Literasi Hukum – Di tengah rimba peraturan perundang-undangan yang padat dan teknis, terdapat benang emas kebijaksanaan yang merajut keseluruhan struktur hukum: adagium. Jauh dari sekadar pepatah kuno, adagium adalah DNA intelektual, sari pati pemikiran yuridis yang telah disuling selama berabad-abad. Bagi seorang yuris, memahami adagium bukan hanya soal menambah perbendaharaan kutipan Latin, melainkan soal menyelami anima legis—jiwa hukum itu sendiri—untuk menemukan esensi keadilan (ius) di balik aturan yang tertulis (lex).
Akar adagium hukum menancap kuat di tanah peradaban Romawi. Para filsuf dan yuris seperti Cicero dengan adagiumnya Ubi Societas Ibi Ius dan Ulpianus dengan tiga perintah hukumnya (tria praecepta iuris) menjadi peletak dasar. Warisan ini dikodifikasikan dalam Corpus Juris Civilis pada masa Kaisar Yustinianus, yang kemudian menjadi “kitab suci” bagi perkembangan hukum di Eropa.
Pada Abad Pertengahan, di universitas-universitas pertama seperti Bologna, para sarjana yang dikenal sebagai Glossators dan kemudian Commentators mendedikasikan hidup mereka untuk mengkaji, menafsirkan, dan memberi catatan pinggir pada teks-teks hukum Romawi ini. Melalui proses inilah, prinsip-prinsip hukum yang terkandung di dalamnya dikristalkan menjadi kalimat-kalimat pendek yang padat makna—adagium—agar mudah dihafal, dipahami, dan diwariskan.
Penting untuk membedakannya dari konsep lain:
Asas Hukum (Legal Principle): Ini adalah “jantung” atau pikiran dasar yang abstrak di balik sebuah sistem hukum (misalnya, asas kebebasan berkontrak).
Adagium: Ini adalah “suara” atau rumusan kalimat dari asas tersebut (Pacta Sunt Servanda adalah suara dari asas kebebasan berkontrak).
Doktrin: Ini adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang diakui dan sering dijadikan sumber hukum. Adagium seringkali menjadi bagian dari doktrin.
Kekuatan adagium terletak pada otoritas filosofis dan historisnya. Fungsinya bersifat multidimensional dalam arsitektur ilmu hukum.
Fungsi Filosofis (Ratio Legis): Adagium mengungkap spirit dan alasan mendasar (ratio legis) dari sebuah norma, memberikan landasan moral dan etis mengapa hukum harus ditegakkan.
Fungsi Interpretatif (Pemandu Penafsiran): Ketika terjadi ambiguitas atau kekosongan hukum, adagium menjadi kompas bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding), menuntunnya dari penafsiran literal menuju penafsiran yang lebih adil dan sesuai tujuan hukum (teleologis).
Fungsi Argumentatif (Instrumen Yuridis): Dalam debat hukum, adagium berfungsi sebagai argumentum ad auctoritatem yang kuat. Mengutipnya dalam putusan, pleidoi, atau karya ilmiah menunjukkan kedalaman analisis dan menghubungkan kasus partikular dengan kebenaran hukum universal.
Fungsi Edukasi dan Didaktik: Adagium adalah alat bantu pengajaran yang luar biasa. Ia menyederhanakan konsep hukum yang kompleks menjadi postulat yang mudah dicerna, menjadikannya gerbang pertama bagi para mahasiswa hukum untuk memahami prinsip-prinsip fundamental.
Untuk pemahaman yang lebih terstruktur, berikut adalah beberapa adagium esensial yang dikelompokkan berdasarkan area tematiknya:
Ubi Societas, Ibi Ius: “Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum.” Fondasi sosiologi hukum yang menegaskan hukum sebagai produk sosial yang inheren.
Honeste Vivere, Alterum Non Laedere, Suum Cuique Tribuere: “Hidup secara terhormat, tidak merugikan orang lain, dan memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.” Tiga perintah hukum dasar dari Ulpianus yang merangkum seluruh tujuan hukum.
Fiat Justitia Ruat Caelum: “Keadilan harus ditegakkan, sekalipun langit akan runtuh.” Prinsip keteguhan hati dalam menegakkan supremasi keadilan tanpa kompromi.
Audi et Alteram Partem (atau Audiatur et Altera Pars): “Dengarkan juga pihak lain.” Pilar utama dari proses hukum yang adil (due process of law), yang mewajibkan hakim untuk mendengar argumen dari kedua belah pihak sebelum membuat keputusan.
Nemo Judex Idoneus in Propria Causa: “Tidak seorang pun dapat menjadi hakim yang layak dalam perkaranya sendiri.” Prinsip imparsialitas dan larangan konflik kepentingan untuk menjamin objektivitas peradilan.
Presumption of Innocence (Asas Praduga Tak Bersalah): Berakar dari Ei Incumbit Probatio Qui Dicit, Non Qui Negat (Beban pembuktian ada pada penuduh). Melindungi harkat individu dari kesewenang-wenangan negara.
Pacta Sunt Servanda: “Setiap perjanjian harus ditaati.” Jantung dari hukum kontrak (Pasal 1338 KUHPerdata) dan hukum internasional (Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian).
Cujus Est Dominium, Ejus Est Periculum: “Risiko atas suatu kepemilikan ditanggung oleh pemiliknya.” Prinsip dasar dalam hukum kebendaan mengenai siapa yang menanggung risiko atas suatu barang.
Bona Fides (Itikad Baik): Meskipun lebih merupakan sebuah asas, ia sering diungkapkan dalam konteks bahwa semua tindakan hukum harus didasari oleh kejujuran dan niat yang baik.
Lex Specialis Derogat Legi Generali: “Aturan hukum yang khusus mengesampingkan aturan hukum yang umum.”
Lex Superior Derogat Legi Inferiori: “Aturan hukum yang lebih tinggi mengesampingkan aturan hukum yang lebih rendah.”
Lex Posterior Derogat Legi Priori: “Aturan hukum yang baru mengesampingkan aturan hukum yang lama.” Ketiganya adalah asas fundamental untuk menyelesaikan konflik antar peraturan (lex scripta).
Lex Dura, Sed Tamen Scripta: “Undang-undang itu keras, tetapi begitulah ia ditulis.” Representasi aliran positivisme yang mengutamakan kepastian hukum di atas segalanya.
Ignorantia Juris Non Excusat: “Ketidaktahuan akan hukum tidak menjadi alasan pemaaf.” Setiap orang dianggap tahu hukum setelah peraturan diundangkan.
Seorang yuris yang matang memahami bahwa adagium bukanlah mantra sihir yang bisa diterapkan secara membabi buta. Seringkali, terjadi dialektika atau pertentangan antara satu adagium dengan adagium lainnya. Di sinilah letak seni ilmu hukum (ars aequi et boni).
Dialektika Keadilan vs. Kepastian: Fiat Justitia Ruat Caelum (tegakkan keadilan) sering berhadapan dengan Lex Dura, Sed Tamen Scripta (hukum tertulis itu keras). Hakim harus menimbang kapan harus memprioritaskan keadilan substantif dan kapan harus tunduk pada kepastian hukum.
Dialektika Keadilan Absolut vs. Kemanfaatan: Penerapan Fiat Justitia yang terlalu kaku dapat berujung pada Summum Ius, Summa Iniuria (“Keadilan tertinggi dapat menjadi ketidakadilan tertinggi”). Hal ini menuntut hakim untuk tidak hanya menjadi “corong undang-undang” (bouche de la loi) tetapi juga menggunakan kebijaksanaan untuk melihat dampak dan kemanfaatan putusannya.
Kearifan hukum tidak terletak pada kemampuan menghafal adagium, tetapi pada kemampuan untuk memilih dan mendamaikan adagium yang paling relevan dengan konteks perkara in concreto.
Dari akarnya di Roma kuno, melalui pemeliharaan para sarjana Abad Pertengahan, hingga perannya yang tak tergantikan di ruang sidang modern, adagium hukum membuktikan dirinya sebagai simfoni kebijaksanaan yang tak lekang oleh waktu. Ia adalah jembatan antara teks dan konteks, antara aturan dan keadilan, antara masa lalu dan masa depan.
Bagi kita yang berkecimpung dalam dunia hukum, adagium adalah pengingat konstan bahwa hukum lebih dari sekadar profesi; ia adalah sebuah seni dan panggilan untuk menata peradaban. Dengan memahaminya secara komprehensif, kita tidak hanya menjadi teknisi hukum yang lebih baik, tetapi juga menjadi penjaga kearifan yang lebih bijaksana.
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini