Recommendation
Rekomendasi Buku Hukum Pidana
Materi HukumAdministrasi NegaraTata Negara

Pengaturan Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

Dini Wininta Sari, S.H.
42
×

Pengaturan Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

Sebarkan artikel ini
Pengaturan Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

Literasi Hukum – Artikel ini membahas KTUN fiktif positif, perluasan makna objek sengketa KTUN, keabsahan penetapan KTUN, serta penyelesaian sengketa dengan pengajuan gugatan

Keputusan Tata Usaha Negara dalam Lingkup Peradilan Tata Usaha Negara

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan salah satu wujud sistem kenegaraan di Indonesia yang menganut prinsip negara hukum, sebagaimana yang dikehendaki dalam UUD NRI Tahun 1945. Pada dasarnya, PTUN merupakan sarana perlindungan warga negara yang merasa dirugikan hak haknya atas tindakan pemerintah yang bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku dan yang seharusnya sejalan dengan asas asas umum pemerintahan yang baik.

Lingkungan PTUN sebagai sub sistem peradilan di Indonesia di dasarkan pada Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara  (UU PTUN) yang dalam Pasal 47 mengatur tentang kompetensi PTUN, yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.

Pengaturan keputusan dalam tata usaha negara dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, efektivitas, efisiensi. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) menetapkan persyaratan dan prosedur yang harus dilakukan dalam pengambilan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), termasuk kewajiban untuk melibatkan dan mendengarkan masukan dari masyarakat atau pemangku kepentingan sebelum mengambil keputusan. Regulasi KTUN yang diselenggarakan berdasarkan UU AP memiliki tujuan untuk memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah merupakan hasil dari proses yang transparan, akuntabel, efektif, dan efisien.

Fiktif Positif dan Fiktif Negatif atas KTUN

Pasal 1 angka 7 UU AP memberi definisi Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut KTUN atau Keputusan Administrasi Negara sebagai suatu ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Berdasarkan Pasal 53 UU AP menyatakan bahwa apabila dalam batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum (fiktif positif).

Namun, berbeda dengan Pasal 3 ayat (2) UU PTUN menyatakan bahwa jika suatu Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud (fiktif negatif).

Asas hukum dalam Pasal UU PTUN adalah asas diam berarti menolak yang menjadi dasar lahirnya norma dalam Pasal 3 UU PTUN dan asas legalitas yang ditetapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan Pasal 5 UU AP bersama dua asas lainnya yaitu asas perlindungan terhadap hak asasi manusia dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), serta terkandung dalam Pasal 1 angka 2 UU PTUN.

Penjelasan Pasal 5 huruf a UU AP, mendefinisikan asas legalitas adalah penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan mengedepankan dasar hukum dari sebuah Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Dalam Pasal 1 angka 2 UU PTUN menetapkan: “Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan”.

Fiktif Positif atas KTUN dalam UU Administrasi Pemerintahan

Dalam Pasal 53 ayat (4) dan ayat (5) UU AP mengatur  terkait hak bagi subjek hukum pemohon untuk memperoleh penetapan dan/atau pelaksanaan KTUN dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara. Ketika permohonan kepada PTUN dikabulkan, maka berdasarkan Pasal 53 ayat (6) undang-undang a quo, Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara wajib untuk menetapkan KTUN paling lama 5 hari kerja sejak putusan PTUN ditetapkan.

Berdasarkan Peraturan MA No. 8 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintah yang mengatur proses permohonan atas dasar pelaksanaan Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan yang diajukan ke PTUN. Ketentuan ini menerapkan asas “Fiktif Positif” terkait keputusan atau tindakan pejabat pemerintah dalam rangka pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Dengan demikian, konsep dan sifat KTUN dalam Pasal 87 UU AP telah ditentukan mengenai perluasan KTUN yang sebelumnya diatur dalam UU PTUN. Perluasan tersebut meliputi: penetapan tertulis berkaitan dengan tindakan faktual, Keputusan Badan dan/atau Pejabat TUN dalam bidang eksekutif, legislatif, yudisial, dan penyelenggara negara lainnya, mengacu pada peraturan perundang-undangan dan AUPB, bersifat final dengan arti yang lebih luas, keputusan yang masih berpotensi menimbulkan suatu akibat hukum, dan/atau keputusan yang berlaku bagi masyarakat.

Perbedaan Penyelesaian Sengketa KTUN Fiktif Negatif dan Fiktif Positif

Dasar hukum yang mengatur pengajuan gugatan dengan KTUN fiktif negatif sebagai objeknya diatur dalam ketentuan Pasal 53 UU PTUN. Di sisi lain, pengajuan permohonan dengan KTUN fiktif positif sebagai objeknya diatur dalam Pasal 53 UU AP dan Peraturan MA No. 8 Tahun 2017. Pemaknaan permohonan dalam Peraturan MA tersebut mengarah pada suatu permohonan dalam bentuk sengketa antara para pihak baik pemohon (individu atau badan hukum perdata) melawan termohon (badan dan/atau pejabat administrasi pemerintahan). Gugatan maupun permohonan yang diajukan harus melewati prosedur yang sama dalam hal penyelesaian perkaranya bahkan hasil akhir dari kedua istilah yang berbeda tersebut adalah berupa putusan hakim.

Namun, setelah adanya pengundangan Undang-Undang Cipta Kerja, konsep keputusan fiktif sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UU AP memiliki kedudukan dikabulkan secara hukum saja. Beberapa hakim menggunakan alternatif berupa penggunaan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur bahwa hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya atau normanya kabur.

KTUN fiktif positif serta-merta dikabulkan secara hukum karena dengan adanya SEMA Nomor 5 Tahun 2021 telah ditegaskan bahwa PTUN tidak berwenang memeriksa hingga memutus perkara permohonan fiktif positif. Maka, diperlukan lembaga yang berwenang mengadili permohonan KTUN fiktif positif berupa upaya administrasi untuk menguji keabsahan dikeluarkannya KTUN yang dimohonkan dan dianggap dikabulkan secara hukum.

Perluasan Makna Objek Sengketa KTUN dalam UU Administrasi Pemerintahan

Pasal 1 angka 8 UU AP menjelaskan terkait tindakan administrasi pemerintahan berupa perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, baik di lingkungan legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya. Tindakan hukum Badan atau Pejabat TUN dalam ketentuan tersebut memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

  1. Tindakan tersebut dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan negara;
  2. Tindakan tersebut dijalankan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;
  3. Tindakan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang hukum administrasi negara;
  4. Tindakan tersebut dilakukan dalam rangka kepentingan umum; dan
  5. Tindakan tersebut berdasarkan norma dan wewenang pemerintahan.

Dengan demikian, perbuatan/tindakan Pemerintah dalam kajian Hukum Administrasi Negara terdiri dari: melakukan perbuatan materiil (materiele daad), mengeluarkan peraturan (regeling); serta mengeluarkan keputusan/ketetapan (beschikking).

UU AP memperluas objek sengketa TUN yakni dengan menjadikan Perbuatan Materiil (Materiele Daad) sebagai bagian dari pengertian KTUN. Hal ini menegaskan tidak hanya terbatas dalam ranah pembuatan, penerbitan dan keabsahan KTUN, melainkan telah merujuk pada tindakan faktual (materiil) dalam rangka pelaksanaan KTUN untuk menjalankan fungsi pemerintahan. Dalam perspektif UU AP, tindakan pemerintahan tidak cukup dengan melihat unsur “kehendak” dari suatu Badan/Pejabat TUN saja, namun yang harus dicermati adalah kondisi obyektif akibat adanya suatu tindakan pemerintahan. Misalnya tindakan faktual ternyata secara obyektif menimbulkan akibat yang merugikan masyarakat.

KTUN dalam UU Administrasi Pemerintahan

Selain itu, menurut UU AP, KTUN tidak hanya keputusan yang telah menimbulkan akibat hukum namun juga berupa keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum dapat dijadikan sebagai obyek sengketa tata usaha negara. Hakikat KTUN dalam UU PTUN sejatinya masih diakui relevansinya sepanjang dimaknai lebih luas sesuai maksud Pasal 87 UU AP. Unsur-unsur KTUN dalam UU AP, khususnya Pasal 87 terdiri dari hal-hal berikut :

  1. Penetapan tertulis termasuk tindakan faktual;
  2. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
  3. Berisi tindakan hukum tata usaha negara;
  4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan AUPB (Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik);
  5. Bersifat konkret, individual, dan final dalam arti luas;
  6. Berpotensi menimbulkan akibat hukum;
  7. Berlaku bagi warga masyarakat.

Berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis yang berarti peraturan perundang-undangan yang mengatur peraturan yang lebih khusus akan melumpuhkan peraturan sifatnya yang lebih umum serta diterapkan jika ada ketentuan yang bersifat khusus berlawanan dengan ketentuan yang bersifat umum. Maka, pengaturan KTUN dalam Pasal 87 UU AP secara kategoris tidaklah berlawanan, melainkan mengubah pengertian dan/atau memperluas maknanya, sehingga asas lex specialis derogat legi generalis tidak dapat diberlakukan untuk meniadakan berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 3 UU PTUN.

Keabsahan Penetapan KTUN

KTUN dikatakan memiliki keabsahan apabila dilakukan oleh Badan/Pejabat yang berwenang yaitu merupakan badan/pejabat yang diberikan kekuasaan untuk bertindak, baik secara atribusi, maupun dilimpahkan secara delegasi atau mandat. Keabsahan suatu KTUN diatur dalam Pasal 8 UU AP yaitu :

  1. Setiap Keputusan dan/atau Tindakan harus ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang;
  2. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan wewenangnya wajib berdasarkan pada peraturan perundang-undangan dan AUPB;
  3. Pejabat Administrasi Pemerintahan dilarang menyalahgunakan kewenangan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.

Menurut Kuntjoro Purbopranoto, agar keputusan yang dibuat menjadi keputusan yang sah ada dua syarat yang harus dipenuhi, yakni syarat materiil dan formil. Syarat materiil berupa: a) alat pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang; b) dalam kehendak alat pemerintahan yang membuat keputusan tidak boleh ada kekurangan yuridis; c) keputusan harus diberi bentuk yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembentukannya harus juga memperhatikan prosedur membuat keputusan apabila prosedur itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan itu (rechtmatig); d) isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan dengan isi dan tujuan yang hendak dicapai.

Sedangkan syarat formil sahnya keputusan meliputi: a) syarat-syarat ditentukan berhubungan dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubungan dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhinya; b) harus diberi bentuk yang telah ditentukan; c) syarat-syarat berhubungan dengan pelaksanaan keputusan terpenuhi; d) jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hak-hak yang menyebabkan dibuatnya keputusan itu dan tidak harus diingat.

Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam UU Administrasi Pemerintahan

Melalui UU AP, terdapat perluasan kewenangan PTUN, yaitu menangani permohonan berkaitan dengan dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pemohon yang merupakan badan atau pejabat TUN. Pengajuan gugatan sengketa administrasi pemerintahan yang sudah didaftarkan pada pengadilan umum, tetapi belum diperiksa, dengan berlakunya undang-undang tersebut dialihkan dan diselesaikan oleh PTUN. Apabila sudah diperiksa oleh Pengadilan Umum, dengan berlakunya UU AP tetap diputus dan diselesaikan oleh Pengadilan Umum termasuk pula pelaksanaan putusan pengadilannya.

Menindaklanjuti dibentuknya UU AP tersebut, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechmatige Overheidsdaad) yang pada pokoknya mengatur bahwa sengketa perbuatan melawan hukum oleh onrechmatige overheidsdaad merupakan tindakan pemerintahan yang menjadi kewenangan peradilan administrasi berdasarkan UU AP.

Pasal 87 huruf a UU AP sebagai penegasan bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah dapat diperiksa dan diselesaikan di PTUN, yang menguji keputusan dan/atau tindakan Badan atau Pejabat TUN berdasarkan perundang-undangan yang sesuai dengan UU AP, perundang-undangan yang sesuai dengan dasar gugatan penggugat serta AUPB yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU AP.

Untuk memberikan kepastian hukum mengenai penggunaan AUPB sebagai landasan KTUN dan memberikan pedoman yang lebih rinci, maka perlu dibentuk Perma yang mengatur tentang pedoman hakim dalam penggunaan AUPB sebagai batu uji KTUN.

Referensi

  • Buonsu, I. G., Dewi, A. A. S. L., & Suryani, L. P. (2021). Keputusan Fiktif Sebagai Dasar Pengajuan Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara. Jurnal Preferensi Hukum, 2(1)
  • Efendi, A., & Poernomo, F. (2017). Hukum Administrasi. Sinar Grafika.
  • Hadi, S., & Michael, T. (2017). Prinsip Keabsahan (Rechtmatigheid) Dalam Penetapan Keputusan Tata Usaha Negara. Jurnal Cita Hukum, 5(2), 383–400.
  • Irvansyah, A. R. (2022). Kedudukan Hukum Keputusan Fiktif Positif Sejak Pengundangan Undang-Undang Cipta Kerja. Jurnal APHTN-HAN, 1(2).
  • Nasir, M. (2003). Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Djambatan.
  • Putriyanti, A. (2015). Kajian Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dalam Kaitan dengan Pengadilan Tata Usaha Negara. Jurnal Pandecta, 10(2).
  • Riza, D. (2018). Keputusan Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara Dan Undang-Undang Admnistrasi Pemerintahan. Jurnal Bina Mulia Hukum, 3(1).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses