sebagai lahan perkebunan; (2) kebakaran hutan yang berdampak menambah emisi gas rumah kaca; (3) pembalakan liar (illegal logging) akibat ketidakseimbangan antara ketersediaan kayu dengan permintaan; (4) perubahan iklim disebabkan secara alami atau karena perbuatan manusia yang merusak lingkungan seperti penggundulan hutan yang masif; (5) aktivitas pertambangan illegal.
Tanggung Jawab Negara dalam UU PPLH
Asas tanggung jawab negara termasuk perwujudan dari prinsip negara sebagai suatu organisasi kekuasaan atau politik, yang mana terdapat suatu definisi bahwa negara harus melindungi warga negaranya, teritorial, seluruh kekayaan alam serta harta benda negara dan penduduknya. Tanggung jawab negara merupakan kewajiban negara atas segala sesuatu serta bertugas menerima pembebanan sebagai akibat tindakan yang dilakukan sendiri maupun pihak lain. Pasal 2 huruf (a) UU PPLH menjelaskan yang dimaksud dengan “asas tanggung jawab negara” ialah:
- negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup masyarakat, baik generasi saat ini hingga masa yang akan datang;
- negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat;
- negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Pasal 88 UU PPLH dalam penjelasannya menjelaskan terkait bertanggungjawab mutlak atau strict liability merupakan unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Akan tetapi, pihak penggugat wajib membuktikan kerugian yang dialami sebagai akibat dari perbuatan atau kegiatan yang dilakukan tergugat. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap perusak lingkungan hidup menurut pasal a quo dapat ditetapkan sampai batas tertentu, yaitu “jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup”.
Tanggung Jawab Negara dalam UU Kehutanan
Negara memiliki hak mutlak dalam pengelolaan perhutanan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan pada pokoknya: “Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam hal ini pemerintah berwenang untuk: mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan, menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan, dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.” Negara yang menguasai hutan tentu harus tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Tanggung Jawab Negara dalam Upaya Mengatasi Deforestasi Hutan
Negara berperan penting dalam menyusun regualasi deforestasi legal atau menindak secara tegas terhadap oknum-oknum yang membahayakan lingkungan hidup serta wajib memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat atas lingkungan yang baik dan sehat.
Adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengindikasikan bahwa kepentingan sektor ekonomi memberi pihak penguasa mengarah pada perusakan lingkungan dengan membebaskan pihak yang merusak lingkungan. Hal demikian ditemukan pada Pasal 88 dalam undang-undang tersebut yang meniadakan unsur “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” dalam UU PPLH. Dengan demikian, strict liability diubah menjadi pertanggungjawaban tanpa kesalahan atau liability without fault. Artinya, si pembuat dapat dipidana apabila telah melakukan perbuatan sebagaimana yang telah dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat sikap batinnya.
Negara dalam kekuasaanya wajib didasari dengan regulasi perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang mencantumkan kepentingan seluruh masyarakat, pemeliharaan alam dan lingkungan, pencegahan pencemaran, perlindungan atas segala ancaman yang merusak serta berpotensi merugikan lingkungan, serta bertanggung jawab atas segala sesuatu yang merugikan masyarakat dari kerusakan alam dan lingkungan. Hal ini dapat dilakukan dengan upaya preventif dalam penegakan hukum lingkungan yakni adanya transparansi pada tahapan proses perizinan. Persoalan perizinan seringkali menjadi asal muasal terjadinya tindak pidana korupsi di sektor sumber daya alam, perlu penerapan kaidah-kaidah hukum pidana lingkungan secara khusus.
Pada sektor kehutanan seperti tata kelola dapat dilakukan dengan meningkatkan kapasitas Kesatuan Pengelolaan Hutan untuk kawasan hutan dengan batas-batas yang dipetakan dan dikelola sebagai ketetapan tujuan rencana pengelolaan hutan dengan tetap memperhatikan aspek pemeliharaan dan pelestarian hutan serta lingkungan hidup.
Penegakan Hukum terhadap Tindakan Penguasa yang Mengakibatkan Deforestasi Hutan
Penegakan hukum terhadap lingkungan hidup ialah regulasi yang mengatur tata lingkungan atau lingkungan hidup, meliputi seluruh aspek untuk mengatur tindakan manusia. Masyarakat terdampak deforestasi akan kehilangan mata pencaharian, kesulitan akses pemanfaatan sumber pangan, menerima kompensasi yang tidak adil, dan menanggung resiko bencana ekologis.
Adanya sengketa dapat diselesaikan melalui musyawarah antar para pihak atau mediasi. Apabila tetap tidak tercapai suatu kesepakatan, maka masyarakat atau perwakilannya dapat mengajukan gugatan ke pengadilan di wilayah hukum tergugat. Penegakan hukum lingkungan hidup dapat dilakukan dengan berbagai sarana yakni:
- sanksi administrasi yang berfokus pada pasal-pasal peraturan hukum tata usaha negara yang dilanggar, kegiatan-kegiatan tersebut melanggar satu atau beberapa pasal peraturan perundang-undangan dengan sanksi yang jelas, dan penjatuhan sanksi dilakukan oleh Pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan atau ketentuan yang tercantum dalam surat izin yang diterbitkan oleh Pejabat yang menjatuhkan sanksi tersebut;
- penegakan hukum perdata yakni melalui litigasi pengadilan atau melalui musyawarah diluar pengadilan, dengan berfokus pada perbuatan yang dilakukan harus merupakan perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian secara jelas serta terdapat kewenangan pihak penggugat untuk mengajukan gugatan;
- penegakan hukum pidana berdasarkan pasal-pasal pemidanaan, adanya alasan hukum dan cukup bukti permulaan tentang terjadinya suatu tindak pidana, sehingga ditetapkan tersangka, dan mekanisme penegakan hukum pidana mulai penyidikan, upaya paksa, pelimpahan perkara ke pengadilan, hingga pemeriksaan perkara di pengadilan, dilakukan dalam batas-batas kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.
Penegakan Hukum Deforestasi Hutan dalam UU PPLH
Penegakan hukum dalam penindakan ini berupa penegakan hukum represif, yaitu jika masyarakat merasa terganggu dengan adanya kerusakan lingkungan hidup pada masalah deforestasi yang merugikan masyarakat, hal ini masuk dalam ketentuan Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) UU PPLH. Apabila, pihak penguasa itu melanggar ketentuan dalam Pasal 11, Pasal 14, Pasal 17, dan Pasal 18 UU PPLH yang mengakibatkan terjadinya kerusakan dan kebakaran hutan milik rakyat, maka dapat diancam pidana sesuai dengan Pasal 98 ayat (1) dan/atau Pasal 99 ayat (1) UU PPLH.
Pasal 98 ayat (1) menyatakan bahwa: “setiap orang yang melakukan tindakan yang merugikan orang lain berhubungan dengan kerusakan lingkungan hidup dan mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup maka akan dipidana sesuai dengan kesalahannya baik dalam hukuman denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) serta hukuman penjara paling sedikit adalah tiga tahun dan paling lama sepuluh tahun”.
Sedangkan Pasal 99 ayat (1) menyatakan bahwa: “akibat dari kelalaian tersebut banyak masyarakat yang merasa dirugikan, oleh karena itu jika kelalaian tersebut dilakukan oleh manusia yang tidak bertanggung jawab dan mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang sangat parah, maka tindak pidana yang akan diberikan berupa tindak pidana hukuman penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun serta hukuman denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
Legal Standing Pihak-Pihak yang Mengajukan Gugatan
Dalam Pasal 100 UUPPLH, tidak diberlakukan asas ultimum remedium, namun asas premium remedium yang diberlakukan yakni mendahulukan pelaksanaan penegakan hukum pidana. Hukum lingkungan Indonesia menganut konsep hak gugat konvensional yang berkaitan dengan public interest law. Pihak yang memegang legal standing bertindak atas dasar kepentingan masyarakat luas walaupun idak memiliki kepentingan hukum secara langsung dikarenakan pelanggaran hak-hak publik.
Yang dapat menjadi legal standing dan dapat bertindak sebagai pihak penggugat diatur dalam UU PPLH sebagai berikut: Hak gugat individual dalam Pasal 84 ayat (1) dengan dua alternatif, yaitu dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan, Hak gugat masyarakat berbentuk class action dalam Pasal 91, Hak gugat pemerintah dalam Pasal 90, Hak gugat organisasi lingkungan atau lembaga swadaya masyarakat dalam Pasal 92, serta Hak gugat administrasi dalam Pasal 93. Adanya gugatan perdata ialah bertujuan untuk mendorong regulasi yang mengikat bagi korporasi untuk tunduk pada target penurunan emisi global dan secara global sebagai gerakan untuk implementasi tangggung jawab korporasi dalam berkontribusi atas perubahan iklim.
Kelestarian hutan sangat berpengaruh terhadap deforestasi, untuk itu harus dijaga supaya dapat menghindari dari adanya bencana yang terjadi dengan melakukan upaya-upaya, yakni:
- Memperbaiki sistem pengelolaan hutan dengan meningkatkan keterlibatan peran masyarakat langsung, meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum lingkungan;
- Meningkatkan kesepakatan antar tingkat pemerintahan pusat maupun daerah serta mengimplementasikan pembagian wewenang dan tanggung jawab pengelolaan hutan;
- Mengefektifkan sumber daya yang tersedia dalam pengelolaan hutan dengan kerja sama antara berbagai pihak.
Kesimpulan
Negara berhak secara mutlak dalam pengelolaan perhutanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sehingga berwajiban untuk melindungi hak dan kepentingan seluruh masyarakat, pemeliharaan lingkungan, pencegahan pencemaran, perlindungan atas segala ancaman yang merusak serta berpotensi merugikan lingkungan, dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang merugikan masyarakat dari kerusakan alam dan lingkungan. Penegakan hukum deforestasi oleh penguasa ini dapat dilakukan dengan upaya hukum tata negara untuk pemberian sanksi administratif, upaya perdata dengan pengajuan gugatan oleh masyarakat atau wakilnya yang memiliki legal standing demi kepentingan publik, serta upaya pidana dengan penjatuhan sanksi denda dan penjara terhadap pelaku deforestasi.
Referensi
- Arbani, Tri Suhendra. “Asas Pertanggungjawaban Mutlak (Strict Liabilty) Atas Kerusakan Lingkungan Pasca Undang-Undang Cipta Kerja.” Jurnal Al Hadarah Al Islamiyah, no. April (2022): 23–37.
- Asnah, Nur. “Kebijakan Dan Tanggung Jawab Pemerintah Dalam Mewujudkan Perlindungan Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Bagi Masa Mendatang.” Jurnal Senpling Multidisiplin Indonesia 1, no. 1 (2023): 1–7.
- Nakita, Clearestha, and Fatma Ulfatun Najicha. “Pengaruh Deforestasi Dan Upaya Menjaga Kelestarian Hutan Di Indonesia.” Jurnal Ius Civile 6, no. 1 (2022): 92–103.
- Nisa, Anika Ni’matun, and Suharno. “Penegakan Hukum Terhadap Permasalahan Lingkungan Hidup Untuk Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan (Studi Kasus Kebakaran Hutan Di Indonesia).” Jurnal Bina Mulia Hukum 4, no. 2 (2020).
- Sirait, Yohanes Hermanto. “Komitmen Terkait Deforestasi Dan Perubahan Iklim : Perspektif Dari Doktrin Parens Patriae.” Jurnal Hukum Jatiswara 34, no. 1 (2019): 1–10.
- Sudarsono. Negeriku Menuai Bencana Ekologi Mengabaikan Norma Agama, Adat, Dan Hukum Reposisi Dan Revitalisasi Penegakan Hukum Lingkungan, Cetakan Kedua. Yogyakarta: Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa, 2007.